}

Sabtu, 05 Februari 2011

Islam Sebagai Agama Kebenaran dalam Konsep Logos Spermaticos Yustinus Martir



Oleh Herri Kiswanto Sitohang

I. Pendahuluan
Dewasa ini, muncul pandangan negatif yang dituduhkan terhadap agama Islam. Hal itu dipicu oleh merebaknya isu-isu dan gerakan terorisme yang terjadi di dunia, baik dalam konteks internasional maupun nasional. Dalam Konteks internasional contohnya, peristiwa runtuhnya World Trade Center (WTC) yang di serang oleh kelompok penganut agama Islam garis keras yang anti Amerika. Sedangkan dalam konteks nasional yakni peristiwa bom di Bali beberapa tahun silam, yang juga dilakukan oleh kelompok yang mengaku diri sebagai penganut agama Islam garis keras. Dan motif tindakan terornya (peledakan bom) adalah untuk membunuh warga negara Australia maupun warga negara lain yang sedang berlibur untuk menikmati indahnya pantai Kuta dan tempat wisata lainnya di Bali, yakni mereka yang dianggap “kafir” atau tidak sepaham dengan agama Islam.
Peristiwa-peristiwa ini jelas di satu pihak membuat hati menjadi miris dan di lain pihak meninggalkan luka yang mendalam di hati keluarga para korban ledakan bom tersebut. Juga meninggalkan luka yang mendalam pada kemanusiaan universal. Dalam situasi yang demikianlah kemudian muncul aneka asumsi negatif terhadap agama Islam. Islam sebagai agama dilihat sebagai sumber kekerasan dan bahkan “petaka” terhadap kemanusiaan. Namun pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kita menyikapi fenomena ini? “benarkah Islam sebagai agama dari dirinya sendiri adalah sumber kekerasan?” Jawaban terhadap persoalan ini menuntut suatu kehati-hatian yang serius. Sering kali pemahaman yang sempit mengenai persoalan ini menyebabkan adanya sikap kecurigaan dan intoleransi dalam kehidupan beragama.
Persoalan inilah yang hendak dikaji oleh penulis lewat tulisan ini. Di sini, penulis hendak berusaha mensistematisasi persoalan-persoalan di atas dalam terang pemikiran Yustinus Martir tentang Logos Spermaticos. Oleh karena itu, titik acuannya adalah bagaimana Yustinus Martir melihat agama Islam dari perspektif Logos Spermaticos.



