}

Sabtu, 22 Maret 2008

Kejahatan Terhadap Kaum Perempuan


“Kejahatan” Terhadap Kaum Perempuan
Oleh Herri Kiswanto Sitohang

Setiap tanggal 8 Maret, seluruh dunia memperingati hari perempuan Internasional, sebuah peringatan untuk memberikan penghargaan terhadap perjuangan perempuan dalam menghilangkan berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi yang dialami oleh seluruh rakyat, khususnya kelompok rentan yang selama ini tertindas oleh sistem patriarki dan sistem kapitalisme yang menempatkan perempuan sebagai kelas kedua. Di Indonesia, peringatan hari perempuan internasional tersebut hendaknya dirayakan sebagai peringatan untuk mengingatkan betapa besarnya perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya, meskipun kekerasan terus dilakukan baik fisik maupun psikis.
Salah satu perjuangan HAM yang paling menonjol hingga dewasa ini adalah ketidaksetaraan peranan dan status sosial anatara laki-laki dan perempuan. Sehingga tak jarang kondisi ini memberi peluang bagi tindakan kekerasan bagi kaum perempuan dalam banyak bentuk seperti: pemerkosaan dan kekerasan seksual, pelecehan seksual anak-anak di bawah umur, dan bahkan penganiayaan atau kekerasan suami terhadap istri (KDRT) serta kejahatan-kejahatan lain yang seringkali ditujukan kepada kaum perempuan.
Fakta yang dapat kita lihat adalah bahwa ada sejumlah budaya Indonesia tidak membenarkan kaum perempuan mendapat hak milik dari warisan orangtuanya atau juga memilih teman hidup. Adat istiadat cenderung menertawakan setiap perempuan yang berinisiatif mencari calon suami karena inisiatif itu adalah pilihan orangtua atau keluarga. Hal itu merupakan fakta yang dapat kita temukan di beberapa tempat di Nusantara ini. Antropolog feminis, Henrietta Moore, dalam penelitiannya (Feminisme & Antropologi: 1998) membenarkan anggapan budaya ini yakni bahwa perempuan sering dianggap sebagai subordinat laki-laki di kebanyakan kultur masyarakat Asia Pasifik. Fakta lain yang juga dapat menjadi bahan keprihatinan kita adalah mengenai adanya anggapan dalam masyarakat tradisional bahwa istri yang baik dan setia harus siap melayani suami kapanpun dan di dalam keadaan apa pun. Bahkan hal ini ditanggapi sebagai tanda seorang istri yang tahu berbakti kepada suami. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan kalau tindakan kekerasan seksual, yang notabene dapat disebut sebagai kejahatan, selalu ditolerir oleh kaum ibu (perempuan) trdisional.
Perjuangan HAM di Indonesia dari perspektif sosio-budaya justru sering kali mendapat tantangan hingga saat ini. Kita dapat menyaksikan bahwa disatu pihak terdapat segelintir aktivis perempuan yang gigih memperjuangkan bahwa perempuan telah banyak mengalami ketidakadilan berdasarkan jenis kelamin sebagai fakta yang universal, tetapi di pihak lain terdapat anggapan-anggapan kaum perempuan tradisional yang justru memberi peluang bagi tindakan-tindakan ketidakadilan gender tersebut. Kekerasan terhadap perempuan adalah suatu manifestasi dari adanya perbedaan kekuasaan dalam hubungan lelaki - perempuan di sepanjang sejarah. Hal ini mengakibatkan adanya penguasaan dan diskriminasi terhadap perempuan yang dilakukan oleh lelaki. Kekerasan yang dialami oleh perempuan di sepanjang hidupnya pada hakekatnya berasal dari pola-pola kebudayaan, secara khusus merupakan dampak dari praktik-praktik tradisional budaya tertentu ataupun kebiasaan-kebiasaan yang merugikan serta semua perbuatan ekstrimisme yang berkaitan dengan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama, yang mempertahankan pemberian kedudukan yang lebih rendah bagi perempuan di dalam keluarga, di tempat kerja, dan masyarakat.
Keyakinan bahwa kodrat perempuan itu lemah, posisinya di bawah laki-laki, “bertugas” melayani dan mudah ditindas menjadikan kaum perempuan dianggap sebagai “hak milik” laki-laki dan dapat diperlakukan semena-mena, termasuk dengan cara kekerasan. Hak istimewa yang dimiliki laki-laki akibat konstruksi gender menempatkan laki-laki untuk memiliki kekuasaan lebih tinggi daripada perempuan. Pola hubungan seperti itulah yang merupakan manifestasi patriarki. Ideologi ini berkembang secara luas mulai dari keluarga hingga sampai pada kebijakan pemerintah sekalipun. Merasuk dalam kebudayaan dan tertanam dalam semua sistem kehidupan. Hal ini pada gilirannya merupakan benteng yang sangat kuat dalam menutupi realita bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran hak asasi manusia. Sangat disayangkan bahwa kaum perempuan sendiri pun masih banyak yang belum menyadarinya. Hal itu terjadi karena budaya, tradisi maupun penafsiran ajaran agama yang seolah memberikan pembenaran bahwa mereka wajib menerima tindak kekerasan sebagai takdir.

