}

Sabtu, 22 Maret 2008

BERTUMBUH DALAM SIKAP-SIKAP YANG MENDASARI PROSES PENDEWASAAN DIRI





BERTUMBUH DALAM SIKAP-SIKAP YANG MENDASARI PROSES PENDEWASAAN DIRI
( Dalam Konteks Pembinaan Calon Religius )

Oleh : Herri Kiswanto Sitohang


BAB I
Pendahuluan


1.1 Latar belakang Pemilihan Tema
Kedewasaan kepribadian pada umumnya selalu dibicarakan dalam konteks psikologi, namun hal itu juga sering dibicarakan dalam konteks pembinaan; khususnya pembinaan calon religius. Menjadi pribadi yang dewasa merupakan kriteria yang penting dalam pembinaan hidup religius. Kedewasaan pribadi menjadi suatu syarat fundamental bagi seorang calon religius agar ia mampu untuk menghayati tuntutan panggilannya, khususnya sebagai dasar untuk penghayatan nasihat-nasihat Injili.
Proses pendewasaan diri dalam menanggapi panggilan Tuhan adalah semata-mata karya rahmat Allah dalam diri kita. Kita dipanggil oleh Tuhan untuk menanggapi karya rahmatNya tersebut. Allah juga menghendaki agar dalam pertumbuhan mencapai kedewaasaan itu, kita harus memanfaatkan segala sumber daya manusiawi yang kita miliki, yang semuanya itu akan tertuang dalam sikap-sikap hidup yang kita tampilkan sehari-hari. Maka, dengan menggunakan sumber daya yang kita miliki tersebut, kita akan dapat bertumbuh menjadi pribadi yang dewasa untuk menanggapi panggilan khusus yang telah diberikan oleh Tuhan kepada kita. Hal itu juga akan membantu kita untuk mampu menampilkan sikap-sikap kedewasaan kita sebagai calon Religius. Namun yang menjadi pertanyaan kita adalah : “ Apa dan bagaimana sikap-sikap yang mendasari proses pendewasaan diri tersebut ? ”, hal itulah yang akan kita lihat dalam uraian-uraian selanjutnya.

1.2 Pokok Permasalahan
Dalam konteks pembinaan calon Religius, terkadang para anak bina merasa kebingungan dalam menampilkan sikap-sikap kepribadiannya sebagai seorang yang dewasa. Oleh karena itu, para anak bina seringkali tidak mampu untuk menampilkan sikap kedewasaannya secara asli melainkan meniru sikap orang lain yang dianggapnya sudah dewasa sekalipun tidak selamanya sesuai dengan dirinya. Sehingga dalam hal ini terjadi proses “imitasi” kedewasaan. Maka untuk mengatasi hal itulah, penulis ingin mencoba membantu para anak bina yang merasa kebingungan tersebut, baik secara teoritis maupun lewat pergulatan penulis sebagai calon religius dalam mencapai dan menampilkan sikap-sikap yang mendasari proses kedewasaannya.


1.3 Tujuan Pembahasan
Tujuan utama dari penulisan paper ini adalah untuk menunjukkan kepada para anak bina yang merasa kebingungan, apa dan bagaimana sebenarnya sikap-sikap yang mendasari proses pendewasaan diri tesebut. Dengan demikian, anak bina akan mampu untuk menampilkan sikap-sikap kedewasaannya secara asli dan bukan lagi tiruan dari orang lain, atau dengan kata lain “ bertopeng dengan sikap kedewasaan orang lain ”. Maka lewat paper ini, Penulis akan mencoba menyajikan beberapa sikap yang mendasari proses kedewasaan tersebut.


BAB II

Bertumbuh Dalam Sikap-sikap Yang Mendasari Proses Pendewasaan Diri

2.1 Arti dan Sikap Kedewasaan menurut Model-model Kedewasaan
Dalam pengertian banyak orang, sering kali orang mengartikan kedewasaan itu sebagai suatu hal yang berkembang dalam diri manusia sesuai dengan umur atau usia seseorang. Namun berdasarkan model-model kedewasaan yang ada, ternyata kedewasaan seseorang tidak hanya dilihat dari segi umur atau usia tetapi juga dari aspek-asprk lain. Berikut ini kita akan melihat model-model kedewasaan tersebut.

2.1.1 Model Psikoanalitis
Dalam model ini, Sigmund Freud mendefinisikan kedewasaan adalah pribadi yang berhasil melewati tahap-tahap perkembangan yang ada tanpa berhenti pada satu tahap, yakni dengan mengubah kesenangan pribadi menjadi suatu kenyataan yang umum ( Narcisistik → Social realita ). Tahap-tahap perkembangan itu dibagi dalam dua konsep yaitu : Konsep dinamis dan Konsep konfliktual.
Sikap-sikap yang mendasari proses pendewasaan diri menurut model ini adalah :
■ Menyeimbangkan diri dihadapan setiap perubahan dalam diri (konsep dinamis)
■ Berani berhadapan dengan konflik (konsep konfliktual)

2.1.2 Model Epigenetis
Eric erikson sebagai tokoh dari model ini mendefinisikan kedewasaan adalah pribadi yang mampu menghadapi tiap krisis untuk mencapai suatu keseimbangan yang penuh dalam dirinya, kemudian menemukan integrasi melalui tahap-tahap konflik yang ada yaitu ; konflik dasar, konflik remaja dan konflik dewasa, sehingga pada akhirnya mampu menilai serta melakukan setiap hal yang bermakna bagi pribadinya.
Sikap-sikap yang mendasari proses pendewasaan diri menurut model ini adalah :
■ Mampu menemukan identitas pribadi melalui tahap-tahp konflik yang ada.
■ Mampu masuk dan berelasi dengan orang lain.
■ Mampu menemukan makna hidupnya.

2.1.3 Model Realisasi Diri
Kedewasaan menurut model ini adalah pribadi yang mampu mengungkapkan diri secara otentik. Sehingga dalam hal ini, Carls roger menekankan bahwa kedewasaan itu muncul melalui pribadi yang berfungsi serta berperan secara penuh (menjadi diri sendiri).
Sikap-sikap yang mendasari proses pendewasaan diri menurut model ini adalah :
■ Meninggalkan unsur0unsur yang tidak sama dengan diri sendiri
■ Menentukan sendiri/ tidak bergantung pada orang lain (bergerak bebas)
■ Bertumpu pada kekuatan sendiri demi mencapai suatu tujuan yang positif.

2.1.4 Model Konfrontasi Transendensi Diri
Model ini menegaskan bahwa kedewasaan adalah suatu kemampuan untuk dapat mentransendensi diri dalam bentuk keterbukaan ke arah keutamaan, mengarahkan diri pada kebaikan sejati dan memiliki pertumbuhan kodrati yang normalmenuju arah yang lebih tinggi.
Sikap-sikap yang mendasari proses pendewasaan diri menurut model ini yakni :
■ Mengarahkan diri pada nilai-nilai transenden (yanglebih tinggi)
■ Mengarah diri pada nilai Teosentris dan adikodrati
■ Menjadikan diri ideal dan diri aktual dalam horison nilai-nilai kodrati.

2.2 Sikap-sikap yang mendasri Proses Pendewasaan Diri
Untuk dapat membantu agar lebih siap dalam menanggapikarya rahmat Allah, maka seorang calon religius perlu memiliki sikap-sikap mendasar dalam proses menuju pendewasaan dirinya sendiri. Sikap-sikap itu adalah ; Sikap EMPATI, OTENTIK, RESPEK, KONFRONTASI dan PERWUJUDAN DIRI terhadap diri sendiri.

2.2.1 Sikap Empati
Sikap empati berarti kesanggupan seseorang untuk merasakan dan mengerti perasaan-perasaan orang lain, seolah-olah itu adalah perasaan diri sendiri. Maka sikap ini juga penting terhadap diri sendiri, artinya diri sendiri sanggup untuk merasakan dan mengerti dengan tepat apa yang dialami dan dirasakan sendiri serta dengan jelas mengungkapkan pengertian itu.
Sikap empati terhadap diri membantu orang untuk lebih obyektif atau realistis dalam mengenal diri. Sikap ini juaga akan membantu orang untuk mengembangkan kesadaran diri akan pengalaman serta perasaan pribadi.

2.2.2 Sikap Otentik
Sikap otentik berarti asli. Atau juga disebut dengan sikap jujur, polos, ataupun apa adanya. Sikap ini dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu ;
■ Tahap I, mengenal dan menyebutkan perasaan yang ada dalam diri apa adanya dan yang sebenarnya (entah baik maupun tidak baik), tanpa harus menutup-nutupinya.
■ Tahap II, menyadari perasaan sebagai bagian dari pengalaman hidup. Apabila seseorang tidak menyadari suatu perasaan baik atau buruk, maupun karena perasaan itu tidak terpuji, maka ia juga tidak otentik terhadap dirinya sendiri.



■ Tahap III, yakni tahap memutuskan.Hal itu berarti seseorang harus untuk membuang ataupun memperthankan perasaan yang ada tersebut. Perasaan yang baik dipertahankan, sedangkan perasaan yang meruasak dibuang, dan seseorang harus sungguh sadar akan keputusan tersebut.
Singkatnya, sikap otentik berarti dapat menyebut perasaan dengan tepat, mengakuinya sebagai bagian dari pengalaman hidup, serta sadar akan keputusan yang diambil untuk membuang atau mempertahankan perasaan itu.