II. Konsep Logos Spermaticos Yustinus Martir
Gagasan tentang Logos Spermaticos ini pertama-tama digunakan oleh Yustinus Martir untuk membela iman Katolik (Kristen). Akan tetapi, lebih dalam dari itu, gagasan itu juga sekaligus mengungkapkan pembelaan terhadap penghayatan iman yang lain selain Kristen (Katolik). Sebab secara tegas, gagasan tentang Logos Spermaticos ini hendak mengungkapkan bahwa Allah juga mewahyukan diri-Nya di dalam dan melalui agama lain, termasuk agama Islam. Hal itulah yang hendak dijelaskan berikut ini. Secara sederhana, Logos Spermaticos diterjemahkan sebagai “benih-benih sabda/kebenaran.” Logos Spermaticos berasal dari bahasa Yunani, yaitu Logos adalah Sabda. Kemudian para filsuf Yunani menyebut Kristus sebagai Logos. Spermaticos sendiri berarti benih (Sperma). Jadi, Logos Spermaticos adalah benih-benih Sabda (Kebenaran). Logos Spermaticos dapat kita maknai dengan mengikuti pendapat tiga tokoh berikut, antara lain kaum stoa, Plotinus dan Agustinus. Pertama, kaum stoa menggunakan kata Logos Spermaticos untuk memberikan penjelasan mengenai bagaimana Kristus berperan dalam diri manusia untuk melakukan berbagai hal. Tokoh yang kedua Plotinus, ia berpendapat bahwa Logos Spermaticos merupakan refleksi dari gagasan yang bersifat ketuhanan di dalam diri manusia. Tokoh yang terakhir adalah Agustinus. Menurutnya, Logos Spermaticos adalah Allah menciptakan sesuatu yang memiliki kesanggupan untuk melakukan segala sesuatu, yaitu manusia. Pada prinsipnya, ketiga pandangan tersebut memiliki substansi yang sama.
Penulis dapat menyimpulkan pandangan dari ketiga tokoh tersebut tentang Logos Spermaticos adalah hendak mengungkapkan bahwa Allah juga mewahyukan diri-Nya di dalam dan melalui diri setiap manusia, baik yang beragama Kristen maupun yang tidak beragama Kristen, termasuk agama Islam. Pengertian inilah yang mendasari dan mewarnai pemikiran Yustinus Matir. Pewahyuan Allah tersebut tercetus lewat “sifat Allah” yang terdapat dalam diri manusia, misalnya saja kebenaran. Sama seperti Allah, manusia juga memiliki kebenaran, namun kebenaran yang ada dalam diri manusia merupakan kebenaran yang belum sempurna. Pengertian inilah yang merupakan inti dari gagasan Yustinus Martir tentang konsep Logos Spermaticos.
Pemahaman yang terkandung di dalam konsep Logos Spermaticos Yustinus Martir ini adalah bahwa pada prinsipnya Allah yang menjelma dalam diri Kristus (Sang Logos) juga mewahyukan kebenaran di dalam diri manusia dan dunianya. Serentak, hal itu juga berarti bahwa setiap orang atau hal yang mengandung nilai-nilai kebenaran mengambil bagian dari kebenaran Sang Logos itu sendiri Maka segala kebenaran lain yang terdapat di luar satu lembaga/institusi agama tertentu juga adalah bagian dari kebenaran Sang Logos tersebut. Yang dimaksud dengan dunia di sini adalah segala sesuatu yang berhubungan dan berkaitan dengan manusia, termasuk kebudayaan dan agama. Agama pertama-tama dan terutama adalah ditujukan untuk dan bagi manusia. Bukan untuk makhluk yang bukan manusia. Hewan atau binatang tidak pernah memiliki agama! Artinya, agama bermakna sejauh relevan bagi pergumulan hidup manusia. Allah mewahyukan diri-Nya di dalam agama melalui pribadi manusia. Hal itu nyata dalam sejarah agama-agama di dunia ini.
Dengan demikian, menurut konsep Logos Spermaticos Yustinus Martir, eksistensi agama adalah kumpulan atau kristalisasi nilai-nilai kebenaran yang diwahyukan Allah kepada manusia. Hal itu dapat dipahami dengan pertama-tama berangkat dari pemahaman bahwa diri manusia yang merupakan pelaku agama tersebut adalah manisfestasi perwujudan dari pewahyuan Allah sendiri, yang di dalamnya terdapat kebenaran. Sekali pun, kebenaran tersebut belum sempurna. Dengan demikian, tampak bahwa sesungguhnya setiap agama, khususnya agama Islam, dari dirinya sendiri mengandung kebenaran.

III. Islam Sebagai Agama Kebenaran
Berdasarkan penjelasan di atas, Islam menurut konsep Logos Spermaticos Yustinus Martir adalah agama kebenaran. Hal itu bertitik tolak dari pengertian agama yang dirumuskan sebagai kumpulan atau kristalisasi nilai-nilai kebenaran (Logos). Dengan demikian, Islam sebagai agama in se (dari dirinya sendirinya) adalah suatu institusi religius yang mengandung dan melahirkan nilai-nilai kebenaran. Pemahaman itu juga tercetus dalam rumusan-rumusan iman (wahyu) agama Islam itu sendiri, yakni rukun Islam dan rukun iman. Di samping itu, pengertian terminologi Islam itu sendiri, khususnya seperti yang terungkap dalam Al-Quran, sesungguhnya sudah menunjukkan adanya nilai-nilai kebenaran dalam tubuh Islam sebagai agama. Berikut ini dikutip beberapa pengertian tentang islam yang termaktub dalam Al-Quran. Misalnya, Islam adalah lawan dari shirk (Q.6,14), Islam adalah lawan dari kufr (Q.3,80), Islam adalah sinonim dengan ikhlas pada Allah (Q.4,125), Islam adalah ketundukan, kepatuhan dan penyerahan diri pada Allah (Q.39,54). Tentu, pengertian tentang Islam yang diungkapkan di dalam Al-Quran tersebut merupakan manifestasi kebenaran-kebenaran dari Allah sendiri yang disampaikan oleh Malaikat Jibrail kepada Nabi dan Rasul-Nya Muhammad untuk kemudian disampaikan kepada manusia.
Islam adalah agama wahyu, yang berarti berasal dari Allah sendiri dan bukan hasil rekayasa dari seorang manusia yang bernama Muhammad. Agama Islam adalah juga agama universal, yang berarti bahwa agama islam tidak tidak terbatas pada sekelompok suku atau bangsa manusia, tempat dan waktu. Keberadaan agama Islam sudah ada sejak adanya manusia pertama hingga manusia terakhir. Karena itu, agama Islam menempatkan Adam sebagai nabi pertama dalam deretan para nabi Islam (Q.3,33).
Penjelasan singkat di atas menghantar kita kepada pemahaman bahwa baik dari pengertian Yustinus Martir tentang Logos Spermaticos maupun dari pengertian agama Islam sendiri, Islam sebagai agama adalah sungguh merupakan agama kebenaran. Hal ini merupakan suatu kebenaran dari dalam dirinya sendiri. Di dalam dan melalui agama Islam, Allah menyatakan diri-Nya. Pernyataan Allah menyatakan diri-Nya ini serentak hendak menegaskan bahwa nilai-nilai kebenaran Allah ternyata tidak dibingkai hanya pada satu institusi atau pribadi tertentu saja. Akan tetapi, juga meliputi institusi atau pribadi lain. Sebab segala ciptaan di Bumi ini mengambil bagian dari gambar Allah, dan serentak mengandung kebenaran Allah itu sendiri.

IV. Penutup dan Relevansi
Salah satu tujuan dari tulisan ini adalah untuk membongkar cara berpikir yang dangkal dan sempit dalam melihat dan menilai agama Islam (dan juga agama-gama lain!). Khsususnya ketika agama Islam dikaitkan dengan berbagai peristiwa kekerasan yang terjadi di dunia ini, baik dalam konteks internasional maupun nasional. Hal penting yang perlu ditegaskan adalah bahwa Islam tidak sama dengan pribadi Osama Bin Laden atau Abu Bakar Ba’asyir. Mereka itu hanya merupakan penganut agama Islam, namun tidak identik dengan agama Islam itu sendiri. Sebab, apabila penganut suatu agama diidentikkan dengan agama yang dianutnya, maka yang terjadi adalah kekacauan, kecurigaan, dan akhirnya kehancuran. Mengapa? Sebab pribadi penganut agama tertentu memiliki keterbatasan dalam menafsirkan maupun mengaktualisasikan rumusan ajaran-ajaran iman yang diyakininya sebagai pernyataan diri Allah. Keterbatasan inilah yang dapat melahirkan adanya sikap maupun aliran konservatif dan fundamentalisme agama yang fatalistik dan brutal. Hal ini dapat terjadi dan dialami oleh semua institusi agama apa pun. Bukan hanya agama Islam!
Fenomena adanya berbagai kekerasan yang ternyata dilakukan oleh penganut agama Islam di dunia ini, yakni dengan merujuk pada beberapa peristiwa semisal WTC dan Bali, mestinya membawa kita kepada kesadaran hidup beragama yang benar. Bukan justru menghujat agama yang dianut oleh pelaku peledakan bom tersebut. Melainkan menjadikannya sebagai sebuah titik balik untuk merefleksikan sejauh mana kita sudah memahami dan mengaktualisasikan iman kita. Dengan kata lain, sudahkah kita menyadari bahwa diri kita dan diri orang lain adalah “bait” Allah, yakni tempat Allah bersemayam! Kesadaran ini sesungguhnya akan memampukan setiap orang untuk hidup baik dan benar di hadapan Tuhan dan sesamanya.
Tulisan tentang Islam sebagai agama kebenaran dalam konsep Logos Spermaticos Yustinus Martir ini secara tegas hendak mengatakan bahwa kebenaran Allah sesungguhnya juga diwahyukan dalam setiap pribadi manusia maupun setiap institusi agama apa pun. Akan tetapi, kebenaran Allah tersebut perlu untuk terus di pelihara dan dijaga. Dalam hal inilah diperlukan suatu sikap keterbukaan untuk berdialog dengan pribadi maupun agama lain sebagai usaha untuk menjaga dan merawatnya. Tujuannya adalah agar kita juga dapat melihat dan memahami “wajah Allah” di dalam dan melalui pribadi maupun institusi agama lain tersebut.




Daftar Pustaka

Laba, Laurensius. Sejarah Filsafat Islam (diktat kuliah). STFT Widya Sasana: Malang, 2006

Riyanto, Armada, E.. Dialog Interreligius: Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah. Yogyakarta: Kanisius, 2010

Tule, Philipus, SVD. Mengenal dan Mencintai Muslim dan Muslimat. Maumere: Ledalero, 2003


Internet:
E, Ruth. Logos Spermaticos. dalam http://joas.gkipi.org/kuliah/kristologi2010/tugas-kristologi2010/glossary-kristologi2010/logos-spermatikos/. (diakses tgl. 14 November 2010)

Konsep Tentang Eksistensi Allah Menurut Immanuel Kant


Konsep Tentang Eksistensi Allah
Menurut Immanuel Kant


Oleh Herri Kiswanto Sitohang



I. Pendahuluan
Pergumulan mengenai eksistensi Allah merupakan suatu pembahasan yang selalu menarik dan sekaligus menantang. Sebab pergumulan mengenai eksistensi Allah ini sering kali dihadapkan atau dipertentangkan dengan berbagai sudut pandang atau perspektif. Misalnya, eksistensi Allah dipertentangkan dengan realitas adanya kejahatan di dunia. Bahkan disebutkan bahwa salah satu sebab terdalam munculnya sikap pengingkaran terhadap eksistensi Allah (ateisme) adalah karena adanya kejahatan di dunia. Rumusan sanggahan yang dilontarkan oleh para ateis adalah “kejahatan ada maka Allah tidak ada.” Pernyataan ini dikonfrontasikan dengan pemikiran yang memuat gagasan tentang Allah sebagai Ada Yang Tak terhingga Baiknya dan Maha Kuasa. Logikanya adalah apabila Allah adalah Ada yang baik, maka Ia tidak boleh mengijinkan munculnya kejahatan. Dan, apabila Allah adalah Ada yang Maha Kuasa, maka seharusnya Ia harus dapat menghalangi munculnya kejahatan. Di sini tampak jelas sekali bahwa realitas kejahatan dijadikan sebagai sarana (sudut pandang atau perspektif) untuk mempertanyakan dan bahkan meragukan eksistensi Allah.
Pertanyaan yang mendasari seluruh pergumulan tersebut adalah “apakah eksistensi Allah sungguh ada?” Pembahasan ini sudah menjadi bahan diskusi para filsuf sejak dulu hingga sekarang, namun tetap saja tidak mampu memberikan suatu respon maupun jawaban yang tuntas dan selesai. Pernyataan “tidak mampu memberikan suatu respon maupun jawaban yang tuntas dan selesai” memaksudkan tiadanya satu jawaban yang menjadi jawaban bersama. Atau dispekati sebagai jawaban akhir dari persoalan mengenai eksistensi Allah itu sendiri. Selalu saja memiliki ruang untuk didiskusikan dan menuangkan ide-ide baru. Hal itu nampak jelas dalam berbagai tanggapan maupun pemikiran yang dirumuskan oleh para filsuf. Salah satu filsuf yang mencoba menggagas tentang eksistensi Allah adalah Immanuel Kant. Secara implisit, Immanuel Kant sesungguhnya mengakui eksistensi Allah. Bagaimana hal itu digagas? Hal itulah yang akan digumuli oleh penulis lewat paper ini.
Gagasan Immanuel Kant tentang eksistensi Allah tercetus lewat pemikirannya dalam “kririk budi praktis.” Hal yang pasti adalah bahwa dia sesungguhnya secara implisit mengakui eksistensi Allah. Gagasannya tentang eksistensi Allah tersebut tercetus dalam pemikirannya tentang moralitas. Dengan demikian, kita hanya dapat merumuskan konsep tentang eksistensi Allah menurut Immanuel Kant dengan berusaha terlebih dahulu mensistematisasi pemikirannya tentang moral.

II. Gagasan Moralitas Immanuel Kant
Immanuel Kant adalah seorang filsuf besar yang pernah tampil dalam pentas pemikiran filosofis pada zaman pencerahan Jerman menjelang akhir abad ke-18. Ia memiliki pemikiran yang cemerlang dan berpengaruh pada zaman modern ini. Pemikirannya tampil sebagai suatu usaha untuk membela kepastian ilmu, tata kesusilaan (moral), dan keagamaan dengan mengajukan persoalan kritis mengenai kekuatan akal manusia dan syarat-syarat kemungkinan pengetahuan pada umumnya. Hal itulah yang tertuang dalam pemikiranya tentang “Kritik der reinen Vernunft (1788) dan Kritik der praktische Vernunft (1788).” Persoalan kritis ini berpangkal dari gagalnya rasioalisme dan empirisme dalam menjelaskan sifat-sifat obyektif, pasti dan umum dari ilmu pengetahuan. Kritik Kant ini melahirkan suatu arah baru dalam pemikiran filsafat dan sangat mempengaruhi semua aliran yang menyusul Kant; begitu pula pendapatnya tentang kesusilaan dan hukum.
Pada prinsipnya, pergumulan moral adalah pergumulan tentang tindakan manusia. Tentu yang dimaksud adalah tindakan manusia sebagai manusia. Pengertian ini secara tegas mengungkapkan esensi dari moral. Moralitas pertama-tama adalah mengurusi perkara tindakan manusia sejauh manusia secara keseluruhan dan bukan hewan. pernyataan “tindakan manusia sebagai manusia” hendak mengungkapkan bahwa pada prinsipnya manusia memiliki karakter-karakter tindakan yang khas manusiawi. Karakter-karakter yang khas manusiawi tersebut serentak menyiratkan suatu pembedaan yang tegas antara tindakan manusia dan hewan.
Penjelajahan selanjutnya adalah bagaimana Kant memahami gagasan moralitas ini. Pertanyaan yang dapat dilontarkan adalah, apakah “tindakan manusia sebagai manusia” itu dalam pemikiran Kant? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan merujuk pada pemikirannya tentang Kritik der praktische Vernunft. Persoalan mendasar yang dibicarakan di dalam Kritik der praktische Vernunft adalah berkaitan dengan pertanyaan: “apa yang seharusnya atau dapat saya lakukan?” Kant menjawab pertanyaan tersebut dengan berusaha mencari satu dasar dari setiap perbuatan manusia dan menguji secara kritis apakah dasar tersebut berlaku untuk semua orang dan merupakan sesuatu yang harus ada. Kant kemudian merumuskan apa yang menjadi dasar dari hukum budi praktis yakni: “berbuatlah sedemikian rupa sehingga prinsip kehendakmu setiap saat dapat berlaku sebagai prinsip penetapan undang-undang yang berlaku umum”
Dari dasar hukum budi praktis ini secara jelas terungkap bahwa apa yang merupakan tindakan manusia sebagai manusia adalah segala tindakan yang baik dari dirinya sendiri (an sich). Sebab memang setiap prinsip penetapan undang-undang yang berlaku umum haruslah mampu mengakomodasi kebaikan umum (common good). Namun pertanyaan selanjutnya adalah apa itu baik dalam arti ini? Jelas bahwa dalam arti ini, baik adalah bukan “itu” yang semata-mata mampu memberikan kepuasan, kenikmatan atau kebahagiaan. Sebab, apabila kebaikan atau baik dipahami sebagai demikian, maka konsep kebaikan atau baik jatuh pada suatu pilihan. Artinya, kebaikan atau baik itu adalah pilihan. Dengan demikian, kebaikan akan jatuh pada subyektivisme, yang menimbulkan adanya kemungkinan untuk berbuat baik dengan disertai kepentingan-kepentingan terselubung pribadi tertentu yang sifatnya buruk (vested interest). Akan tetapi, kebaikan atau baik adalah suatu keniscayaan. Bukan pilihan, melainkan merupakan “itu yang wajib” kamu lakukan. Bagi Kant, kebaikan atau baik itu bersifat imperatif kategoris. Imperatif kategoris ini tidak berhubungan dengan suatu tujuan yang mau dicapai. Sifat dari imperatif kategoris adalah formal, artinya hanya merumuskan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh perbuatan mana pun juga agar dapat memperoleh nilai moral yang baik, terlepas dari tujuan materialnya. Menurut Kant, tidak mungkinlah budi praktis mewajibkan kita melakukan sesuatu yang tidak bisa kita lakukan. Moralitas pada dirinya sendiri sudah merupakan suatu praksis dalam pengertian obyektif, yakni sebagai keseluruhan hukum-hukum yang bersifat mengikat tanpa syarat dan yang seharusnya kita jadikan acuan ketika bertindak. Imperatif kategoris inilah yang dipandang Kant sebagai azas kesusilaan yang transendental.

III. Eksistensi Allah Menurut Immanuel Kant
Berangkat dari gagasan moralitas yang berusaha mencari satu dasar dari setiap perbuatan manusia dan menguji secara kritis apakah dasar tersebut berlaku untuk semua orang dan merupakan sesuatu yang harus ada. Dan kemudian merumuskan apa yang menjadi dasar dari hukum budi praktis yakni: “berbuatlah sedemikian rupa sehingga prinsip kehendakmu setiap saat dapat berlaku sebagai prinsip penetapan undang-undang yang berlaku umum.” Maka, pertanyaan selanjutnya adalah, “untuk apa saya melakukan perbuatan moral tersebut?” Pertanyaan ini dijawab oleh Kant dengan pertama-tama menegaskan pentingnya penetapan “kebaikan tertinggi” sebagai obyek atau tujuan dari perbuatan praktis. Kebaikan tertinggi adalah obyek bayangan yang secara praktis dan perlu untuk memenangkan satu perbuatan yang berarti. Kebaikan tertinggi inilah yang menjadi tujuan akhir yang mau dicapai lewat perbuatan baik manusia dan menjamin arah dari perbuatan baiknya itu sendiri. Dua elemen yang khas dari kebaikan tertinggi adalah kebajikan dan kebahagiaan. Oleh karena itu, tampillah pengandaian (postulat) tentang kebaikan tertinggi. Postulat berarti kalimat teoritis yang isinya tidak dapat dibuktikan, tapi berperan sebagai hukum praktis.
Dengan demikian tampaklah bahwa menurut Kant, eksistensi Allah diandaikan sebagai satu Kebaikan Tertinggi yang otonom dan satu hakikat moral yang suci dan sempurna. Allah dibayangkan sebagai dasar penghubung antara kebajikan dan kebahagiaan.
Menurut Kant, di dunia ini kebaikan tertinggi itu tidak akan pernah terealisasi secara seratus persen sempurna sebab adanya kejahatan. Kendati demikian, tujuan itu wajib dikejar oleh setiap perbuatan manusia. Maka, haruslah ada seorang pribadi yang maha adil, yang daripadanya datang sanksi bagi orang jahat dan ganjaran kebahagiaan sempurna bagi orang baik. Kebahagiaan duniawi yang tidak sempurna, yakni terpenuhinya segala kepuasan manusia di bidang empiris, bisa diciptakan oleh manusia di dunia ini. Namun, hanya Allah yang bisa menciptakan kebahagiaan sempurna dan menyediakannya bagi manusia yang baik di alam sana.

IV. Relevansi
Pemahaman tentang konsep eksistensi Allah menurut Immanuel Kant ini seolah membangunkan manusia dari tidurnya. Khususnya manusia yang selama ini merasa nyaman dengan prinsipnya. Yakni prinsip yang secara tegas tidak mau mengakui adanya eksistensi Allah di dunia ini. Dengan demikian, mereka menjadikan dirinya sendiri sebagai “allah”. Konsekuensinya adalah bahwa “allah” yang diyakininya itu sesungguhnya adalah “allah” yang terbatas dan lemah bahkan rentan. Hal itu menunjuk pada kenyataan akan eksistensi kodrati manusia yang memang jauh dari kesempurnaan.
Dengan memahami konsep eksistensi Allah menurut Immanuel Kant ini, manusia sesungguhnya dibawa kepada kesadaran bahwa Allah itu tidak jauh di sana (di alam baka). Melainkan dekat di sini dan dapat dikenali lewat hal-hal yang sederhana dalam hidup ini. Salah satunya adalah dengan cara pengandaian akan adanya “Kebaikan Tertiggi.” Tentu, pengandaian ini bukanlah suatu pengandaian kosong, yang hanya sebatas imajinasi. Akan tetapi, pengandaian ini serentak membawa manusia kepada eksistensi “Kebaikan Tertingi” itu sendiri. Sebab, dengan adanya pengandaian ini, maka manusia juga dituntut untuk berlaku baik dan bersahaja di dunia ini. Dan apabila manusia mampu berlaku baik dan bersahaja seperti yang digagas oleh Kant, maka dunia ini sesungguhnya adalah dunia yang sungguh menampilkan “kerajaan Allah”. Dan Allah sendiri adalah Rajanya. Dengan demikian terciptalah dunia yang dipimpin oleh Sang Kebaikan Tertinggi itu sendiri.

Daftar Pustaka
Driyarkara. Karya Lengkap Driyarkara. Yogyakarta: Kanisius, 2006

Kant, Immanuel. Menuju Perdamaian Abadi Sebuah Konsepsi Filosofis (terj.). Bandung: Mizan, 2005

Kelen, Sermada, Donatus. Filsafat Ketuhanan (diktat kuliah). Malang: STFT Widya Sasana, 2006 kuliah)

Thahyadi, S.P. Lili. Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika dan Imperatif Kategoris. Yogyakarta: Kanisius, 1991