}

Senin, 16 Juni 2008

Setiap Anggota Keluarga Kita: "Diri Kita Yang Lain"


Setiap Anggota Keluarga Kita: “Diri Kita Yang Lain”
( Suatu Pemahaman Untuk Menciptakan Kebersamaan Dalam Keluarga)
Oleh: Herri Kiswanto

Suatu kelurga yang ideal adalah terdiri dari Ayah, Ibu, dan anak-anak. Ketiga subyek/pribadi itu sering juga disebut anggota keluarga. Hidup sebagai keluarga mengandaikan adanya sinergi antara setiap anggota keluarga. Hal itu mau mengungkapkan bahwa suatu keluarga merupakan kumpulan pribadi yang memiliki daya magnetik satu sama lain. Adanya daya magnetik tersebut membuat setiap pribadi dalam keluarga itu mampu merasa memiliki dan dimiliki (sense of belonging). Adanya daya magnetik itu juga memampukan setiap anggota keluarga untuk senantiasa bersatu dalam kasih. Kekuatan untuk bersatu dalam kasih tidak datang dari luar, melainkan muncul dari dalam diri pribadi setiap anggota keluarga. Dalam hal ini, setiap anggota keluarga memiliki kekuatan tersebut! Secara tidak langsung, kemampuan itu juga mau mengisyaratkan bahwa diri setiap anggota keluarga merupakan bagian utuh dari dari “diri saya yang lain” yang terdapat dalam diri mereka. Sehingga keutuhan diri setiap anggota keluarga tidak terlepas dari peran diri-diri yang lain, yang dalam konteks keluarga adalah diri setiap pribadi dalam keluarga itu sendiri.
Suatu fenomena yang dapat diambil menjadi contoh dalam hal ini, misalnya: suatu keluarga yang “ditinggal” pergi oleh anggota keluarga yang lain, baik dalam jangka waktu singkat/sementara maupun selama-lamanya (meninggal). Ekspresi yang sering kali muncul adalah adanya rasa “kehilangan” yang mendalam dalam diri anggota keluarga yang ditinggal. Dengan kata lain, rasa kehilangan itu mengungkapkan bahwa diri (anggota keluarga yang ditinggal tersebut) bukanlah diri yang seutuhnya tanpa adanya diri anggota keluarga yang “pergi” tersebut. Tak dapat disangkal juga bahwa keutuhan diri kita tidak terlepas dari hasil proses interaksi kita dengan diri di luar diri kita. Dalam konteks personal, diri yang lain itu adalah anggota keluarga kita sendiri. Merekalah yang menjadi “socius”/kawan pertama yang memiliki andil dalam keutuhan diri kita. Setiap anggota keluarga kita merupakan orang-orang inti yang membentuk diri kita terlebih dahulu sehingga menjadi diri kita yang sekarang ini. Singkatnya, setiap anggota keluarga kita merupakan bagian yang tak terlepaskan dari diri kita, yakni diri kita yang lain.
Adanya kebersamaan ataupun keharmonisan dalam keluarga tidak terlepas dari adanya kemampuan dari setiap anggota keluarga untuk mengakui bahwa dalam diri setiap anggota keluarga terdapat dirinya yang lain. Kemampuan itulah yang nantinya akan menghasilkan sikap-sikap caring (perhatian), knowing (mengenal), understanding (memahami), dan sharing (berbagi) diantara anggota keluarga. Sikap-sikap itu merupakan sikap yang dimiliki oleh setiap orang terhadap dirinya sendiri untuk mengungkapkan kecintaannya atau kesayangannya akan dirinya sendiri.. Pada umumnya sikap-sikap itu merupakan dasar untuk membangun suatu kebersamaan atau keharmonisan dengan setiap anggota keluarga/orang lain atau paling tidak dengan dirinya sendiri. Kebersamaan atau keharmonisan akan muncul apabila sikap-sikap tersebut, yakni yang ada dalam dirinya itu, bersinergi antara pribadi yang satu dengan pribadi yang lain. Oleh karena itu perlu diketahui bahwa sikap-sikap itu tidak akan pernah muncul terhadap orang lain tanpa adanya kesadaran awal yakni: orang lain merupakan dirinya yang lain. Sikap-sikap itulah yang menjadi kekuatan magnetik yang saling bersinergi untuk menciptakan suatu kebersamaan atau keharmonisan. Apabila kekuatan itu telah menyatu maka kebersamaan atau keharmonisan akan bertumbuh laksana bunga yang mekar di padang yang subur. Inilah kebersamaan atau keharmonisan ideal yang diidamkan oleh setiap keluarga pada umumnya. Namun persoalannya adalah apakah setiap anggota keluarga menyadari hal tersebut? Tentu setiap anggota keluarga memiliki jawabannya!
Pada umumnya, ada dua jawaban yang bisa muncul, yakni: pertama, orang bisa menyadari bahwa diri setiap anggota keluarga juga merupakan dirinya sendiri. Jika kesadaran ini yang muncul, tentu kebersamaan dan keharmonisan juga akan muncul. Kedua, orang juga bisa sebaliknya tidak menyadari hal tersebut. Jika ini yang muncul, tentu petaka juga akan muncul. Artinya, orang tidak akan pernah mampu untuk membangun kebersamaan atau keharmonisan tanpa menyadari orang lain sebagai dirinya yang lain yang harus dincintai atau disayangi sebagaimana ia sendiri mencintai dirinya sendiri.
Dari dua jawaban ini, satu pertanyaan muncul lagi untuk menanggapi jawaban terhadap orang yang tidak menyadari bahwa diri setiap anggota keluarga juga merupakan dirinya sendiri, yakni mengapa bisa terjadi demikian? Suatu jawaban gamblang yang bisa diutarakan adalah karena orang itu memliki sikap egosentris. Yakni sikap yang hanya berkutat dan berpusat pada dirinya sendiri. Dengan kata lain, sikap egosentris ini mau mengungkapkan “penyangkalan” akan orang lain sebagai dirinya yang lain. Maka sebagai anggota keluarga, khusunya sebagai Ayah dan Ibu, mereka harus mampu terlebih dahulu memupuk kesadaran ini dalam diri mereka sehingga mereka juga kemudian dapat menjadi teladan bagi anak-anak atau anggota keluarga yang lainnya. Yakni menjadi figur teladan yang mampu menampilkan sikap dan tindakan bahwa setiap anggota keluarga kita adalah diri kita yang lain yang harus kita sayangi dan cintai untuk menciptakan kebersamaan dalam keluarga kita.