Menyikapi “Kejahatan” Terhadap kaum Perempuan
Sebagai sesama manusia maupun sebagai bagian dari masyarakat ataupun keluarga, kita tidak boleh menutup mata terhadap realitas tersebut. Kekerasan (baca: kejahatan) terhadap kaum perempuan tidak bisa dipandang hanya sebagai tindak kriminal yang dilakukan oleh sekelompok penjahat atau orang yang sakit mental. Mengenai perkosaan, misalnya, sejumlah penelitian di tanah air menunjukkan bahwa tindak kejahatan ini justru dilakukan oleh orang-orang normal yang dikenal baik oleh korban: ayah, suami, teman, sanak keluarga, rekan kerja, kenalan. Kejahatan yang begitu banyak dan luas ini tentu memiliki akar struktural dan ideologi patriarki yang menempatkan kaum perempuan di bawah dominasi laki-laki. Oleh struktur dominasi itulah maka patriarki menjadi “tuan”, dimana laki-laki menjadi yang dipertuan dan perempuan diperhamba.
Perjuangan menentang kejahatan terhadap kaum perempuan ataupun perjuangan ke arah pembebasan, harus dilaksanakan dalam banyak bidang sekaligus. Artinya adalah bahwa tidak hanya terbatas pada satu bidang saja, misalnya, mengenai perkosaan ataupun kejahatan seksual. Akan tetapi juga harus mencakup bidang-bidang kejahatan lainnya yang ditujukan terhadap kaum perempuan (kejahatan terhadap kesusilaan), yang sering kali di ekspose lewat media massa maupun yang belum “terjangkau” oleh media massa.
Pada kenyataannya dalam berbagai hal, kita dapat melihat bahwa perempuan masih terus mengalami tindak kekerasan dan diskriminasi. Hal ini juga terjadi karena Negara masih saja abai dalam pemenuhan hak-hak warganya. Sebagai akibatnya perempuan kerap kali tidak memiliki kebebasan untuk menikmati hak asasinya sebagai manusia dan menjadi sangat rentan untuk tidak mengalami kekerasan, yang notabene merupakan praktik kejahatan terhadap kaum perempuan. Dalam menyikapi hal ini, satu hal yang penting diketahui adalah bahwa hak asasi manusia perempuan maupun anak perempuan adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hak asasi manusia secara menyeluruh.
Oleh karena itu setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin (gender-based violence) yang berakibat kesengsaraan atau penderitan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis yakni berupa ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi harus sungguh-sungguh mendapat perhatian yang ekstra serius baik dari kalangan masyarakat maupun pemerintah sendiri. Demi suatu pencapaian penghargaan akan harkat dan martabat kaum perempuan, sebab sesungguhnya kejahatan yang berbasis gender dalam segala bentuknya itu tidak sesuai dengan harkat dan martabat maupun harga diri manusia. Adalah suatu kewajiban setiap negara di dunia ini untuk melindungi kaum perempuan dari berbagai tindak kekerasan, sebagaiman hal itu juga diserukan dalam konferensi PBB di Wina pada tahun 1993 ( Declaration on the Elimination of Violence Against Women).
Kita sebagai masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan tidak boleh tinggal diam melihat hal ini. Melindungi dan memajukan hak-hak dan kebebasan, upaya penghapusan tindak kekerasan terhadap kaum perempuan kini harus menjadi sebuah kepedulian global. Secara khusus untuk kaum perempuan, perubahan sikap adalah langkah awal yang sangat penting bagi upaya pencegahan dan penanggulangan persoalan ini. Adanya suara anda dan solidaritas maupun empati dari semua pihak akan membuat masyarakat memandang masalah ini secara berbeda. Pada gilirannya, suara anda tersebut akan mengubah dunia agar lebih demokratis dan damai.
Upaya untuk mencapai perubahan ini harus juga dibarengi dengan upaya dari para penegak hukum agar lebih responsif dan sensitif terhadap kepentingan kaum perempuan dalam segala bentuk problemanya. Memasukkan masalah gender dan hak-hak kaum perempuan dalam kurikulum pendidikan, khususnya bagi para penegak hukum, adalah sesuatu yang niscaya harus dilakukan.

Tidak ada komentar: