Jumat, 31 Oktober 2008
Misionaris Sabda Allah: Menghadirkan Allah Dalam Dunia
Misionaris Sabda Allah:
Menghadirkan Allah Dalam Dunia
(Suatu Pemahaman Tentang Misi Yang Peka Zaman)
Oleh Herri Kiswanto Sitohang*
I. Pengantar
“Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, Untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin dan Ia telah mengutus Aku: untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Luk 4 : 18-19). Inilah misi Yesus Kristus di dunia ini. Sungguh, Yesus Kristus adalah Misionaris pertama dalam sejarah iman kristiani, selanjutnya diikuti oleh para rasul dan murid lainnya hingga dewasa ini. Dialah Misionaris sejati yang mendasarkan dan mewartakan kerajaan Allah secara nyata dunia ini sesuai dengan zaman-Nya. Kehadiran Yesus Kristus sungguh menampilkan sikap dan semangat seorang Misionaris sejati. Ia tak pernah kenal lelah dan gentar dalam mewartakan kerajaan Allah. Menurut Kisah Para Rasul, misionaris adalah manusia dari Allah yang berjalan di dunia dengan mata terbuka, mendekati semua orang untuk menyampaikan kabar gembira kepada mereka. Dalam rangka inilah, juga seorang Misionaris Sabda Allah harus menjadi manusia dari Allah yang berjalan di dunia dengan mata terbuka, mendekati semua orang untuk menyampaikan kabar gembira kepada mereka. Secara nyata, hal itu dapat kita lihat dan teladani dalam diri Yesus Kristus. Oleh karena itu hidup setiap Misionaris Sabda Allah diharapkan mampu menjadi cerminan dari hidup Yesus Kristus sendiri. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, setiap Misionaris Sabda Allah harus menjadikan Yesus Kristus yang sungguh Allah dan manusia sebagai pusat dan model hidup dalam karya dan pelayanannya.
Dalam konteks zaman yang pluralis, dimana terdapat manusia dengan latar belakang, agama maupun kepercayaan yang berbeda-beda. Sisi ke-Allah-an Yesus Kristus harus menjadi sentrum (pusat), Theosentris, dari pada sisi Yesus Kristus sebagai orang Nazaret. Sebab tidak semua manusia maupun agama mengakui Yesus, sekalipun Dia adalah Allah. Suatu perkara nama dan letak geografis. Hal itu bertujuan agar misi tidak dilihat dan dipahami sebagai misi yang bersifat ekslusif (hanya untuk dan lingkup orang Kristen), tapi misi yang bersifat inklusif (mencakup, melingkupi dan terbuka untuk semua manusia/agama), yakni misi yang menawarkan dan mewartakan kerajaan Allah kepada semua manusia. Misi yang menembus batas-batas pemisah! Hal ini juga berarti bahwa tujuan misi seorang Misionaris Sabda Allah bukan supaya manusia beragama Kristen, tetapi pertama-tama adalah supaya manusia beriman kepada Allah. Dengan kata lain, kehadiran seorang Misionaris di tengah medan misi (dunia), haruslah mengungkapkan dan menampilkan kehadiran Allah sendiri, yakni Allah yang diimani dan diakui oleh semua manusia, sekalipun dengan substansi yang berbeda-beda.
Dengan penuh penyerahan diri dan kepercayaan akan Kehadiran Allah Tritunggal, seorang Misionaris Sabda Allah diutus untuk menjadi saksi pembawa harapan dan kehidupan baru bagi dunia. Walaupun dahulu tugas ini ditawarkan untuk untuk bangsa tertentu, pada masa dan tempat tertentu, namun dewasa ini misi senantiasa ditawarkan kepada setiap orang, melampaui batas-batas budaya, waktu dan tempat. Dalam hal inilah, Seorang misionaris harus menjadi mercusuar Pembawa Berita Gembira dan menjadi rambu hidup yang mengingatkan setiap orang bahwa ‘Allah begitu besar mengasihi kita dan akan selalu berserta kita’. Misionaris Sabda Allah dipanggil untuk mengambil bagian dalam misi Allah (Missio Dei). Misi-Nya adalah misi setiap Misionaris Sabda Allah dan umat kristiani pada umumnya. Melalui mereka Kristus melanjutkan perutusan-Nya, yakni membawa kabar gembira kepada semua manusia/bangsa dan memaklumkan cinta Allah yang membebaskan dan menyatukan manusia.
II. Misionaris Sabda Allah: Menghadirkan Allah Dalam Dunia
Seorang Misionaris bermisi untuk memperhatikan atau sekurang-kurangnya membuat orang melihat kehadiran Allah penyelamat yang tak kelihatan melalui tubuhnya yang kelihatan. Radikalitas penghayatan injili seorang Misionaris Sabda Allah dengan cara hidup yang khusus mewahyukan aspek misteri kehidupan Kristen (bdk. LG 44c). “Melalui mereka Gereja makin hari makin lebih menampilkan Kristus kepada kaum beriman maupun yang tak beriman”(LG 46a). Misi seorang Misionaris tidak terbatas hanya untuk orang-orang beriman tapi juga untuk orang yang tak beriman. Suatu misi yang tidak mengenal batas atau sekat-sekat pemisah. Melainkan mencakup dan melingkupi semua dan untuk semua serta sesuai dengan tuntutan zaman, sebab kerajaan Allah ditawarkan untuk semua manusia dan agama. Dalam hal ini, kesaksian seorang Misionaris harus didasarkan pada karunia pribadinya dan keterbukaannya kepada Roh Kudus, sebab misi pertama-tama adalah karya Allah.
2.1 Misionaris Sabda Allah Mengikuti Kristus Dalam Bentuk Radikal
Realitas terdalam hidup gereja dan setiap anggotanya adalah kesatuannya dengan Kristus yang bangkit dan dengan Bapa dan Roh Kudus. Misionaris Sabda Allah dipanggil untuk masuk dalam persatuan yang akrab dengan Yesus dan Bapa dalam Roh Kudus. Setiap Misionaris Sabda Allah dipanggil untuk mengikuti Kristus secara lebih dekat (bdk. LG 42d; PC 1b). Makna mengikuti Kristus secara lebih dekat dapat dilihat secara langsung dalam relasi personal Misionaris Sabda Allah dalam hidupnya, yakni: Hidup dengan Kristus, hal ini berarti bahwa setiap Misionaris Sabda Allah harus memilih Kristus sebagai teman hidup yang setia untuk mendampingi seumur hidup. Kristus sebagai model hidup, hal ini ingin menungungkapkan suatu keputusan yang tegas dalam mencontoh ataupun meneladani Kristus yang hidup “perawan, miskin dan taat” (bdk. PC 25). Hidup untuk Dia, hal ini bermaksud untuk menyadarkan setiap Misionaris Sabda Allah bahwa hidupnya adalah hidup yang hanya dipersembahkan untuk Allah dan karya-Nya. Oleh karena itulah, Misionaris Sabda Allah harus selalu melayani Gereja (umat Allah dalam arti dan secara keseluruhan) sebagai Tubuh Kristus sendiri dan berperan serta dalam misi-Nya, seperti yang terungkap dalam Luk 4 : 18-19: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, Untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin dan Ia telah mengutus Aku: untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” Dengan demikian, apa yang telah dibuat oleh Yesus demi keselamatan manusia dapat mencapai hasilnya didalam semua manusia (AG 3).
2.2 Meyampaikan Kabar Baik Kepada Orang-orang Miskin
Orang miskin telah menjadi bagian dari kehidupan gereja universal, bahkan sejak zaman Yesus. Hal itu juga telah menjadi kenyataan yang kompleks dalam gereja hingga dewasa ini. Dalam kitab suci sangat mencolok hubungan antara orang miskin dengan Yesus. Bentuk kemiskinan yang dihadapi oleh Yesus adalah orang-orang miskin secara fisik, ekonomis, sosial, politis dan religius.
Mereka itulah yang menjadi sasaran pewartaan Yesus. Yesus sungguh dekat dan bersahabat dengan mereka. Ia tidak membawa pengadilan bagi mereka melainkan membawa pengampunan dan pembebasan. Sikap yang ditampilkan oleh Yesus ini mau menunjukkan bahwa Allah tidak meninggalkan mereka dan Allah hadir dalam penderitaan serta keprihatinan mereka. Melalui dan dalam diri Yesus, kaum miskin dan menderita mengalami tanda-tanda datangnya kerajaan Allah dalam hidup mereka melalui kuasa dan cinta kasih yang diberikan oleh Yesus sendiri. Sikap dan tindakan yang dilakukan oleh Yesus secara langsung telah mengungkapkan suatu pembebasan dan pengangkatan harkat dan martabat kaum miskin sebagai ciptaan Allah. Pada akhirnya, kehadiran Yesus sebagai orang miskin ke dunia ini juga menjadi suatu tanda bahwa Yesus hadir dan ada dalam diri orang miskin serta mewartakan kabar baik kepada orang miskin.
Sebagaimana Yesus menampilkan sikap keberpihakan-Nya terhadap kaum miskin, demikian juga Misionaris Sabda Allah dipanggil untuk melanjutkan dan melakukan misi yang sama. Sikap seorang Misionaris Sabda Allah terhadap orang miskin secara jelas diuraikan dalam konstitusi no. 112 yakni : “ Orang miskin mendapat tempat khusus dalam injil. Dalam satu dunia yang sangat dilukai oleh ketidakadilan dan keadaan hidup yang tak berprikemanusiaan, iman kita mendesak agar kita mengakui kehadiran Kristus dalam diri orang miskin dan tertintandas. Oleh sebab itu kita melibatkan diri dalam usaha mengembangkan persatuan dan keadilan serta menanggulangi egoisme dan penyalahgunaan kekuasaan. Maka hendaknya kita memandang sebagai kewajiban kita untuk memajukan keadilan menurut injil Kristus dalam sikap solider dengan kaum miskin dan tertindas ”.
Hal itu juga dipertegas dalam pernyataan Kapitel General SVD ke-15 tahun 2000 yakni bahwa panggilan misioner Misionaris Sabda Allah adalah suatu panggilan kepada dialog profetis dengan kaum miskin dan yang tersingkirkan. Tentu saja orang miskin secara material selalu terbilang diantara orang-orang yang mengalami penindasan yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti ; gender, ras, penampilan, kemampuan fisik, politik, pendidikan, status sosial, dll. Dalam berhadapan dengan situasi-situasi tersebut, Misionaris Sabda Allah diharapkan mampu mencapai suatu pemahaman yang lebih mendalam yakni bahwa perjuangan seorang Misionaris Sabda Allah bukan hanya melawan kelaparan, ketidaktahuan dan pemerkosaan hak azasi manusia, melainkan terutama melawan kebejatan didalam hati manusia yang merupakan akar pelbagai struktur dan sistem penindasan yang menyebabkan kemiskinan. Hal itu dilaksanakan dengan cara mengembangkan struktur-struktur dimana kaum miskin tidak melulu sebagai pengamat pasif tetapi menjadi pelaku aktif didalam masyarakat pada umumnya maupun didalam jemaat gerejani. Seorang Misionaris Sabda Allah juga memberi tanggapan manakala bersama dengan gereja lokal berjuang untuk memberdayakan kaum miskin agar bertumbuh menuju kesejahteraan yang layak serta menggapai martabat manusia yang lebih penuh.
2.3 Memberitakan Pembebasan Kepada Orang-orang Tawanan dan Penglihatan Bagi Orang-orang Buta
Di tengah zaman dan berbagai kondisi yang mewarnai kehidupan, Misionaris Sabda Allah dituntut untuk selalu membawa suka cita dan pengharapan bagi setiap insan, khususnya bagi mereka “yang tertawan dan yang buta”. Dalam konteks dunia dewasa ini, orang yang tertawan dan buta bukan semata-mata mau mengungkapkan keadaan fisik (artifisial). Sekalipun hal itu memang banyak terjadi dan dialami manusia dewasa ini. Akan tetapi situasi itu juga mau mengungkapkan suatu keadaban yang diwarnai rasa curiga, iri hati, perselisihan dan balas dendam. Suatu situasi hidup yang sudah terkurung dan terkungkung dalam kejahatan dan kebutaan hati, yang mengakibatkan orang tidak lagi melihat sesamanya sebagai “saudara”, melainkan sebagai “mangsa” yang harus ditawan, disingkirkan dan dibasmi. Suatu situasi hidup yang sungguh beringas dan tragis.
Dalam keberingasan dan ketragisan hidup seperti itu, Misionaris Sabda Allah dipanggil untuk membawa dan menghadirkan suka cita dan pengharapan. Suka cita dan pengharapan tersebut hanya nampak apabila setiap Misionaris Sabda Allah mampu menampilkan keterlibatannya dalam memerangi kebejatan yang ada dalam hati manusia, sebab hal itulah yang sering kali menjadi sumber dari segala bentuk kejahatan dan kebutaan hati manusia itu sendiri. Suka cita dan pengharapan akan muncul apabila Misionaris Sabda Allah mampu bekerja sama dengan semua lapisan dan golongan dalam persoalan yang menyangkut keadilan dan perdamaian. Itulah bukti komunikasi kasih Allah yang membebaskan kepada manusia. Kasih yang bergerak mengatasi ciri egoistis (Passing Over). Kasih Allah yang nampak lewat keterlibatan-Nya dalam setiap persoalan hidup manusia. Kasih tidak lagi sekedar sebagai suatu 'perintah', namun merupakan tanggapan akan rahmat kasih yang menjadikan Allah menjadi dekat dengan kita. Di tengah dunia di mana nama Allah seringkali dikaitkan dengan balas dendam atau tindakan kebencian dan kekerasan, pesan ini menjadi aktual dan penting.
Hal itu mau mengungkapkan bahwa Allah yang menjadi manusia juga mau merasakan dan mengalami persoalan-persoalan hidup manusia. Allah tidak hanya menonton pergumulan manusia atau hanya melihat manusia waktu penderitaan mendera. Ia tidak membiarkan manusia bekerja sendirian tetapi bekerja bersama manusia dalam mengadapi segala persoalan manusia. Dalam hal inilah, kehadiran seorang Misionaris Sabda Allah akan tampak sebagai sebagai kehadiran Allah sendiri dalam dunia.
2.4 Membebaskan Orang-orang Tertindas dan Memberitakan Tahun Rahmat Tuhan Telah Datang
Menjadi Misionaris Sabda Allah berarti menjadi Misionaris yang meneladani Yesus Kristus. Dialah Allah yang telah menjadi manusia dan mau terlibat dalam segala persoalan manusia. Dengan mengalami nasib sebagai manusia, Yesus menyatakan solidaritas-Nya dengan manusia yang dipandang sekadar manusia, yaitu mereka yang miskin tak bermilik, sakit kusta, lumpuh, buta, sampah masyarakat, dan lain-lain. Solidaritas Yesus tinggal bersama-sama dengan manusia untuk membesarkan hati kaum kecil, lemah, miskin, dan tersingkir. Kepada mereka diwartakan bahwa tahun rahmat Tuhan telah datang (Luk 4:18-19). Mereka diberi harapan untuk bertahan dan berjuang memelihara kehidupan sebagai anugerah Allah Sang Pencipta, Bapa-Nya. Orang-orang miskin diberi-Nya pencerahan bahwa dengan solidaritas mereka mampu saling memberdayakan. Bahkan sebagai ungkapan solidaritas-Nya dengan manusia, hidup-Nya sendiri Ia berikan supaya manusia dan seluruh alam semesta selamat dan hidup. Wafat dan kebangkitan Kristus menjadi puncak penganugerahan rahmat yang berlimpah dari Allah kepada manusia, yakni rahmat keselamtan. Allah yang menawarkan diri demi keselamatan manusia adalah Allah yang melibatkan diri dalm nasib dan sejarah manusia, Allah yang peduli akan manusia dan kehidupannya. Karena solidaritas dan keterlibatan-Nya, Ia rela mati di salib sebagai manusia dalam daging (Fil 2:8).
Demikianlah halnya dengan Misionaris Sabda Allah hendaknya mampu menerjemahkan “keterlibatan Allah” tersebut dalam hidup, karya dan pelayanan yang konkret di tengah dunia yang sering kali jauh dari keterlibatan antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Individualis! Seorang Misionaris Sabda Allah harus menampilkan dalam dirinya Allah yang terlibat sebagai daya liberatif, sebagai Dia yang ingin menyembuhkan dan menyelamatkan seluruh dunia dalam segala dimensinya.
III. Penutup
Misionaris Sabda Allah: Menghadirkan Allah dalam dunia bukan persolan kehadiran fisik saja. Akan tetapi, lebih menyoal bagaimana seorang Misionaris Sabda Allah mampu menjadi tanda kehadiran Allah dalam dunia, yaitu Allah yang nyata dalam diri Yesus Kristus. Allah yang berkarya dan bermisi demi keselamatan seluruh manusia, yakni Allah yang terlibat, spiritualitas terlibat. Aktualisasi Misi Allah (Missio Dei) yang diemban dan dilanjutkan oleh seorang Misionaris Sabda Allah lewat spiritualitas terlibat itulah yang menjadi tanda nyata kehadiran Allah dalam dunia. Singkatnya, misi yang menampilkan keterlibatan Allah dalam kehidupan manusia, dalam nasib dan sejarah manusia, misi yang menampilkan Allah yang peduli akan manusia dan kehidupannya dan akhirnya Allah yang menawarkan diri demi keselamatan manusia. Misionaris Sabda Allah dipanggil untuk mengikuti gerak inkarnatoris Allah yang menjadi nyata dalam seluruh peristiwa Yesus Kristus. Misi yang sunguh menampilkan kepekaan dan tanggapan terhadap tuntutan zaman yang dihadapi.
Seperti Allah sendiri, seorang Misionaris Sabda Allah tidak boleh lari dari kenyataan Zaman atau dunia yang keras dan yang sering kali tidak beradab. Ia juga tidak boleh menunggu sampai dunia ini beradab lebih dahulu, melainkan diutus untuk masuk ke dalam dunia yang tidak beradab itu dan mewujudkan hakikatnya dengan mengupayakan keadaban publik. Bila seorang Misionaris Sabda Allah menemukan jati dirinya dalam Yesus Kristus yang menjadi manusia, maka seperti Kristus, seorang Misionaris Sabda Allah pun harus berani mengalami nasib menjadi korban untuk menghadirkan dan mewartakan Kerajaan Allah yang memerdekakan. Dalam hal ini dibutuhkan suatu semangat martirya demi kerajaan Allah!
*Mahasiswa STFT Widya Sasana-Malang
(Anggota Serikat Sabda Allah)
Jl. Terusan Rajabasa 6
Daftar Pustaka
Buku:
Banawiratma,J.B, SJ. Berteologi sosial lintas Ilmu. Yogyakarta : Kanisius, 1993.
Kleden, Budi, Paulus, SVD. Teologi Terlibat. Maumere: Ledalero, 2003.
SVD, Jenderalat. Tahun Misionaris Sabda Allah Membaca Kitab Suci. Roma: Penerbitan SVD, 2005.
_____________, Mendengarkan Roh : Tanggapan Misioner Kita Dewasa Ini. Roma: Kapitel Jenderal SVD ke-15, 2001.
Dokumen Gereja:
Alkitab. Jakarta: LAI, 2003.
Benediktus XVI. Esiklik Deus Caritas Est. Jakarta: DOKPEN KWI, 2005.
Dokumen Konsili Vatikan II (Terj. R. Hardawiryana, S.J.). Jakarta: Obor, 1993.
Konstitusi Dan Direktorium Serikat Sabda Allah. Ende: Percetakan Arnoldus, 2001.
Paulus II, Yohanes. Redemptoris Missio. Jakarta: DOKPEN KWI, 1990.
Internet:
http://www.svdcuria.org/public/ajsc/2006/0604id.htm, tgl 10 Mei 2008.
http://mirifica.net/, diakses tgl.10 Mei 2008.
Senin, 16 Juni 2008
Setiap Anggota Keluarga Kita: "Diri Kita Yang Lain"
Setiap Anggota Keluarga Kita: “Diri Kita Yang Lain”
( Suatu Pemahaman Untuk Menciptakan Kebersamaan Dalam Keluarga)
Oleh: Herri Kiswanto
Suatu kelurga yang ideal adalah terdiri dari Ayah, Ibu, dan anak-anak. Ketiga subyek/pribadi itu sering juga disebut anggota keluarga. Hidup sebagai keluarga mengandaikan adanya sinergi antara setiap anggota keluarga. Hal itu mau mengungkapkan bahwa suatu keluarga merupakan kumpulan pribadi yang memiliki daya magnetik satu sama lain. Adanya daya magnetik tersebut membuat setiap pribadi dalam keluarga itu mampu merasa memiliki dan dimiliki (sense of belonging). Adanya daya magnetik itu juga memampukan setiap anggota keluarga untuk senantiasa bersatu dalam kasih. Kekuatan untuk bersatu dalam kasih tidak datang dari luar, melainkan muncul dari dalam diri pribadi setiap anggota keluarga. Dalam hal ini, setiap anggota keluarga memiliki kekuatan tersebut! Secara tidak langsung, kemampuan itu juga mau mengisyaratkan bahwa diri setiap anggota keluarga merupakan bagian utuh dari dari “diri saya yang lain” yang terdapat dalam diri mereka. Sehingga keutuhan diri setiap anggota keluarga tidak terlepas dari peran diri-diri yang lain, yang dalam konteks keluarga adalah diri setiap pribadi dalam keluarga itu sendiri.
Suatu fenomena yang dapat diambil menjadi contoh dalam hal ini, misalnya: suatu keluarga yang “ditinggal” pergi oleh anggota keluarga yang lain, baik dalam jangka waktu singkat/sementara maupun selama-lamanya (meninggal). Ekspresi yang sering kali muncul adalah adanya rasa “kehilangan” yang mendalam dalam diri anggota keluarga yang ditinggal. Dengan kata lain, rasa kehilangan itu mengungkapkan bahwa diri (anggota keluarga yang ditinggal tersebut) bukanlah diri yang seutuhnya tanpa adanya diri anggota keluarga yang “pergi” tersebut. Tak dapat disangkal juga bahwa keutuhan diri kita tidak terlepas dari hasil proses interaksi kita dengan diri di luar diri kita. Dalam konteks personal, diri yang lain itu adalah anggota keluarga kita sendiri. Merekalah yang menjadi “socius”/kawan pertama yang memiliki andil dalam keutuhan diri kita. Setiap anggota keluarga kita merupakan orang-orang inti yang membentuk diri kita terlebih dahulu sehingga menjadi diri kita yang sekarang ini. Singkatnya, setiap anggota keluarga kita merupakan bagian yang tak terlepaskan dari diri kita, yakni diri kita yang lain.
Adanya kebersamaan ataupun keharmonisan dalam keluarga tidak terlepas dari adanya kemampuan dari setiap anggota keluarga untuk mengakui bahwa dalam diri setiap anggota keluarga terdapat dirinya yang lain. Kemampuan itulah yang nantinya akan menghasilkan sikap-sikap caring (perhatian), knowing (mengenal), understanding (memahami), dan sharing (berbagi) diantara anggota keluarga. Sikap-sikap itu merupakan sikap yang dimiliki oleh setiap orang terhadap dirinya sendiri untuk mengungkapkan kecintaannya atau kesayangannya akan dirinya sendiri.. Pada umumnya sikap-sikap itu merupakan dasar untuk membangun suatu kebersamaan atau keharmonisan dengan setiap anggota keluarga/orang lain atau paling tidak dengan dirinya sendiri. Kebersamaan atau keharmonisan akan muncul apabila sikap-sikap tersebut, yakni yang ada dalam dirinya itu, bersinergi antara pribadi yang satu dengan pribadi yang lain. Oleh karena itu perlu diketahui bahwa sikap-sikap itu tidak akan pernah muncul terhadap orang lain tanpa adanya kesadaran awal yakni: orang lain merupakan dirinya yang lain. Sikap-sikap itulah yang menjadi kekuatan magnetik yang saling bersinergi untuk menciptakan suatu kebersamaan atau keharmonisan. Apabila kekuatan itu telah menyatu maka kebersamaan atau keharmonisan akan bertumbuh laksana bunga yang mekar di padang yang subur. Inilah kebersamaan atau keharmonisan ideal yang diidamkan oleh setiap keluarga pada umumnya. Namun persoalannya adalah apakah setiap anggota keluarga menyadari hal tersebut? Tentu setiap anggota keluarga memiliki jawabannya!
Pada umumnya, ada dua jawaban yang bisa muncul, yakni: pertama, orang bisa menyadari bahwa diri setiap anggota keluarga juga merupakan dirinya sendiri. Jika kesadaran ini yang muncul, tentu kebersamaan dan keharmonisan juga akan muncul. Kedua, orang juga bisa sebaliknya tidak menyadari hal tersebut. Jika ini yang muncul, tentu petaka juga akan muncul. Artinya, orang tidak akan pernah mampu untuk membangun kebersamaan atau keharmonisan tanpa menyadari orang lain sebagai dirinya yang lain yang harus dincintai atau disayangi sebagaimana ia sendiri mencintai dirinya sendiri.
Dari dua jawaban ini, satu pertanyaan muncul lagi untuk menanggapi jawaban terhadap orang yang tidak menyadari bahwa diri setiap anggota keluarga juga merupakan dirinya sendiri, yakni mengapa bisa terjadi demikian? Suatu jawaban gamblang yang bisa diutarakan adalah karena orang itu memliki sikap egosentris. Yakni sikap yang hanya berkutat dan berpusat pada dirinya sendiri. Dengan kata lain, sikap egosentris ini mau mengungkapkan “penyangkalan” akan orang lain sebagai dirinya yang lain. Maka sebagai anggota keluarga, khusunya sebagai Ayah dan Ibu, mereka harus mampu terlebih dahulu memupuk kesadaran ini dalam diri mereka sehingga mereka juga kemudian dapat menjadi teladan bagi anak-anak atau anggota keluarga yang lainnya. Yakni menjadi figur teladan yang mampu menampilkan sikap dan tindakan bahwa setiap anggota keluarga kita adalah diri kita yang lain yang harus kita sayangi dan cintai untuk menciptakan kebersamaan dalam keluarga kita.
( Suatu Pemahaman Untuk Menciptakan Kebersamaan Dalam Keluarga)
Oleh: Herri Kiswanto
Suatu kelurga yang ideal adalah terdiri dari Ayah, Ibu, dan anak-anak. Ketiga subyek/pribadi itu sering juga disebut anggota keluarga. Hidup sebagai keluarga mengandaikan adanya sinergi antara setiap anggota keluarga. Hal itu mau mengungkapkan bahwa suatu keluarga merupakan kumpulan pribadi yang memiliki daya magnetik satu sama lain. Adanya daya magnetik tersebut membuat setiap pribadi dalam keluarga itu mampu merasa memiliki dan dimiliki (sense of belonging). Adanya daya magnetik itu juga memampukan setiap anggota keluarga untuk senantiasa bersatu dalam kasih. Kekuatan untuk bersatu dalam kasih tidak datang dari luar, melainkan muncul dari dalam diri pribadi setiap anggota keluarga. Dalam hal ini, setiap anggota keluarga memiliki kekuatan tersebut! Secara tidak langsung, kemampuan itu juga mau mengisyaratkan bahwa diri setiap anggota keluarga merupakan bagian utuh dari dari “diri saya yang lain” yang terdapat dalam diri mereka. Sehingga keutuhan diri setiap anggota keluarga tidak terlepas dari peran diri-diri yang lain, yang dalam konteks keluarga adalah diri setiap pribadi dalam keluarga itu sendiri.
Suatu fenomena yang dapat diambil menjadi contoh dalam hal ini, misalnya: suatu keluarga yang “ditinggal” pergi oleh anggota keluarga yang lain, baik dalam jangka waktu singkat/sementara maupun selama-lamanya (meninggal). Ekspresi yang sering kali muncul adalah adanya rasa “kehilangan” yang mendalam dalam diri anggota keluarga yang ditinggal. Dengan kata lain, rasa kehilangan itu mengungkapkan bahwa diri (anggota keluarga yang ditinggal tersebut) bukanlah diri yang seutuhnya tanpa adanya diri anggota keluarga yang “pergi” tersebut. Tak dapat disangkal juga bahwa keutuhan diri kita tidak terlepas dari hasil proses interaksi kita dengan diri di luar diri kita. Dalam konteks personal, diri yang lain itu adalah anggota keluarga kita sendiri. Merekalah yang menjadi “socius”/kawan pertama yang memiliki andil dalam keutuhan diri kita. Setiap anggota keluarga kita merupakan orang-orang inti yang membentuk diri kita terlebih dahulu sehingga menjadi diri kita yang sekarang ini. Singkatnya, setiap anggota keluarga kita merupakan bagian yang tak terlepaskan dari diri kita, yakni diri kita yang lain.
Adanya kebersamaan ataupun keharmonisan dalam keluarga tidak terlepas dari adanya kemampuan dari setiap anggota keluarga untuk mengakui bahwa dalam diri setiap anggota keluarga terdapat dirinya yang lain. Kemampuan itulah yang nantinya akan menghasilkan sikap-sikap caring (perhatian), knowing (mengenal), understanding (memahami), dan sharing (berbagi) diantara anggota keluarga. Sikap-sikap itu merupakan sikap yang dimiliki oleh setiap orang terhadap dirinya sendiri untuk mengungkapkan kecintaannya atau kesayangannya akan dirinya sendiri.. Pada umumnya sikap-sikap itu merupakan dasar untuk membangun suatu kebersamaan atau keharmonisan dengan setiap anggota keluarga/orang lain atau paling tidak dengan dirinya sendiri. Kebersamaan atau keharmonisan akan muncul apabila sikap-sikap tersebut, yakni yang ada dalam dirinya itu, bersinergi antara pribadi yang satu dengan pribadi yang lain. Oleh karena itu perlu diketahui bahwa sikap-sikap itu tidak akan pernah muncul terhadap orang lain tanpa adanya kesadaran awal yakni: orang lain merupakan dirinya yang lain. Sikap-sikap itulah yang menjadi kekuatan magnetik yang saling bersinergi untuk menciptakan suatu kebersamaan atau keharmonisan. Apabila kekuatan itu telah menyatu maka kebersamaan atau keharmonisan akan bertumbuh laksana bunga yang mekar di padang yang subur. Inilah kebersamaan atau keharmonisan ideal yang diidamkan oleh setiap keluarga pada umumnya. Namun persoalannya adalah apakah setiap anggota keluarga menyadari hal tersebut? Tentu setiap anggota keluarga memiliki jawabannya!
Pada umumnya, ada dua jawaban yang bisa muncul, yakni: pertama, orang bisa menyadari bahwa diri setiap anggota keluarga juga merupakan dirinya sendiri. Jika kesadaran ini yang muncul, tentu kebersamaan dan keharmonisan juga akan muncul. Kedua, orang juga bisa sebaliknya tidak menyadari hal tersebut. Jika ini yang muncul, tentu petaka juga akan muncul. Artinya, orang tidak akan pernah mampu untuk membangun kebersamaan atau keharmonisan tanpa menyadari orang lain sebagai dirinya yang lain yang harus dincintai atau disayangi sebagaimana ia sendiri mencintai dirinya sendiri.
Dari dua jawaban ini, satu pertanyaan muncul lagi untuk menanggapi jawaban terhadap orang yang tidak menyadari bahwa diri setiap anggota keluarga juga merupakan dirinya sendiri, yakni mengapa bisa terjadi demikian? Suatu jawaban gamblang yang bisa diutarakan adalah karena orang itu memliki sikap egosentris. Yakni sikap yang hanya berkutat dan berpusat pada dirinya sendiri. Dengan kata lain, sikap egosentris ini mau mengungkapkan “penyangkalan” akan orang lain sebagai dirinya yang lain. Maka sebagai anggota keluarga, khusunya sebagai Ayah dan Ibu, mereka harus mampu terlebih dahulu memupuk kesadaran ini dalam diri mereka sehingga mereka juga kemudian dapat menjadi teladan bagi anak-anak atau anggota keluarga yang lainnya. Yakni menjadi figur teladan yang mampu menampilkan sikap dan tindakan bahwa setiap anggota keluarga kita adalah diri kita yang lain yang harus kita sayangi dan cintai untuk menciptakan kebersamaan dalam keluarga kita.
Sabtu, 19 April 2008
Keutuhan Cipataan Sebagai Tantangan Manusia Modern
Keutuhan Alam Sebagai Tantangan Manusia Modern
Oleh Herri Kiswanto*
Masalah keutuhan alam ciptaan merupakan tantangan paling serius dan kompleks yang dihadapi manusia di abad 21 ini. Sejumlah bukti baru dan kuat yang muncul dalam studi mutakhir memperlihatkan bahwa masalah pemanasan global disebabkan oleh tindakan manusia. Pemanasan global terjadi ketika ada konsentrasi gas-gas tertentu yang dikenal dengan gas rumah kaca, yang terus bertambah di udara. Pemanasan global disebabkan oleh tindakan manusia, kegiatan industri, CO2 dan clhorofluorocarbon. Akan tetapi, yang terutama adalah karbon dioksida(CO2), yang umumnya dihasilkan oleh pengguna batubara, minyak bumi, gas dan penggundulan serta pembakaran hutan. Penggundulan hutan mengakibatkan lepasnya karbon dari pohon-pohon dan juga menghilangkan kemampuan untuk menyerap karbon. 20 % emisi karbon disebabkan oleh tindakan manusia dan memacu perubahan iklim. Tingginya pemakaian kendaraan bermotor juga merupakan produk yang menyebabkan adanya emisi karbon dioksida pada atmosfer. Asam nitrat dihasilkan oleh kendaraan dan emisi industri, sedangkan emisi metan disebabkan oleh aktivitas industri dan pertanian. Karbon dioksida, clhorofluorocarbon, metan, asam nitrat adalah gas-gas polutif yang terakumulasi di udara dan menyaring banyak panas dari matahari. Sementara lautan dan vegetasi menangkap banyak CO2. Ini berarti bahwa jumlah akumulatif dari gas rumah kaca yang berada di udara bertambah dan itu berarti mempercepat pemanasan global. Sekali lagi, pemanasan global itu disebabkan oleh manusia tanpa terkecuali.
Fenomena ini merupakan isyarat mengenai ketidakseimbangan ekosistem. Suatu fenomena alam yang tidak mengenal batas, yang mampu menerjang siapa saja (kaya, miskin, tua, muda, cantik, ganteng) dan kapan saja. Suatu fenomena yang memunculkan problem dalam tatanan alam semesta. Problem yang juga menelorkan pandangan bahwa alam semakin tidak bersahabat. Namun, pertanyaannya adalah bersahabatkah kita dalam memperlakukan alam? Ataukah kita tidak tahu bagaimana harus bersahabat dengan alam? Dalam hal ini, kita perlu menyadari bahwa kita ada di dalam dunia dan juga memiliki kesadaran akan keberadaanya. Dari kesadaran inilah akan muncul kebutuhan akan suatu pengetahuan terhadap alam semesta. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui apa itu dunia ataupun alam semesta. Alam semesta sejak dari awal ditampilkan sebagai suatu realitas yang kompleks. Karena begitu kompleksnya, maka jelas diperlukan pengetahuan yang lebih baik tentangnya. Untuk itu perlu dicari kemungkinan pengetahuan akan dunia supaya dapat dimengerti oleh manusia. Dengan demikian, rahasia alam semesta secara bertahap dan parsial semakin terbuka bagi akal budi manusia. Kekaguman dan pertanyaan kita akan alam semesta juga perlahan-lahan menemukan jawabannya. Menanggapi realitas dan pertanyaan mengenai realitas ini, nampaknya kita perlu melihat kembali peradaban rasionalitas Yunani awali.
Peradaban rasionalitas pada awalnya adalah mitos. Mitos berupa kisah, cerita, dongeng, maupun legenda. Akan tetapi, tidak sekedar itu. Mitos adalah ekspresi yang sangat hidup mengenai relasi manusia dengan ruang lingkupnya, yang tidak lain adalah alam semesta. Dalam mitos, alam semesta merupakan entitas yang relasional dengan manusia. Setiap peristiwa yang terjadi dalam ruang lingkup alam semesta dilihat sebagai peristiwa yang relasional dengan eksistensi manusia. Misalnya, laut bergelora atau marah dipahami sebagai akibat dari kelalaian upacara larung untuk menghormati dewa laut. Demikian juga kala gunung meletus. Sesunggguhnya, dalam mitos alam semesta memiliki peran luar otonom, dengan kata lain manusia bukanlah tuan atas alam. Manusia hanyalah bagian dari alam, sementara alam memiliki otoritasnya sendiri. Penghormatan manusia atas alam adalah pengakuan otoritas alam atas dirinya. Oleh karena itulah, oleh peradaban rasionalisme mitos disebut irasional. Akan tetapi, hal itu tidak sepenuhnya tepat. Lebih tepat bila disebut sebagai yang beyond rasionalitas, sebab ia sering kali mengatasi kepastian-kepastian logis akal budi manusia.
Turning Point
Titik balik yang ingin ditonjolkan adalah bukan menyoal tentang mitos itu logis atau tidak. Akan tetapi, peradaban rasional awali mau mengungkapkan suatu realitas yang relasional antara entitas manusia dengan entitas alam. Suatu realitas penghormatan manusia atas eksistensi alam. Realitas simbiosis mutualis. Tidak ada yang dirugikan tapi saling diuntungkan. Memiliki paradigma yang positif akan alam menjadi suatu hal yang perlu dan esensial. Paradigma manusia terhadap alam semesta amat mempengaruhi tindakan manusia di dalam memperlakukan alam. Paradigma manusia yang menganggap diri sebagai penguasa alam, yang mengatasi alam semesta dan bukan termasuk di dalam salah satu bagian dari alam semesta menyebabkan manusia bertindak sewenang-wenang terhadapnya. Hal itulah yang menyebabkan timbulnya kerusakan alam maupun munculnya masalah lingkungan hidup. Suatu paradigma yang sering kali dianut oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan serakah di tanah air ini. Orang-orang yang sesungguhnya tidak menyadari eksistensinya sebagai manusia yang harus hidup berdampingan dengan eksistensi alam. Sungguh, suatu kemunduran peradaban rasionalitas jika dibandingkan dengan peradaban rasionalitas Yunani awali, khususnya dalam konteks penghormatan dan pemeliharaan terhadap alam semesta.
Jika demikian, maka paradigma manusia tentang alam semesta dan eksistensi dirinya merupakan titik tolak terbentuknya cara merajut hubungan dengan alam itu sendiri. Kesadaran adalah aspek yang paling fundamental dalam hal ini. Bagaimana kesadaran manusia tentang alam semesta, akan menjadi titik tolak perlakuan manusia itu sendiri terhadap alam semesta. Pola relasi yang dibangun manusia dengan alam semesta bertumpu pada kesadarannya tentang posisi alam semesta itu sendiri terhadap dirinya. Karena itu, jika kita mau merubah cara manusia membangun relasinya dengan alam semesta, yang penting adalah perubahan kesadarannya tentang alam semesta itu sendiri.
Suatu paradigma yang baik akan muncul apabila kita sungguh menyadari bahwa kita ada bersama “ada” yang lain, yang dalam konteks ini adalah alam semesta. Kesadaran adalah kunci utama menuju suatu perubahan. Ego cogito ergo sum, kata Descates. Ungkapan itu tidak hanya mengungkapkan kesadaran “psikis” tapi megungkap kesadaran “batiniah”. Suatu kesadaran yang juga melibatkan daya diluar kemampuan akal budi kita (beyond rasionalitas). Oleh karena itu, langkah pertama dan utama dalam menjawab persolan mengenai keutuhan cipataan adalah Sadar! Suatu dampak yang lebih buruk dan fatal akan menerjang siapa saja dan kapan saja apabila kita hidup dalam ketidaksadaran.
*Penulis adalah mahasiswa STFT Widya Sasana-Malang
Negara Yang Berpihak Kepada Orang Miskin
Negara Yang Berpihak Kepada Orang Miskin
Oleh Herri Kiswanto*
Kemiskinan telah menjadi bagian dari hidup manusia. Hal itu juga telah menjadi suatu kenyataan yang kompleks di dalam dunia, termasuk dalam Negara kita sendiri. Kita dapat menjumpai dan menemukan orang miskin di mana-mana, hamper di seluruh pelososk negeri ini. Kemiskinan berarti suatu kenyataan hidup masyarakat atau sebagian dari masyarakat di mana para anggota hanya dapat atau hampir tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok, seperti makanan, perumahan, dan pakaian.
Ada banyak alasan yang menyebabkan kemiskinan, contohnya, cacat fisik dan mental, gender, status sosial, usia, isu-isu politis, pendidikan yang rendah dan kebijakan ekonomi yang tidak bersahabat. Melihat kenyataan tersebut, sudah saatnya kalau Negara memberikan perhatian yang sungguh dan maksimal kepada kaum miskin. Lebih lanjut, Negara harus mampu menunjukkan dan menyatakan keberpihakannya bagi mereka, yang terwujud dalam seluruh kebijakan-kebijakan, aturan, dan keputusan-keputusan yang dibuat oleh Negara. Sesungguhnya, Negara tidak hanya mempunyai tugas dan kewajiban untuk memelihara kesatuan dan keadilan, tetapi juga untuk mengatasi egoisme dan penyalahgunaan kekuasaan yang sering kali menjadi sumber dan akar dari kemiskinan itu sendiri. Kemiskinan tidak akan pernah lenyap dari muka bumi ini selama kekuasaan masih disalahgunakan. Sering kali kemiskinan disebabkan oleh mereka yang memiliki jabatan dan kekuasaan.
Dalam berhadapan dengan situasi tersebut, Negara perlu bekerja keras untuk mencapai suatu pemahaman yang lebih mendalam. Yakni bahwa perjuangan Negara bukanlah hanya untuk memerangi rasa lapar, ketidaktahuan, ketidakadilan, dan pelanggaran hak asasi manusia. Akan tetapi, yang paling penting adalah untuk memerangi kebejatan di dalam hati manusia yang merupakan sumber nyata dan akar dari sebagian besar struktur dan sistim penindasan yang menyebabkan kemiskinan. Semuanya itu dapat dilaksanakan melalui pengembangan struktur di mana orang miskin bukan hanya sebagai pengamat pasif tetapi juga harus sebagai pelaku aktif di dalam Negara maupun masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Negara perlu untuk bekerja sama dengan lembaga atau institusi sosial dalam perjuangan untuk memberdayakan orang miskin sehingga mampu bertumbuh dan dapat mencapai kesejahteraan yang layak dan martabat manusia yang penuh. Dengan melakukan hal tersebut, Negara dapat dengan jelas menunjukkan sikap keberpihakannya terhadap orang-orang miskin. Hal itu juga berarti bahwa usaha-usaha Negara bukanlah hanya bersifat teoritis, tetapi Negara benar-benar melakukan usaha tersebut secara konkret.
Relevansi Keberpihakan Terhadap Orang Miskin
Sebagai relevasi riil keberpihakan terhadap orang miskin, Negara dan juga kita sebagai anggota Negara itu sendiri perlu untuk menunjukkan suatu cara hidup yang berbeda kepada yang lain, terutama kepada yang lemah (orang miskin). Cara hidup tersebut antara lain, berusaha untuk hidup secara sederhana. Hal itu bisa dilakukan apabila mau, berani dan terbuka untuk mengatakan cukup terhadap uang atau hal-hal yang lain (tidak serakah), hal ini khususnya ditujukan kepada mereka yang berkecimpung dalam pemerintahan. Berusaha untuk membuang atau membasmi sikap ingin mempunyai lebih dan lebih. Menggunakan semua fasilitas dengan bijaksana dan tidak menginginkan kepunyaan orang lain, sebab sikap itulah yang sering kali terjadi dalam kehidupan berbangsa dan berNegara sekarang ini. Dalam konteks Negara Indonesia, pancasila sebagai ideology dapat menjadi inpirasi bagi kita dalam mengembangkan sikap keberpihakan terhadap kaum miskin. Pokok pandangan dari Pancasila, terutama sila ke lima: "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," mengungkapkan arti dari keberpihakan terhadap orang miskin. Kita harus mendekati mereka (yang lemah/miskin) secara tulus dan jujur dalam persaudaraan serta selalu siap untuk menolong mereka. Kita harus selalu meningkatkan kesadaran kita akan kewajiban kesetiakawanan kita terhadap orang miskin (yang lemah/miskin). Kesetiakawanan itu berarti bahwa permasalahan dan perjuangan mereka itu harus juga menjadi permasalahan dan perjuangan kita.
Kesetiakawanan terhadap orang miskin dapat dinyatakan dengan mengkritik ketidakadilan, berusaha untuk mengubah situasi kemiskinan, dengan bekerja bersama dengan Negara dalam membasminya secara bersama. Ketika kita mendekat kepada orang miskin untuk menemani dan melayani mereka, kita sedang melakukan apa yang diinginginkan Pancasila untuk kita lakukan. Pelayanan kepada yang orang miskin adalah suatu kehormatan.
Dalam hal ini, keberpihakan kita terhadap orang mikin harus menjadi suatu tanda yang nyata dari hidup kita sehari-hari. Dialog kehidupan yang dialogis harus menjadi tanda mendasar dari tindakan kita. Dialog kehidupan berarti membagikan pengalaman-pengalaman hidup kita dengan orang lain.. Di dalam dialog itu, kita dapat mengungkapkan ide-ide kita secara pribadi; mengakui, mengetahui hak-hak dan kebutuhan orang lain. Dengan dialog kehidupan, kita akan mampu memecahkan banyak permasalahan secara bersama-sama dalam hidup kita sehari-hari, termasuk masalah kemiskinan. Dialog kehidupan juga harus menjadi suatu gerakan transformative (yang mampu memberi perubahan), yakni dapat mengubah kemiskinan ke dalam suatu situasi yang lebih baik. Kemiskinan akan diubah jika penderita orang miskin dihapuskan atau paling tidak dikurangi, jika kedamaian diperjuangkan, jika lingkungan sekitar tempat untuk tinggal bersama-sama lebih bersahabat. Sesungguhnya jika kita memberikan kepada orang miskin sesuatu yang sungguh mereka butuhkan/perlukan, kita tidak memberi kepada mereka dengan sukarela sebagai pemberian kita secara pribadi tetapi kita mengembalikan apa yang telah menjadi hak mereka. Hal itu berarti dengan melakukan sesuatu bagi mereka, sebenarnya kita hanya melakukan itu lebih untuk melaksanakan kewajiban kita sebagai manusia terhadap mereka.
Karena orang miskin telah menjadi bagian dari hidup kita, maka, Negara bersama dengan seluruh anggota masyarakat perlu menunjukkan sikap keberpihakan kita kepada mereka, tidak hanya setengah-setengah, tetapi secara total. Sebagai suatu langkah awal agar kita dapat memberi perhatian kita terhadap mereka, pertama-tama kita mestinya tidak menganggap mereka sebagai suatu beban yang harus disingkirkan, tetapi kita harus menganggap mereka sebagai “kekayaan Negara”. Sebagai “kekayaan Negara” berarti mereka harus dilindungi, dipelihara, dijaga serta dikembangkan layaknya “kekayaan”. Sehingga, mereka dapat bertumbuh dan berkembang dalam mencapai taraf hidup yang layak dan sejahtera. Akhirnya, mereka juga akan mampu memiliki harkat dan martabat yang penuh dan sama dengan sesamanya yang lain.
*Penulis adalah Mahasiswa STFT Widya Sasana-Malang
Sabtu, 22 Maret 2008
Dunia “Idea” Dalam Perspektif Plato
Dunia “Idea” Dalam Perspektif Plato
Oleh : Herri Kiswanto Sitohang
I. Pengantar
Plato (427SM - 347SM) seorang filsuf Yunani yang termasyhur. Ia adalah murid Sokrates dan guru Aristoteles. Plato adalah seorang filsuf Barat yang paling populer dan dihormati di antara filsuf lainnya. Karya-karyanya menjadi rujukan awal bagi perkembangan filsafat dunia. Plato dilahirkan di Athena sekitar tahun 427 SM. Keluarganya paling terpandang di Athena. Pemikiran filsafatnya sangat dipengaruhi oleh gurunya, Socrates, yang telah mengajarinya selama 8 tahun. Hingga saat sang guru diadili dan dihukum, ia masih berusia 28 tahun. Setelah Socrates meninggal pada tahun 399 SM, karena terancam jiwanya akibat perang saudara kaum aristokrat dan kaum moderat serta diliputi kesedihan sepeninggal gurunya, Plato meninggalkan Athena bersama sahabat-sahabatnya. Mulai saat itulah ia melakukan perjalanan ‘filsufi’ ke berbagai kota. Hingga saat ia kembali ke Athena, ia membeli beberapa lahan di luar benteng kota Athena yang dikenal dengan nama Grove of Academus (Hutan Academus).[1] Di sinilah awal dari tumbuhnya sekolah yang terkenal yang dinamakan Akademi. Akademi ini merupakan cikal bakal universitas Abad Pertengahan dan Abad Modern yang selama 900 tahun menjadi sekolah yang mengagumkan di seluruh dunia.
Selama sisa hidupnya ia tidak menikah, waktunya selama 40 tahun banyak dihabiskan untuk mengajar dan menulis di Akademi. Walau setelah 20 tahun mengajar ia sempat ke Syracuse, untuk mendidik raja muda yakni Dionisius II. Dia menjadi seorang raja filsuf, yakni filsuf yang menjadi raja atau raja yang belajar filsafat. Ini berkaitan dengan misi hidupnya mencapai cita-cita bagi perkembangan filsafat sejati dan pendidikan bakal raja filsuf di Akademi. Baginya raja dengan pengetahuan yang baik akan mampu mengetahui kebenaran, keadilan sejati sehingga mampu menjalankan pemerintahan terbaik. Sebuah cita-cita yang di suatu masa di kemudian hari banyak memberi pengaruh terhadap raja-raja Eropa. Selepas itu ia kembali ke Akademi hingga meninggal dunia pada tahun 348 SM dalam usia 80 tahun.
Selama hidupnya, Plato rajin menulis. Banyak karya Plato dalam bentuk dialog.[2] Dalam dialog itu pada umumnya Plato memakai Sokrates untuk mengemukakan pandangan-pandangannya. Semua karya Plato, lebih dari 25 jumlahnya, masih ada. Yang paling terkenal adalah 10 buku (atau bab) Politeia ("Negara"), yang memuat ajaran Plato yang termasyur tentang negara. Tulisan-tulisan itu amat berpengaruh terhadap pemikiran Eropa selanjutnya. Pernyataan Alfred N. Whitehead bahwa seluruh filsafat pasca-Plato hanyalah sekadar catatan kaki terhadap karya Plato tidak jauh dari kebenaran.
II. Pertentangan Filsafat Pra-Sokratik
Pada zaman pra-sokratik, ada satu persoalan besar dalam filsafat, yaitu pertentangan antara Heraklitos dan Parmenides. Parmenides berpendapat bahwa yang ada ada, yang tidak ada tidak ada. Konsekuensi dari pernyataan ini adalah yang ada 1) satu dan tidak terbagi, 2) kekal, tidak mungkin ada perubahan, 3) sempurna, tidak bisa ditambah atau diambil darinya, 4) mengisi segala tempat, akibatnya tidak mungkin ada gerak sebagaimana klaim Heraklitos. Heraklitos menyatakan bahwa api sebagai dasar segala sesuatu. Api adalah lambang perubahan, karena api menyebabkan kayu atau bahan apa saja berubah menjadi abu sementara apinya sendiri tetap menjadi api. Herakleitos juga berpandangan bahwa di dalam dunia alamiah tidak sesuatupun yang tetap. Segala sesuatu yang ada sedang menjadi. Pernyataannya yang masyhur "Pantarhei kai uden menei" yang artinya semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal tetap.[3]
Filsafat Plato yang sampai kepada kita melalui karyanya itu bertitik pangkal pada adanya pertentangan antara Ada dan Menjadi, antara Satu dan Banyak, antara Tetap dan Berubah-ubah. Manakah dari kedua alternatif tersebut dapat dipilih sebagai titik pangkal filsafat yang memang sedang mencari satu asas utama? Manakah dari kedua alternatif itu dapat dianggap sebagai kenyataan (dan pengetahuan) yang sejati (Yunani: "ontos on", "benar-benar ada"), manakah yang semu (Yunani: "doza", "perkiraan" atau "maya")? Dalam dialog-dialognya, Plato menampilkan Sokrates beserta cara kerjanya supaya mereka yang menjadi kawan dialognya menemukan dalam diri mereka suatu kepastian pengetahuan. Pengetahuan itu berasal dari dalam jati dirinya yang bersifat bawaan (Inggris: Innate) sejak lahir. Pengetahuan itu mengalahkan segala keragu-raguan yang muncul berdasarkan segala penampilan dan pengalaman jasmani atau inderawi yang bermacam-macam (berganti-ganti, berubah-ubah). Oleh karena itu, terdapatlah pertentangan antara jati diri dengan penampilan yang dialami setiap manusia.
III. Dunia Idea Dalam Perspektif Plato
Pemecahan atau pencairan pertentangan itu dirumuskan Plato lebih lanjut dengan memakai suatu istilah yang seakan-akan berasal dari dunia pengetahuan dalam arti amat luas. Istilah itu adalah idea. Kata Yunani itu mempunyai akar "Wid" dengan arti "melihat" dengan mata kepala (Latin: "Videra", Inggris: "Vision") maupun menatap dengan mata batin sampai "mengetahui" (Jerman: "Wissen"; Inggris: "Wisdom").[4] Menurut Plato, pada awalnya, jati diri atau jiwa manusia hidup di "dunia idea" atau surga, dan dunia itu jauh dari dunia fana ini. Sejak awal jiwa berada di dunia fana, maka secara bawaan ia menatap dengan batinnya idea-idea sempurna dan abadi. Umpamanya idea tentang kebaikan, kebenaran, keindahan, keadilan, tetapi juga idea manusia atau kuda. Entahlah karena peristiwa apa, jiwa manusia itu "jatuh" dari dunia idea-idea itu ke dalam dunia ini sampai ke dalam "penjara" yaitu tubuh manusia. Melalui indera tubuhnya (terutama mata) ia melihat dan menatap dunia fana yang terdiri atas bayang-bayang atau "bayangan" dari idea-idea yang "semula" pernah ditatapnya secara murni. Lalu manusia ingat akan idea-idea murni itu yang "dahulu kala" ditatapnya dan yang secara bawaan memang menemaninya secara terselubung.
Bagi Plato, dunia “idea” adalah dunia yang nyata. Dimana dia mengungkapkan bahwa ide-ide itu bukanlah merupakan hasil dari pemikiran manusia, melainkan berdiri sendiri.[5] Plato mau mengungkapkan pendapatnya mengenai realitas yang adalah merupakan sesuatu yang melampaui daya pemikiran manusiawi (transcenden). Pandangan Plato ini menunjukkan bahwa realitas yang sesungguhnya bukanlah realitas inderawi (yang dapat dirasa, diraba, dilihat,didengar dan dihirup oleh panca indera manusia), tetapi merupakam realitas yang bersifat rohani dan oleh Plato hal itu disebut Idea.[6] Idea tersebut bersifat abadi dan tak berubah. Bagi Plato idea bukanlah gagasan yang hanya terdapat dalan pikiran saja (yang bersifat subyektif), tapi juga bersifat obyektif yakni yang berdiri sendiri, lepas dari subyek yang berpikir, tidak tergantung pada pemikiran manusia; akan tetapi justru idealah yang memimpin pikiran manusia.[7] Contohnya adalah idea manusia, dimana tiap orang berbeda dengan orang lain, tidak ada dua orang yang persis sama, tetapi keduanya adalah sama-sama manusia. Hal ini disebakan karena tiap manusia mendapat bagian daripada idea manusia.[8]
Menurut paham Plato, idea tidak saja pengertian jenis, tapi juga bentuk dari keadaan yang sebenarnya. Idea bukanlah suatu pikiran, melainkan suatu realita. Dalam hal ini, Plato melahirkan dua macam dunia, yaitu dunia yang kelihatan dan bertubuh dan dunia yang tak kelihatan dan tak bertubuh.[9] Pendapat Plato tentang dunia yang tak bertubuh yakni dunia yang lahir, terdiri daripada barang-barang yang dapat kita lihat dan alami, yang berubah senantiasa menurut benda dan waktu merupakam pendapat Parmenides tentang adanya yang satu, kekal dan tidak berubah-ubah. Sedangkan dunia yang bertubuh adalah dunia yang dapat diketahui dengan pandangan dan pengalaman. Dalam dunia itu semuanya bergerak dan berubah senantiasa, tidak ada yang tetap dan kekal. Ajaran Herakleitos tentang semuanya mengalir, dimana tidak ada yang tetap dapat ditampung dalam dunia Plato yang bertubuh tersebut.[10]
Untuk lebih memahami pikiran Plato tentang idea, kita dapat memakai perumpamaan yang terdapat di buku ketujuh Politeia, yaitu "perumpamaan tentang gua". Bayangkan sebuah gua; di dalamnya ada sekelompok tahanan yang tidak dapat memutarkan badan, duduk, menghadap tembok belakang gua. Di belakang para tahanan itu, di antara mereka dan pintu masuk, ada api besar. Di antara api dan para tahanan (yang membelakangi mereka) ada budak-budak yang membawa berbagai benda, patung, dan lainnya. Yang dapat dilihat oleh para tahanan hanyalah bayang-bayang dari benda-benda itu. Karena itu, mereka berpendapat bahwa bayang-bayang itulah seluruh realitas. Namun, ada satu dari para tahanan dapat lepas. Ia berpaling dan melihat benda-benda yang dibawa para budak dan api itu. Sesudah ia susah payah keluar dari gua dan matanya membiasakan diri pada cahaya, ia melihat pohon, rumah, dan dunia nyata di luar gua. Paling akhir ia memandang ke atas dan melihat matahari yang menyinari semuanya. Akhirnya ia mengerti, bahwa apa yang dulunya dianggap realitas bukanlah realitas yang sebenarnya, melainkan hanya bayang-bayang dari benda-benda yang hanya tiruan dari realitas yang sebenarnya di luar gua.
Plato memakai perumpamaan itu dalam rangka usahanya untuk menerangkan apa yang terjadi pada saat manusia mengenal atau mengetahui sesuatu. Sesuatu yang bukan lagi realitas inderawi, yang hanya cerminan realitas yang sebenarnya dalam medium materi (patung-patung yang meniru apa yang nyata-nyata ada). Melainkan sesuatu realitas yang sebenarnya, yang bersifat rohani. Pengetahuan sebagai hasil mengingat (anamnesis) akan suatu lapisan kesadaran bawaan dalam jati diri manusia itu, dicirikan oleh filsuf-filsuf modern sebagai pengetahuan berdasarkan intuisi. Melalui kesan dan pengamatan intuitif, manusia merasa bahwa ia sudah tahu, tanpa merasa perlu melakukan suatu pengamatan, penelitian atau penalaran lebih lanjut. Dan apabila seorang manusia sudah lebih dalam terlatih dalam hal intuisi, ia akan sanggup menatap dan seakan-akan memiliki sejumlah idea, "melihat matahari", misalkan tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, tetapi juga tentang pemerintahan, negara, pendidikan, sampai idea-idea itu tampil di hadapannya secara berjenjang-jenjang atau hierarkis, yaitu: jenjang kebenaran, jenjang nilai-nilai, dan lain-lain. Berdasarkan nilai tertinggi kebenaran hingga nilai terendah maka dapat "ditarik" suatu kesimpulan deduktif, seperti yang terdapat dalam matematika. Manurut Plato, matematika adalah bentuk pengetahuan yang paling sempurna. Tak seorangpun ia ijinkan masuk ke dalam Akademianya kalau belum terlatih dalam matematika, terlatih dalam hal "menurunkan" kebenaran dan nilai partikular dari kebenaran dan nilai yang lebih umum.
IV. Dua Dunia[11]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menurut Plato realitas seluruhnya seakan-akan terdiri dari “dua dunia”. Satu “dunia indra”, yakni mencakup benda-benda jasmani yang disajikan kepada panca indra. Pada taraf ini harus diakui bahwa semuanya etap berada dalam perubahan. Bunga yang kini bagus keesokan harinya sudah layu. Lagi pula, dunia indra ditandai oleh pluralitas. Harus diakui pula bahwa di sini tidak ada sesuatupun yang sempurna. Disamping “dunia indra” terdapat juga suatu dunia lain, yajni “dunia ideal” atau dunia yang terdiri atas Ide-ide. Dalam dunia ideal ini sama sekali tidak ada perubahan. Semua ide bersifat abadi dan tak terubahkan. Dalam dunia ideal tidak ada banyak hal yang bagus, hanya satu “ide yang bagus”. Demikian halnya Ide-ide lain, setiap ide bersifat sempurna.
Bagaimana hubungan antara kedua ide tersebut? Yang jelas adalah bahwa Ide-ide tersebut sama sekali tidak dipengaruhi oleh benda-benda jasmani (dunia indra). Misalnya, lingkaran yang digambarkan di papan tulis lalu dihapus lagi, sama sekali tidak mempengaruhi ide “lingkaran”. Akan tetapi, Ide-ide mendasari dan menyebabkan benda-benda jasmani. Hubungan antara dua dunia tersebut dingkapkan oleh Plato dalam tiga (3) cara: pertama, ia mengatakan bahwa ide itu hadir dalam benda-benda konkret. Tetapi dengan itu, Ide itu sendiri tidak dikurangi sedikitpun. Kedua, dengan cara lain, ia mengatakan bahwa benda konkret mengambil bagian dalam Ide. Dengan demikian, Plato mengintroduksikan paham partisipasi (metexis) ke dalam filsafat. Ketiga, akhirnya, Plato mengatakan bahwa Ide merupakan model atau contoh (paradeigma) bagi benda-benda konkret. Benda-benda konkret itu merupakan gambaran tak sempurna yang menyerupai model tersebut.
V. Penutup
Dari uraian di atas, kita dapa melihat secara jelas dan merangkum mengenai pemikiran Plato tentang “dunia idea”. Menurut paham Plato, idea tidak saja pengertian jenis, tapi juga bentuk dari keadaan yang sebenarnya. Idea bukanlah suatu pikiran, melainkan suatu realita. Dalam hal ini, Plato melahirkan dua macam dunia, yaitu dunia yang kelihatan dan bertubuh (dunia indra) dan dunia yang tak kelihatan dan tak bertubuh (dunia ideal). Pendapat Plato tentang dunia yang tak bertubuh yakni dunia yang lahir, terdiri daripada barang-barang yang dapat kita lihat dan alami, yang berubah senantiasa menurut benda dan waktu merupakam pendapat Parmenides tentang adanya yang satu, kekal dan tidak berubah-ubah. Sedangkan dunia yang bertubuh adalah dunia yang dapat diketahui dengan pandangan dan pengalaman. Dalam dunia itu semuanya bergerak dan berubah senantiasa, tidak ada yang tetap dan kekal. Ajaran Herakleitos tentang semuanya mengalir, dimana tidak ada yang tetap, itu dapat ditampung dalam dunia Plato yang bertubuh tersebut.
Demikianlah Plato berhasil menjembatani pertentangan yang ada antara Heraklitos, yang menyangkal perhentian (segala sesuatu mengalir) dan Parmenides yang menyangkal tiap gerak dan perubahan. Yang tetap, yang tidak berubah, yang kekal itu oleh Plato disebut “idea”. Karena teorinya mengenai Ide-ide, Plato dapat memperdamaikan ajaran Heraklitos dengan ajaran Parmenides.
Daftar Pustaka
Bertens, K., Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Hadiwijono, Harun, DR., Sari sejarah filsafat barat, Yogyakarta: kanisius, 1980.
Hatta, Mohammad, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Tintamas, 1980.
Isdaryanto, Bosco, Johannes, Sejarah Filsafat Barat Kuno Yunani, Malang: STFT Widya Sasana, 2006.
Setya,Wignjapra, F., Pengantar Filsafat dalam Perspektif Kristen, Malang: STFT Widya Sasana, 1987.
Suseno, Magnis, Franz, 13 Tokoh Etika, Yogyakarta: kanisius, 1997.
http://www.erabaru.or.id/k_10_art_11.htm, (diakses tgl 22 April 2008).
http://www.geocities.com/monasjunior/filsuf.html, (diakses tgl 22 April 2008).
http://www.mrkadarsah.50megs.com/custom4.html, (diakses tgl 25 April 2008).
Catatan Kaki:
[1] http://www.erabaru.or.id/k_10_art_11.htm, (diakses tgl 22 April 2008).
[2] Johannes Bosco Isdaryanto, LIC., Sejarah Filsafat Barat Kuno Yunani, (Malang: STFT Widya Sasana, 2006), hlm. 46.
[3] http://www.mrkadarsah.50megs.com/custom4.html, (diakses tgl 25 April 2008).
[4] http://www.geocities.com/monasjunior/filsuf.html, (diakses tgl 22 April 2008).
[5] DR.F.Wignjapra setya, Pengantar Filsafat dalam Perspektif Kristen, (Malang: STFT Widya sasana, 1987), hlm.12 (diktat).
[6] Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika, (Yogyakarta: kanisius, 1997), hlm. 16.
[7] DR.Harun Hadiwijono, Sari sejarah filsafat barat, (Yogyakarta: kanisius, 1980), hlm. 40.
[8] DR.Harun Hadiwijono, loc.cit.
[9] Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: Tintamas, 1980), hlm.99.
[10] Ibid., hlm. 41.
[11] Prof. Dr. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, ( Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 131-132.
[1] http://www.erabaru.or.id/k_10_art_11.htm, (diakses tgl 22 April 2008).
[2] Johannes Bosco Isdaryanto, LIC., Sejarah Filsafat Barat Kuno Yunani, (Malang: STFT Widya Sasana, 2006), hlm. 46.
[3] http://www.mrkadarsah.50megs.com/custom4.html, (diakses tgl 25 April 2008).
[4] http://www.geocities.com/monasjunior/filsuf.html, (diakses tgl 22 April 2008).
[5] DR.F.Wignjapra setya, Pengantar Filsafat dalam Perspektif Kristen, (Malang: STFT Widya sasana, 1987), hlm.12 (diktat).
[6] Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika, (Yogyakarta: kanisius, 1997), hlm. 16.
[7] DR.Harun Hadiwijono, Sari sejarah filsafat barat, (Yogyakarta: kanisius, 1980), hlm. 40.
[8] DR.Harun Hadiwijono, loc.cit.
[9] Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: Tintamas, 1980), hlm.99.
[10] Ibid., hlm. 41.
[11] Prof. Dr. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, ( Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 131-132.
BERTUMBUH DALAM SIKAP-SIKAP YANG MENDASARI PROSES PENDEWASAAN DIRI
BERTUMBUH DALAM SIKAP-SIKAP YANG MENDASARI PROSES PENDEWASAAN DIRI
( Dalam Konteks Pembinaan Calon Religius )
Oleh : Herri Kiswanto Sitohang
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar belakang Pemilihan Tema
Kedewasaan kepribadian pada umumnya selalu dibicarakan dalam konteks psikologi, namun hal itu juga sering dibicarakan dalam konteks pembinaan; khususnya pembinaan calon religius. Menjadi pribadi yang dewasa merupakan kriteria yang penting dalam pembinaan hidup religius. Kedewasaan pribadi menjadi suatu syarat fundamental bagi seorang calon religius agar ia mampu untuk menghayati tuntutan panggilannya, khususnya sebagai dasar untuk penghayatan nasihat-nasihat Injili.
Proses pendewasaan diri dalam menanggapi panggilan Tuhan adalah semata-mata karya rahmat Allah dalam diri kita. Kita dipanggil oleh Tuhan untuk menanggapi karya rahmatNya tersebut. Allah juga menghendaki agar dalam pertumbuhan mencapai kedewaasaan itu, kita harus memanfaatkan segala sumber daya manusiawi yang kita miliki, yang semuanya itu akan tertuang dalam sikap-sikap hidup yang kita tampilkan sehari-hari. Maka, dengan menggunakan sumber daya yang kita miliki tersebut, kita akan dapat bertumbuh menjadi pribadi yang dewasa untuk menanggapi panggilan khusus yang telah diberikan oleh Tuhan kepada kita. Hal itu juga akan membantu kita untuk mampu menampilkan sikap-sikap kedewasaan kita sebagai calon Religius. Namun yang menjadi pertanyaan kita adalah : “ Apa dan bagaimana sikap-sikap yang mendasari proses pendewasaan diri tersebut ? ”, hal itulah yang akan kita lihat dalam uraian-uraian selanjutnya.
1.2 Pokok Permasalahan
Dalam konteks pembinaan calon Religius, terkadang para anak bina merasa kebingungan dalam menampilkan sikap-sikap kepribadiannya sebagai seorang yang dewasa. Oleh karena itu, para anak bina seringkali tidak mampu untuk menampilkan sikap kedewasaannya secara asli melainkan meniru sikap orang lain yang dianggapnya sudah dewasa sekalipun tidak selamanya sesuai dengan dirinya. Sehingga dalam hal ini terjadi proses “imitasi” kedewasaan. Maka untuk mengatasi hal itulah, penulis ingin mencoba membantu para anak bina yang merasa kebingungan tersebut, baik secara teoritis maupun lewat pergulatan penulis sebagai calon religius dalam mencapai dan menampilkan sikap-sikap yang mendasari proses kedewasaannya.
1.3 Tujuan Pembahasan
Tujuan utama dari penulisan paper ini adalah untuk menunjukkan kepada para anak bina yang merasa kebingungan, apa dan bagaimana sebenarnya sikap-sikap yang mendasari proses pendewasaan diri tesebut. Dengan demikian, anak bina akan mampu untuk menampilkan sikap-sikap kedewasaannya secara asli dan bukan lagi tiruan dari orang lain, atau dengan kata lain “ bertopeng dengan sikap kedewasaan orang lain ”. Maka lewat paper ini, Penulis akan mencoba menyajikan beberapa sikap yang mendasari proses kedewasaan tersebut.
BAB II
Bertumbuh Dalam Sikap-sikap Yang Mendasari Proses Pendewasaan Diri
2.1 Arti dan Sikap Kedewasaan menurut Model-model Kedewasaan
Dalam pengertian banyak orang, sering kali orang mengartikan kedewasaan itu sebagai suatu hal yang berkembang dalam diri manusia sesuai dengan umur atau usia seseorang. Namun berdasarkan model-model kedewasaan yang ada, ternyata kedewasaan seseorang tidak hanya dilihat dari segi umur atau usia tetapi juga dari aspek-asprk lain. Berikut ini kita akan melihat model-model kedewasaan tersebut.
2.1.1 Model Psikoanalitis
Dalam model ini, Sigmund Freud mendefinisikan kedewasaan adalah pribadi yang berhasil melewati tahap-tahap perkembangan yang ada tanpa berhenti pada satu tahap, yakni dengan mengubah kesenangan pribadi menjadi suatu kenyataan yang umum ( Narcisistik → Social realita ). Tahap-tahap perkembangan itu dibagi dalam dua konsep yaitu : Konsep dinamis dan Konsep konfliktual.
Sikap-sikap yang mendasari proses pendewasaan diri menurut model ini adalah :
■ Menyeimbangkan diri dihadapan setiap perubahan dalam diri (konsep dinamis)
■ Berani berhadapan dengan konflik (konsep konfliktual)
2.1.2 Model Epigenetis
Eric erikson sebagai tokoh dari model ini mendefinisikan kedewasaan adalah pribadi yang mampu menghadapi tiap krisis untuk mencapai suatu keseimbangan yang penuh dalam dirinya, kemudian menemukan integrasi melalui tahap-tahap konflik yang ada yaitu ; konflik dasar, konflik remaja dan konflik dewasa, sehingga pada akhirnya mampu menilai serta melakukan setiap hal yang bermakna bagi pribadinya.
Sikap-sikap yang mendasari proses pendewasaan diri menurut model ini adalah :
■ Mampu menemukan identitas pribadi melalui tahap-tahp konflik yang ada.
■ Mampu masuk dan berelasi dengan orang lain.
■ Mampu menemukan makna hidupnya.
2.1.3 Model Realisasi Diri
Kedewasaan menurut model ini adalah pribadi yang mampu mengungkapkan diri secara otentik. Sehingga dalam hal ini, Carls roger menekankan bahwa kedewasaan itu muncul melalui pribadi yang berfungsi serta berperan secara penuh (menjadi diri sendiri).
Sikap-sikap yang mendasari proses pendewasaan diri menurut model ini adalah :
■ Meninggalkan unsur0unsur yang tidak sama dengan diri sendiri
■ Menentukan sendiri/ tidak bergantung pada orang lain (bergerak bebas)
■ Bertumpu pada kekuatan sendiri demi mencapai suatu tujuan yang positif.
2.1.4 Model Konfrontasi Transendensi Diri
Model ini menegaskan bahwa kedewasaan adalah suatu kemampuan untuk dapat mentransendensi diri dalam bentuk keterbukaan ke arah keutamaan, mengarahkan diri pada kebaikan sejati dan memiliki pertumbuhan kodrati yang normalmenuju arah yang lebih tinggi.
Sikap-sikap yang mendasari proses pendewasaan diri menurut model ini yakni :
■ Mengarahkan diri pada nilai-nilai transenden (yanglebih tinggi)
■ Mengarah diri pada nilai Teosentris dan adikodrati
■ Menjadikan diri ideal dan diri aktual dalam horison nilai-nilai kodrati.
2.2 Sikap-sikap yang mendasri Proses Pendewasaan Diri
Untuk dapat membantu agar lebih siap dalam menanggapikarya rahmat Allah, maka seorang calon religius perlu memiliki sikap-sikap mendasar dalam proses menuju pendewasaan dirinya sendiri. Sikap-sikap itu adalah ; Sikap EMPATI, OTENTIK, RESPEK, KONFRONTASI dan PERWUJUDAN DIRI terhadap diri sendiri.
2.2.1 Sikap Empati
Sikap empati berarti kesanggupan seseorang untuk merasakan dan mengerti perasaan-perasaan orang lain, seolah-olah itu adalah perasaan diri sendiri. Maka sikap ini juga penting terhadap diri sendiri, artinya diri sendiri sanggup untuk merasakan dan mengerti dengan tepat apa yang dialami dan dirasakan sendiri serta dengan jelas mengungkapkan pengertian itu.
Sikap empati terhadap diri membantu orang untuk lebih obyektif atau realistis dalam mengenal diri. Sikap ini juaga akan membantu orang untuk mengembangkan kesadaran diri akan pengalaman serta perasaan pribadi.
2.2.2 Sikap Otentik
Sikap otentik berarti asli. Atau juga disebut dengan sikap jujur, polos, ataupun apa adanya. Sikap ini dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu ;
■ Tahap I, mengenal dan menyebutkan perasaan yang ada dalam diri apa adanya dan yang sebenarnya (entah baik maupun tidak baik), tanpa harus menutup-nutupinya.
■ Tahap II, menyadari perasaan sebagai bagian dari pengalaman hidup. Apabila seseorang tidak menyadari suatu perasaan baik atau buruk, maupun karena perasaan itu tidak terpuji, maka ia juga tidak otentik terhadap dirinya sendiri.
■ Tahap III, yakni tahap memutuskan.Hal itu berarti seseorang harus untuk membuang ataupun memperthankan perasaan yang ada tersebut. Perasaan yang baik dipertahankan, sedangkan perasaan yang meruasak dibuang, dan seseorang harus sungguh sadar akan keputusan tersebut.
Singkatnya, sikap otentik berarti dapat menyebut perasaan dengan tepat, mengakuinya sebagai bagian dari pengalaman hidup, serta sadar akan keputusan yang diambil untuk membuang atau mempertahankan perasaan itu.
2.2.3 Sikap Respek
Respek berarti menaruh hormat atau menghargai. Sikap respek terhadap diri sendiri berarti mau menerima diri apa adanya dengan penuh cinta karena sadar bahwa seperti apapun dirinya akan tetap bernilai dan berharga dihadapan Tuhan serta memiliki kemampuan untuk dapat berkmbang menjadi lebih baik.
Sikap ini membantu orang untuk tidak minder, tidak rendah diri, tetapi dengan apa adanya merasa cukup mampu untuk berkembang dengan orang lain dan melaksanakan tugas dengan penuh semangat.
2.2.4 Sikap Konfrontasi Diri
Sikap Konfrontasi diri berarti saling berhadapan atau bertatapan ; seseorang beruasaha untuk mencari kekurangan-kekurangan pribadi, kemudian ia membawa kekurangan tersebut kepermukaan kesadaran diri. Kesadaran itu akan menggerakkan seseorang untuk keluar dari kepuasaan diri dan membuat dirinya menjadi malu dan tidak senang dengan kekurangannya tersebut. Konfrontasi diri memaksa seseorang untuk menatap diri yang sesungguhnya dan menyadari kekurangan diri sendiri, kemudian membuat orang untuk melihat kebenarab tentang dirinya. Sikap konfrontasi diri ini akan menarik orang untuk mengikuti arah yang benar serta membuat orang lebih siap menanggapi rahmat Allah.
2.2.5 Perwujudan Diri
Yang dimaksud dengan perwujudan diri disini adalah sikap mau mengejar dengan penuh semangat perwujudan diri yang semakin sempurna. Seseorang dituntut untuk maju dan mencapai realisasi diri yang semakin penuh. Dalam konteks pembinaan calon religius, sikap ini memacu seseorang untuk menggunakan seluruh sumber manusiawi dan rohaninya untuk menjawab dengan sepenuh hati bimbingan Roh dalam hidupnya. Pribadi yang telah mewujudkan diri adalah pribadi yang berusaha keras untuk semakin memahami rencana Allah bagi dirinya dan menjawab dengan lembut terang yang diterima dari Roh Kudus.
BAB III
Refleksi
Bagi saya pribadi, kedewasaan pribadi manusia terletak pada kualitas diri manusia dalam menjalani dan menghadapi situasi-situasi hidupnya. Kualitas itu akan dapat dicapai apabila seseorang mampu untuk berusaha melihat dirinya secara jelas dan benar serta selalu merefleksikannya. Kualitas diri sebagai inti kedewasaan yang saya maksud teersebut akan terungkap melalui sikap-sikap mendasar yang ditampilkan sehari-hari dalam menjalani serta menghadapi situasi-situasi kehidupannya, sebagai pribadi yang selalu berproses dalam kedewasaan. Sikap-sikap mendasar itu adalah :
Sikap bisa menerima Kenyataan
Dalam sikap ini, orang yang dewasa adalah orang yang realistis hidupnya. Jadi, ia tidak lagi hidup dalam suatu dunia bayangan yang penuh dengan impian yang indah-indah, tapi hidup dalam dunia nyata diman banyak hal berbeda dengan apa yang diharapkan. Singkatnya, sikap ini akan mampu membawa orang untuk bisa menerima kenyataan hidup dengan bahagia meski terkadang tidak sesuai dengan harapan.
Sikap inilah yang selalu saya perjuangkan untuk mencoba terus-menerus mencapai kualitas diri dalam proses pendewasaan diri untuk menjalani hidup saya sebagai calon religius. Karena hidup sebagai calon religius atau religius sekalipun pasti akan selalu berhadapan dengan banyak hal yang berbeda dengan apa yang diharapkan secara pribadi. Seperti yang saya alami selama dalam rumah formasi, yakni banyak perbedaan-perbedaan yang saya hadapi misalnya perbedaan watak, pandangan, pola pikir. Kebudayaan, mentalitas sampai pada perbedaan kecil sekalipun. Namun disitulah, saya dituntut untuk mampu menerima kenyataan yang ada dan beruasaha menikmati kenyataan tersebut.
Sikap bebas dari kepentingan Diri
Sikap ini menuntut saya untuk tidak lagi terbelenggu dengan segala kebutuhan dan kepentingan saya sendiri. Saya dituntut untuk tidak lagi memusatkan perhatian pada diri saya sendiri tetapi pada kepentingan komunitas atau bersama. Sikap ini mengajak saya maupun siapa saja untuk sanggup memberikan diri seutuhnya demi kepentingan sesama. Dan bagi saya pribadi, hal itu bukan suatu hal mudah dan gampang untuk dilaksanakan, karena hal itu juga bukan suatu pengurbanan yang ringan. Tetapi toh, saya harus selalu berusaha untuk dapat melaksanakannya.
Sikap pantang menyerah terhadap Tantangan
Banyak orang mengatakan bahwa hidup ini penuh dengan tantangan. Dalam menghadapi kenyataan itulah, saya ditempa untuk menjadi tabah dalam menghadapi berbagai macam tantangan dan kesulitan hidup saya, walaupun terkadang sya merasa kalah dan menyerah sehingga hanya dapat berharap pada Tuhan saja. Dalam banyak hal pula, saya ditantang untuk tidak mundur ataupun menyerah dalam memperjuangkan dan mewujudkan nilai-nilai yang saya yakini baik, meski harus berhadapan dengan banyak hambatan. Melalui sikap ini, saya disadarkan untuk mampu melihat suatu tantangan sebagai suatu kesempatan untuk bertumbuh,maju serta menempa dan mengembangkan diri saya.
Sikap Mandiri dan Kerjasama
Kemandirian berarti menuntut suatu inisitif pribadi dan inisiatif pribadi akan muncul apabila ada rasa percaya diri sehingga pada akhirnya mampu untuk menerima diri.Orang yang mampu menerima diri tentunya tidak akan mengalami banyak kesulitan dalam bergaul dan bekerja sama dengan orang lain. Namun bagi saya pribadi, idealisme serta sikap ego pribadi yang terkadang muncul menjadi faktor penghambat untuk mewujudkan sikap tersebut. Tapi bukan berarti bahwa hal itu menjadi hal yang mustahil bagi saya, melainkan saya akan terus berproses untuk dapat melaksanakannya semaksimal mungkin dalam hidup panggilan saya.
Sikap Bijaksana
Kebijaksanaan hanya mungkin diperoleh jika seseorang mau belajar dan terbuka terhadap pengalaman pribadi maupun orang lain. Sikap bijaksana juga menyangkut tentang kesopanan, mengetahui adat istiadat sesama dengan baik, tahu tempat dan waktu, bisa membuat prioritas serta mengetahui kepentingan pribadi maupun orang lain. Hidup dalam suatu komunitas formasi, sikap ini tentunya akan sangat berperan, khususnya sikap ini akan sangat dibutuhkan pada awal suatu perjumpaan dengan sesama komunitas maupu dalam perjalan hidup selanjutnya bersama orang lain. Orang yang bijaksana akan bisa memahami setiap situasi yang dihadapinya dan bisa mengambil suatu keputusan secara tepat. Dalam bertindak, ia tidak akan sembarangan dan dalam banyak keputusannya, ia akan memutuskannya berdasrakan pertimbangan yang matang yakni dengan memperhatikan berbagai aspek dan konsekwensinya.
BAB IV
Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian diatas, secara jelas telah diungkapkan bahwa untuk mewujudkan sikap-sikap yang mendasari proses pendewasaan diri bukanlah suatu hal yang mudah dan gampang untuk dilaksanakan, apalagi kedewasaan yang dituntut secara khusus bagi para calon religius. Namun walaupun demikian, bukan berarti bahwa para calon religius harus mundur atau menyerah, melainkan harus berani untuk selalu berusaha mencapai dan melaksanakannya semaksimal mugkin. Melalui paper ini, saya ingin mengajak teman-teman sekalian yakni sebagai calon religius, kita harus berani mencoba untuk melaksanakan apa yang telah saya uraikan secara teori maupun pergulatan pribadi saya yang saya ungkapkan melalui refleksi saya dalam paper ini.
Semoga keberadaan paper ini mampu membantu siapa saja yang membacanya, khususnya bagi teman-teman calon religius yang sedang bergulat dengan sikap-sikap yang mendasari proses pendewasaan dirinya dalam menanggapi rahmat panggilan yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Ilmiah :
Abata, M. Russel, Berani-Jadilah Dirim!, Kanisius, Yogyakarta, 1996
Fuster.J.M, SJ, Teknik Mendewasakan Diri, Kanisius, Yogyakarta, 1985
Prasetyo Mardi.F, SJ, Tugas Pembinaan Demi Mutu Hidup Bakti, Kanisius,
Yogyakarta, 2001
Referensi :
Dokumen KV II, (terj. DR.J. Riberu), Obor, Jakarta, 1983
Majalah :
Suyanto Joko. Ig, SJ, Kaum Religius Menyambut Jamannya, Rohani, Yogyakarta, 1994
Kejahatan Terhadap Kaum Perempuan
“Kejahatan” Terhadap Kaum Perempuan
Oleh Herri Kiswanto Sitohang
Setiap tanggal 8 Maret, seluruh dunia memperingati hari perempuan Internasional, sebuah peringatan untuk memberikan penghargaan terhadap perjuangan perempuan dalam menghilangkan berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi yang dialami oleh seluruh rakyat, khususnya kelompok rentan yang selama ini tertindas oleh sistem patriarki dan sistem kapitalisme yang menempatkan perempuan sebagai kelas kedua. Di Indonesia, peringatan hari perempuan internasional tersebut hendaknya dirayakan sebagai peringatan untuk mengingatkan betapa besarnya perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya, meskipun kekerasan terus dilakukan baik fisik maupun psikis.
Salah satu perjuangan HAM yang paling menonjol hingga dewasa ini adalah ketidaksetaraan peranan dan status sosial anatara laki-laki dan perempuan. Sehingga tak jarang kondisi ini memberi peluang bagi tindakan kekerasan bagi kaum perempuan dalam banyak bentuk seperti: pemerkosaan dan kekerasan seksual, pelecehan seksual anak-anak di bawah umur, dan bahkan penganiayaan atau kekerasan suami terhadap istri (KDRT) serta kejahatan-kejahatan lain yang seringkali ditujukan kepada kaum perempuan.
Fakta yang dapat kita lihat adalah bahwa ada sejumlah budaya Indonesia tidak membenarkan kaum perempuan mendapat hak milik dari warisan orangtuanya atau juga memilih teman hidup. Adat istiadat cenderung menertawakan setiap perempuan yang berinisiatif mencari calon suami karena inisiatif itu adalah pilihan orangtua atau keluarga. Hal itu merupakan fakta yang dapat kita temukan di beberapa tempat di Nusantara ini. Antropolog feminis, Henrietta Moore, dalam penelitiannya (Feminisme & Antropologi: 1998) membenarkan anggapan budaya ini yakni bahwa perempuan sering dianggap sebagai subordinat laki-laki di kebanyakan kultur masyarakat Asia Pasifik. Fakta lain yang juga dapat menjadi bahan keprihatinan kita adalah mengenai adanya anggapan dalam masyarakat tradisional bahwa istri yang baik dan setia harus siap melayani suami kapanpun dan di dalam keadaan apa pun. Bahkan hal ini ditanggapi sebagai tanda seorang istri yang tahu berbakti kepada suami. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan kalau tindakan kekerasan seksual, yang notabene dapat disebut sebagai kejahatan, selalu ditolerir oleh kaum ibu (perempuan) trdisional.
Perjuangan HAM di Indonesia dari perspektif sosio-budaya justru sering kali mendapat tantangan hingga saat ini. Kita dapat menyaksikan bahwa disatu pihak terdapat segelintir aktivis perempuan yang gigih memperjuangkan bahwa perempuan telah banyak mengalami ketidakadilan berdasarkan jenis kelamin sebagai fakta yang universal, tetapi di pihak lain terdapat anggapan-anggapan kaum perempuan tradisional yang justru memberi peluang bagi tindakan-tindakan ketidakadilan gender tersebut. Kekerasan terhadap perempuan adalah suatu manifestasi dari adanya perbedaan kekuasaan dalam hubungan lelaki - perempuan di sepanjang sejarah. Hal ini mengakibatkan adanya penguasaan dan diskriminasi terhadap perempuan yang dilakukan oleh lelaki. Kekerasan yang dialami oleh perempuan di sepanjang hidupnya pada hakekatnya berasal dari pola-pola kebudayaan, secara khusus merupakan dampak dari praktik-praktik tradisional budaya tertentu ataupun kebiasaan-kebiasaan yang merugikan serta semua perbuatan ekstrimisme yang berkaitan dengan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama, yang mempertahankan pemberian kedudukan yang lebih rendah bagi perempuan di dalam keluarga, di tempat kerja, dan masyarakat.
Keyakinan bahwa kodrat perempuan itu lemah, posisinya di bawah laki-laki, “bertugas” melayani dan mudah ditindas menjadikan kaum perempuan dianggap sebagai “hak milik” laki-laki dan dapat diperlakukan semena-mena, termasuk dengan cara kekerasan. Hak istimewa yang dimiliki laki-laki akibat konstruksi gender menempatkan laki-laki untuk memiliki kekuasaan lebih tinggi daripada perempuan. Pola hubungan seperti itulah yang merupakan manifestasi patriarki. Ideologi ini berkembang secara luas mulai dari keluarga hingga sampai pada kebijakan pemerintah sekalipun. Merasuk dalam kebudayaan dan tertanam dalam semua sistem kehidupan. Hal ini pada gilirannya merupakan benteng yang sangat kuat dalam menutupi realita bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran hak asasi manusia. Sangat disayangkan bahwa kaum perempuan sendiri pun masih banyak yang belum menyadarinya. Hal itu terjadi karena budaya, tradisi maupun penafsiran ajaran agama yang seolah memberikan pembenaran bahwa mereka wajib menerima tindak kekerasan sebagai takdir.
Menyikapi “Kejahatan” Terhadap kaum Perempuan
Sebagai sesama manusia maupun sebagai bagian dari masyarakat ataupun keluarga, kita tidak boleh menutup mata terhadap realitas tersebut. Kekerasan (baca: kejahatan) terhadap kaum perempuan tidak bisa dipandang hanya sebagai tindak kriminal yang dilakukan oleh sekelompok penjahat atau orang yang sakit mental. Mengenai perkosaan, misalnya, sejumlah penelitian di tanah air menunjukkan bahwa tindak kejahatan ini justru dilakukan oleh orang-orang normal yang dikenal baik oleh korban: ayah, suami, teman, sanak keluarga, rekan kerja, kenalan. Kejahatan yang begitu banyak dan luas ini tentu memiliki akar struktural dan ideologi patriarki yang menempatkan kaum perempuan di bawah dominasi laki-laki. Oleh struktur dominasi itulah maka patriarki menjadi “tuan”, dimana laki-laki menjadi yang dipertuan dan perempuan diperhamba.
Perjuangan menentang kejahatan terhadap kaum perempuan ataupun perjuangan ke arah pembebasan, harus dilaksanakan dalam banyak bidang sekaligus. Artinya adalah bahwa tidak hanya terbatas pada satu bidang saja, misalnya, mengenai perkosaan ataupun kejahatan seksual. Akan tetapi juga harus mencakup bidang-bidang kejahatan lainnya yang ditujukan terhadap kaum perempuan (kejahatan terhadap kesusilaan), yang sering kali di ekspose lewat media massa maupun yang belum “terjangkau” oleh media massa.
Pada kenyataannya dalam berbagai hal, kita dapat melihat bahwa perempuan masih terus mengalami tindak kekerasan dan diskriminasi. Hal ini juga terjadi karena Negara masih saja abai dalam pemenuhan hak-hak warganya. Sebagai akibatnya perempuan kerap kali tidak memiliki kebebasan untuk menikmati hak asasinya sebagai manusia dan menjadi sangat rentan untuk tidak mengalami kekerasan, yang notabene merupakan praktik kejahatan terhadap kaum perempuan. Dalam menyikapi hal ini, satu hal yang penting diketahui adalah bahwa hak asasi manusia perempuan maupun anak perempuan adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hak asasi manusia secara menyeluruh.
Oleh karena itu setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin (gender-based violence) yang berakibat kesengsaraan atau penderitan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis yakni berupa ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi harus sungguh-sungguh mendapat perhatian yang ekstra serius baik dari kalangan masyarakat maupun pemerintah sendiri. Demi suatu pencapaian penghargaan akan harkat dan martabat kaum perempuan, sebab sesungguhnya kejahatan yang berbasis gender dalam segala bentuknya itu tidak sesuai dengan harkat dan martabat maupun harga diri manusia. Adalah suatu kewajiban setiap negara di dunia ini untuk melindungi kaum perempuan dari berbagai tindak kekerasan, sebagaiman hal itu juga diserukan dalam konferensi PBB di Wina pada tahun 1993 ( Declaration on the Elimination of Violence Against Women).
Kita sebagai masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan tidak boleh tinggal diam melihat hal ini. Melindungi dan memajukan hak-hak dan kebebasan, upaya penghapusan tindak kekerasan terhadap kaum perempuan kini harus menjadi sebuah kepedulian global. Secara khusus untuk kaum perempuan, perubahan sikap adalah langkah awal yang sangat penting bagi upaya pencegahan dan penanggulangan persoalan ini. Adanya suara anda dan solidaritas maupun empati dari semua pihak akan membuat masyarakat memandang masalah ini secara berbeda. Pada gilirannya, suara anda tersebut akan mengubah dunia agar lebih demokratis dan damai.
Upaya untuk mencapai perubahan ini harus juga dibarengi dengan upaya dari para penegak hukum agar lebih responsif dan sensitif terhadap kepentingan kaum perempuan dalam segala bentuk problemanya. Memasukkan masalah gender dan hak-hak kaum perempuan dalam kurikulum pendidikan, khususnya bagi para penegak hukum, adalah sesuatu yang niscaya harus dilakukan.
Preferential Option For The Poor
Preferential Option for the Poor
By. Herri Kiswanto Sitohang*
Poverty is a part of human life. It has become a complex reality problem in the world, including in our beloved country, Indonesia. Absolutely, poverty means a reality of social life or a part of social life in which the members only can or barely can fulfill the primary needs of life such as food, housing, clothing.
There are many reasons which cause poverty, for example the lack of physical and mental abilities, gender, social status, age, political issues, and low education. Considering that reality of life, it is high time that the government paid close and maximum attention to the poor. Further more, the government must be able to show and express their preferential option for them (the poor) through all of the policies, laws, and the other decisions. Actually, the government has the duties obligations to maintain the unity and justice in the nation, and also to cope with egoism and abuse of power which often become the sources of poverty in our country.
In dealing with those situations, the government should strive to achieve a deeper understanding, namely, the struggle of the government is not just to fight against hunger, unknown, injustice, and human right violation, but the most important is to fight against depravity in the hearts of people which are actually the real sources and roots of much of the structure and system of oppression that cause poverty. All of them can be carried out through developing the structure where the poor are not just as passive observers but also active actors in the society and the government as well.
The government should also be responsive when, together with social institutions, struggle to empower the poor, so that the poor can grow to reach a decent prosperity and a full human dignity. By doing so, the government can clearly show to the Indonesian people their preferential option for the poor. And it also means that their efforts are not theoretical, but that government really do something about it.
The Government Efforts Dealing with the Preferential Option for the Poor
Preferential option for the poor fight orientation of the government and society tasks. Preferential option for the poor is the government’s and society’s choice to show their empathy to the poor. Preferential option for the poor means giving them attention, carrying out necessary actions,
showing solidarity, appreciating their existence as fellow human beings and loving them. Loving them is a way to struggle against injustice and to open the door to economic improvement and humanity. Charity for the poor must not be accompanied by any vested-interest. Giving donations for the poor also is a part of the main charity too. Preferential option for the poor means taking sides to build fraternity through hard struggle.
Actually, the government and the society have the duties and obligations to cope with poverty. As a part of the society, all of us of course feel apprehensive about the poverty reality in our country and especially with that around us. In this case, we need to give attention and to engage ourselves in improving the unity and justice among us as our solidarity attitude towards them. On the other hand, we can see that poverty also causes a decrease of reasoning and an increase of emotion in finding the solutions to the social problems. It means that if someone is prosperous, he can treat others well. For example, he can be patient in his relations with others. On the political side, the better prosperity will make the government grow and society the more mature and independent. This is influential for the political stability.
Dealing with the efforts of the government for preferential option for the poor in order to make them able to achieve a descent prosperity and full human dignity, there are some opinions. First, the government should enhance solidarity attitude towards the poor and strive to work together with them in defending their rights in the social life. Second, the government should struggle so that the poor’s dignity and human values are acknowledged and appreciated. That is so because it is the most important for them, it is more valuable than the other help in the form of materials. Third, the government should try to fight against depravity in the hearts of all people, because that is the main source and root of many structures and oppression system which cause poverty. Fourth, the government should help the poor by giving them material help and support them, so that they can create something valuable in their lives with all of their own abilities
Relevancies of the Preferential Option for the Poor
As a real relevance attitude for the poor, the government and also we as society members need to show a different way of life to others, especially the poor. Trying to have a prosperous life can be done through the readiness to say enough for money or others things (not greedy).Trying to get rid of an attitude which make inclined to want to have more and more can be done by using all of facilities wisely, and not trying to take away those of others, because that often happens in the government body in our country.
The point of view of Pancasila, especially the fifth “order” (in Indonesian: “sila”): “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” expresses the meaning of preferential option for the poor, that is, we must approach them (the poor) sincerely and straight forward in brotherly and always ready to help them. We must always exacerbate our awareness of our solidarity obligation towards the poor. That solidarity means that their problems and struggles must become ours too.
Solidarity for the poor can be expressed by criticizing injustice, trying to change poverty situation, by working together with the government to evenly distribute the country income. When we draw near to the poor in order to accompany them and serve them, we are doing what Pancasila wants us to do when it becomes our ideology. Hence service to the poor is a privilege.
In this case, preferential option for the poor must become a real sign of our daily life. Dialogue of life must become a basic sign of our real action. Dialogue of life means sharing our daily life experiences with others. In the dialogue, we have time to express our personal ideas; admitting the rights and need of others. With the dialogue of life, we will be able to solve many problems together in our daily life, including poverty. Dialogue of life also must become a Transformative movement that can change poverty into a better situation. Poverty will be changed if the suffer of the poor is eliminated or at least decreased, if peace is struggled, if the land for living together is more humane. There is a wise quotation about an attitude of preferential option for the poor, namely: “If we give the poor something which they really need, actually we do not give it to them voluntarily as our personal gift but we return to them what has become their right.” By doing something for them, actually we do more to fulfill our obligations as human towards them.
Because the poor are a part of our life, so the government with us as society members should show our preferential option for them as well as we can, not just a half, but totally. As a step of success in order that we can give our attention and preferential for the poor is firstly we should not consider them as a burden that has to be eliminated, but we must consider them as the wealth of our country. Wealth of country means something or someone that must be protected and improved, so that they can naturally grow as human beings.
*The writer is a student of theology philosophy college
(STFT Widya Sasana-Malang)
At Jln. Terusan Rajabasa 6
Malang-East Java
Remaja dan Perilaku Konsumtif
Remaja dan Perilaku Konsumtif
Oleh: Herri Kiswanto Sitohang
Seiring dengan terjadinya perubahan perekonomian dan globalisasi, terjadi pula perubahan dalam perilaku membeli pada masyarakat. Terkadang seseorang membeli sesuatu bukan didasari pada kebutuhan yang sebenarnya. Perilaku membeli yang tidak sesuai kebutuhan dilakukan semata-mata demi kesenangan, sehingga menyebabkan seseorang menjadi boros. Perilaku ini dikenal dengan istilah perilaku konsumtif. Perilaku ini dapat terjadi pada setiap orang termasuk kaum remaja. Kata “konsumtif” (sebagai kata sifat; lihat akhiran –if) sering diartikan sama dengan kata “konsumerisme”. Padahal kata yang terakhir ini mengacu pada segala sesuatu yang berhubungan dengan konsumen. Sedangkan konsumtif lebih khusus menjelaskan keinginan untuk mengkonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan yang maksimal. Memang belum ada definisi yang memuaskan tentang kata konsumtif ini. Namun konsumtif biasanya digunakan untuk menunjuk pada perilaku konsumen yang memanfaatkan nilai uang lebih besar dari nilai produksinya untuk barang dan jasa yang bukan menjadi kebutuhan pokok. Misalnya sebagai ilustrasi, seorang remaja memiliki 200 ribu rupiah. Kemudian ia membelanjakan 100 ribu rupiah dalam waktu tertentu untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sisa 100 ribu ia belanjakan untuk sepasang sepatu karena sepatu yang dimilikinya untuk ke sekolah sudah rusak. Dalam hal ini orang tadi belum disebut berperilaku konsumtif. Tapi apabila ia belanjakan untuk sepatu yang sebenarnya tidak ia butuhkan (apalagi ia membeli sepatu seharga Rp.200.000), maka ia dapat disebut berperilaku konsumtif.
Perilaku konsumtif kaum remaja
Perilaku konsumtif dewasa ini menjadi bagian kehidupan masyarakat, khususnya dalam dunia kaum remaja. Pusat perbelanjaan atau mal-mal yang tumbuh pesat menawarkan berbagai fasilitas lengkap, nyaman, dan serba praktis memanjakan masyarakat, termasuk para remaja.
Menjumpai kaum remaja di mal-mal atau tempat perbelanjaan lainnya sekarang ini bukanlah masalah sulit. Mal kini bukan sekadar tujuan orang berbelanja, namun sarat dengan arena fasilitas hiburan, bahkan menjadi sarana alternatif pengisi waktu luang di kalangan remaja untuk sekadar "cuci mata", nongkrong dan ngerumpi. Suguhan yang ditawarkan di mal berupa mode fashion, aneka kuliner, aksesori, dan berbagai hiburan cukup menggoda hati setiap pengunjung , khususnya kaum remaja.
Di kalangan remaja yang memiliki orang tua dengan kelas ekonomi yang cukup berada, terutama di kota-kota besar, mall sudah menjadi rumah kedua. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka juga dapat mengikuti mode yang sedang beredar. Padahal mode itu sendiri selalu berubah sehingga para remaja tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Alhasil, muncullah perilaku yang konsumtif.
Situasi dan kondisi tersebut membawa pengaruh konsumtif bagi kaum remaja selaku pengunjung. Kaum remaja cenderung digiring menghabiskan uang sakunya untuk melampiaskan keinginannya. Rasa gengsi dan demi penampilan di hadapan rekan-rekannya, membuat mereka terbiasa saling mentraktir, mengadakan pesta ulang tahun atau hura-hura di mal atau kafe. Agar tampak lebih gaul, gaya hidup kaum remaja pun banyak mengadopsi model-model iklan atau pemain sinetron yang sedang tren, seperti model fashion, aksesori, telefon seluler, tato, tindik, dsb.
Perilaku konsumtif seperti itu sangat rentan bagi kaum remaja untuk terlibat dalam hal-hal negatif. Secara logika, perilaku konsumtif tanpa didukung dana memadai (uang saku) membuat remaja berusaha berbagai cara untuk memenuhi hasratnya. Kaum remaja tak segan masuk terlibat perbuatan kriminal seperti memalak, menipu dan mencuri. Sementara beberapa remaja putri, rela menyerahkan diri berbuat asusila demi materi untuk keperluan konsumtif dirinya. Gaya hidup seperti itu cukup dekat mengantarkan kaum remaja kepada geng pecandu narkoba dan geng-geng lainnya.
Perilaku konsumtif ini dapat terus mengakar di dalam gaya hidup kaum remaja. Dalam perkembangannya, mereka akan menjadi orang-orang dewasa dengan gaya hidup konsumtif. Gaya hidup konsumtif ini harus didukung oleh kekuatan finansial yang memadai. Masalah lebih besar akan terjadi apabila pencapaian tingkat finansial itu dilakukan dengan segala macam cara yang tidak sehat. Mulai dari pola bekerja yang berlebihan sampai menggunakan cara instan seperti korupsi. Pada akhirnya perilaku konsumtif bukan saja memiliki dampak ekonomi, tapi juga dampak psikologis, sosial dan bahkan etika.
Refleksi
Perilaku konsumtif kaum remaja dewasa ini merupakan suatu keprihatinan yang perlu kita atasi bersama. Baik secara pribadi maupun kelompok. Dalam kaitannya dengan gereja, kaum remaja adalah bunga-bunga gereja yang masih butuh perhatian dan “perawatan” yang intensif agar mereka dapat bertumbuh dengan baik dan subur. Kaum remaja adalah masa depan gereja di masa yang akan datang. Kalau situasi remaja kita sudah tercemar dengan perilaku konsumtif, bagaimana dengan situasi gereja, masyarakat maupun bangsa kita di masa yang akan datang? Perlu perhatian dan penanganan yang serius!
Orang tua merupakan orang kunci yang sangat memiliki peran penting dalam memberi perhatian, perawatan dan pertumbuhan bagi kaum remaja. Disamping adanya instansi-instansi terkait yang juga memiliki andil yang sama, misalnya sekolah, gereja, dan lingkungan sekitar. Dalam hal ini, orang tua dituntut untuk sungguh-sungguh meningkatkan “sense of belonging” terhadap putra/putrinya yang beranjak remaja. Artinya adalah bahwa sebagai orang tua, orang tua harus menyediakan waktu yang intens untuk mereka, tanpa harus membatasi ruang lingkup mereka. Melihat, memantau dan memperhatikan ruang gerak mereka. Sejauh mana mereka sudah berkembang! Kaum remaja perlu dibatasi dalam bertindak. Remaja perlu dididik secara displin. Ego mereka jangan dibiarkan bertindak tanpa batasan eksternal, sebelum mengenal sepenuhnya visi hidup. Pada umumnya, remaja berada pada tahap perkembangan mental dan interlektual yang belum sempurna. Mereka biasanya belum memiliki orientasi hidup karena mereka masih mencari jati diri. Mereka perlu belajar untuk dapat berfungsi dengan baik dalam masyarakat, melalui figur, proses learning melalui reward-punishmant. Dengan memberikan sebuah kebebasan sepenuhnya maka remaja akan bergerak tanpa arah.
Di sisi-sisi lain, hal penting yang juga perlu untuk diperhatikan adalah sejauh mana orang tua bekerja sama dengan anak remajanya dalam membuat program khusus untuk pertumbuhan dan perkembangan anak-anak remajanya tersebut. Hal yang sama juga sebenarnya menjadi tugas dan tanggungjawab sekolah, lingkungan, termasuk juga gereja. Dalam usaha untuk mengatasi persoalan ini, beberapa “aksi” berikut ini mungkin akan cukup membantu. Pertama, membiasakan budaya menabung. Sejak usia dini, anak harus dibiasakan rajin menabung dari sisa uang jajannya. Dalam hal ini bukan orang tua yang sengaja menabung atas nama anaknya. Tujuannya adalah agar anak sejak usia dini dapat menghargai betapa susahnya berjuang mengumpulkan uang sedikit demi sedikit sehingga ia berpikir ulang ketika akan menggunakan uang tersebut. Kedua, menanamkan kemandirian sebagai upaya membentuk perilaku produktif. Hal tersebut bisa ditempuh dengan mengembangkan potensi aktual diri, minat, bakat, dan kreativitas. Keterampilan ini dapat menggugah anak remaja berpikir konstruktif dan produktif minimal berguna bagi dirinya sendiri. Ketiga, mengisi waktu luang dengan kegiatan positif, seperti mengikuti kegiatan ekstrakurikuler,seperti pramuka, olah raga, kursus dan kegiatan sosial. Biasakan anak aktif membaca, dan kursus, sehingga anak remajatak banyak bergaul dengan hal-hal negatif. Keempat, memberi pemahaman agar anak remaja bersifat selektif, sehingga bisa membedakan mana kebutuhan urgen atau biasa, barang bermanfaat atau mubazir, memilih teman baik-jelek, dsb. Kelima, adanya tata tertib yang tegas dan kontrol dari orang tua dan guru, sehingga anak remaja tidak sesuka hati dalam bertindak (tetap dalam norma). Kerja keras orang produktif akan menghasilkanlkan potensi diri yang tahan uji, ulet, mampu berkreasi dan inovasi, serta mampu mencipta sesuatu untuk orang lain sehingga dapat tercipta generasi tangguh dan mandiri. Sebaliknya anak remaja yang berperilaku konsumtif akan menghasilkan generasi yang mempunyai tabiat selalu menuntut dan meminta, bermental ketergantungan, royal, malas bekerja, dan mudah mengeluh.
Dalam hal ini, kita semua turut ambil bagian dalam hidup kaum remaja. Maka, sebagai suatu “gerakan” yang mengarah kepada misi (baik intern maupun ekstern) yang perlu kita laksanakan adalah option for the youth (berpihak/mengutamakan kaum muda). Berpihak dan mengutamakan kaum muda, khususnya remaja, adalah suatu tugas atau misi baru yang sangat kompleks dewasa ini. Bukan suatu tugas atau misi yang mudah. Semoga kita mampu berjuang untuk itu.***
Langganan:
Postingan (Atom)