2.2.3 Sikap Respek
Respek berarti menaruh hormat atau menghargai. Sikap respek terhadap diri sendiri berarti mau menerima diri apa adanya dengan penuh cinta karena sadar bahwa seperti apapun dirinya akan tetap bernilai dan berharga dihadapan Tuhan serta memiliki kemampuan untuk dapat berkmbang menjadi lebih baik.
Sikap ini membantu orang untuk tidak minder, tidak rendah diri, tetapi dengan apa adanya merasa cukup mampu untuk berkembang dengan orang lain dan melaksanakan tugas dengan penuh semangat.

2.2.4 Sikap Konfrontasi Diri
Sikap Konfrontasi diri berarti saling berhadapan atau bertatapan ; seseorang beruasaha untuk mencari kekurangan-kekurangan pribadi, kemudian ia membawa kekurangan tersebut kepermukaan kesadaran diri. Kesadaran itu akan menggerakkan seseorang untuk keluar dari kepuasaan diri dan membuat dirinya menjadi malu dan tidak senang dengan kekurangannya tersebut. Konfrontasi diri memaksa seseorang untuk menatap diri yang sesungguhnya dan menyadari kekurangan diri sendiri, kemudian membuat orang untuk melihat kebenarab tentang dirinya. Sikap konfrontasi diri ini akan menarik orang untuk mengikuti arah yang benar serta membuat orang lebih siap menanggapi rahmat Allah.

2.2.5 Perwujudan Diri
Yang dimaksud dengan perwujudan diri disini adalah sikap mau mengejar dengan penuh semangat perwujudan diri yang semakin sempurna. Seseorang dituntut untuk maju dan mencapai realisasi diri yang semakin penuh. Dalam konteks pembinaan calon religius, sikap ini memacu seseorang untuk menggunakan seluruh sumber manusiawi dan rohaninya untuk menjawab dengan sepenuh hati bimbingan Roh dalam hidupnya. Pribadi yang telah mewujudkan diri adalah pribadi yang berusaha keras untuk semakin memahami rencana Allah bagi dirinya dan menjawab dengan lembut terang yang diterima dari Roh Kudus.








BAB III
Refleksi

Bagi saya pribadi, kedewasaan pribadi manusia terletak pada kualitas diri manusia dalam menjalani dan menghadapi situasi-situasi hidupnya. Kualitas itu akan dapat dicapai apabila seseorang mampu untuk berusaha melihat dirinya secara jelas dan benar serta selalu merefleksikannya. Kualitas diri sebagai inti kedewasaan yang saya maksud teersebut akan terungkap melalui sikap-sikap mendasar yang ditampilkan sehari-hari dalam menjalani serta menghadapi situasi-situasi kehidupannya, sebagai pribadi yang selalu berproses dalam kedewasaan. Sikap-sikap mendasar itu adalah :
 Sikap bisa menerima Kenyataan
Dalam sikap ini, orang yang dewasa adalah orang yang realistis hidupnya. Jadi, ia tidak lagi hidup dalam suatu dunia bayangan yang penuh dengan impian yang indah-indah, tapi hidup dalam dunia nyata diman banyak hal berbeda dengan apa yang diharapkan. Singkatnya, sikap ini akan mampu membawa orang untuk bisa menerima kenyataan hidup dengan bahagia meski terkadang tidak sesuai dengan harapan.
Sikap inilah yang selalu saya perjuangkan untuk mencoba terus-menerus mencapai kualitas diri dalam proses pendewasaan diri untuk menjalani hidup saya sebagai calon religius. Karena hidup sebagai calon religius atau religius sekalipun pasti akan selalu berhadapan dengan banyak hal yang berbeda dengan apa yang diharapkan secara pribadi. Seperti yang saya alami selama dalam rumah formasi, yakni banyak perbedaan-perbedaan yang saya hadapi misalnya perbedaan watak, pandangan, pola pikir. Kebudayaan, mentalitas sampai pada perbedaan kecil sekalipun. Namun disitulah, saya dituntut untuk mampu menerima kenyataan yang ada dan beruasaha menikmati kenyataan tersebut.
 Sikap bebas dari kepentingan Diri
Sikap ini menuntut saya untuk tidak lagi terbelenggu dengan segala kebutuhan dan kepentingan saya sendiri. Saya dituntut untuk tidak lagi memusatkan perhatian pada diri saya sendiri tetapi pada kepentingan komunitas atau bersama. Sikap ini mengajak saya maupun siapa saja untuk sanggup memberikan diri seutuhnya demi kepentingan sesama. Dan bagi saya pribadi, hal itu bukan suatu hal mudah dan gampang untuk dilaksanakan, karena hal itu juga bukan suatu pengurbanan yang ringan. Tetapi toh, saya harus selalu berusaha untuk dapat melaksanakannya.
 Sikap pantang menyerah terhadap Tantangan
Banyak orang mengatakan bahwa hidup ini penuh dengan tantangan. Dalam menghadapi kenyataan itulah, saya ditempa untuk menjadi tabah dalam menghadapi berbagai macam tantangan dan kesulitan hidup saya, walaupun terkadang sya merasa kalah dan menyerah sehingga hanya dapat berharap pada Tuhan saja. Dalam banyak hal pula, saya ditantang untuk tidak mundur ataupun menyerah dalam memperjuangkan dan mewujudkan nilai-nilai yang saya yakini baik, meski harus berhadapan dengan banyak hambatan. Melalui sikap ini, saya disadarkan untuk mampu melihat suatu tantangan sebagai suatu kesempatan untuk bertumbuh,maju serta menempa dan mengembangkan diri saya.
 Sikap Mandiri dan Kerjasama
Kemandirian berarti menuntut suatu inisitif pribadi dan inisiatif pribadi akan muncul apabila ada rasa percaya diri sehingga pada akhirnya mampu untuk menerima diri.Orang yang mampu menerima diri tentunya tidak akan mengalami banyak kesulitan dalam bergaul dan bekerja sama dengan orang lain. Namun bagi saya pribadi, idealisme serta sikap ego pribadi yang terkadang muncul menjadi faktor penghambat untuk mewujudkan sikap tersebut. Tapi bukan berarti bahwa hal itu menjadi hal yang mustahil bagi saya, melainkan saya akan terus berproses untuk dapat melaksanakannya semaksimal mungkin dalam hidup panggilan saya.

 Sikap Bijaksana
Kebijaksanaan hanya mungkin diperoleh jika seseorang mau belajar dan terbuka terhadap pengalaman pribadi maupun orang lain. Sikap bijaksana juga menyangkut tentang kesopanan, mengetahui adat istiadat sesama dengan baik, tahu tempat dan waktu, bisa membuat prioritas serta mengetahui kepentingan pribadi maupun orang lain. Hidup dalam suatu komunitas formasi, sikap ini tentunya akan sangat berperan, khususnya sikap ini akan sangat dibutuhkan pada awal suatu perjumpaan dengan sesama komunitas maupu dalam perjalan hidup selanjutnya bersama orang lain. Orang yang bijaksana akan bisa memahami setiap situasi yang dihadapinya dan bisa mengambil suatu keputusan secara tepat. Dalam bertindak, ia tidak akan sembarangan dan dalam banyak keputusannya, ia akan memutuskannya berdasrakan pertimbangan yang matang yakni dengan memperhatikan berbagai aspek dan konsekwensinya.



BAB IV
Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian diatas, secara jelas telah diungkapkan bahwa untuk mewujudkan sikap-sikap yang mendasari proses pendewasaan diri bukanlah suatu hal yang mudah dan gampang untuk dilaksanakan, apalagi kedewasaan yang dituntut secara khusus bagi para calon religius. Namun walaupun demikian, bukan berarti bahwa para calon religius harus mundur atau menyerah, melainkan harus berani untuk selalu berusaha mencapai dan melaksanakannya semaksimal mugkin. Melalui paper ini, saya ingin mengajak teman-teman sekalian yakni sebagai calon religius, kita harus berani mencoba untuk melaksanakan apa yang telah saya uraikan secara teori maupun pergulatan pribadi saya yang saya ungkapkan melalui refleksi saya dalam paper ini.
Semoga keberadaan paper ini mampu membantu siapa saja yang membacanya, khususnya bagi teman-teman calon religius yang sedang bergulat dengan sikap-sikap yang mendasari proses pendewasaan dirinya dalam menanggapi rahmat panggilan yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita masing-masing.




DAFTAR PUSTAKA



Buku Ilmiah :

Abata, M. Russel, Berani-Jadilah Dirim!, Kanisius, Yogyakarta, 1996


Fuster.J.M, SJ, Teknik Mendewasakan Diri, Kanisius, Yogyakarta, 1985


Prasetyo Mardi.F, SJ, Tugas Pembinaan Demi Mutu Hidup Bakti, Kanisius,
Yogyakarta, 2001


Referensi :


Dokumen KV II, (terj. DR.J. Riberu), Obor, Jakarta, 1983


Majalah :


Suyanto Joko. Ig, SJ, Kaum Religius Menyambut Jamannya, Rohani, Yogyakarta, 1994

Tidak ada komentar: