}

Minggu, 26 April 2009

“HORAS” ( Dalam Perspektif logika Orang Batak Toba )


“HORAS”
( Dalam Perspektif logika Orang Batak Toba )

I. Pendahuluan
“Horas” merupakan suatu ungkapan khas orang batak toba. Ungkapan itu sudah sangat familiar dikalangan masyarakat Indonesia, khususnya dikalangan orang batak toba sendiri. Ungkapan itu sering kali diungkapkan oleh sesama batak toba dan juga diluar batak toba. Bahkan, banyak orang mengidentikkan orang batak toba dengan ungkapan horas tersebut. Sehingga, ketika seseorang yang bukan batak toba bertemu dengan orang batak toba asli, maka, ungkapan ‘horas’ adalah sapaan pertama yang dilontarkan. Namun harus diakui bahwa ternyata tidak semua orang memahami apa sebenarnya makna maupun arti dari ungkapan tersebut.
Ungkapan horas sesungguhnya bukanlah hanya sekedar sapaan yang hanya diungkapkan begitu saja, melainkan juga sebuah ungkapan yang ingin menggambarkan cara pikir orang batak toba. Cara pikir itu dapat dilihat melalui dasar-dasar pemikiran yang terkandung dalam ungkapan horas itu sendiri. Hal itulah yang ingin diuraikan para penulis lewat artikel ini.

II. Latar Belakang kata Horas
Horas bukan hanya sebatas salam atau sapaan sebagaimana pemahaman salam ataupun sapaan pada umumnya. Tetapi ungkapan horas sesungguhnya memiliki dasar-dasar pemikiran yang terkandung dalam ungkapan tesebut. Dasar-dasar pemikiran itu dapat dilihat secara jelas melalui kajian latar belakang ungkapan horas itu sendiri.
Berdasarkan latar belakangnya, ungkapan horas sesungguhnya berasal dari beberapa frase dalam bahasa Batak Toba yang membentuk suatu kalimat kalimat panjang. Latar belakang ini didapatkan berdasarkan tradisi lisan yang disampaikan secara turun temurun. Kalimat itu sendiri mau mengungkapkan suatu azas atau prinsip hidup yang hendak disampaikan kepada semua manusia pada umumnya dan orang Batak Toba pada khususnya. Kalimat itu adalah :
“Holong marsihaholongan, on do sada dalan na dumenggan, rap tu dolok tu toruan, asa taruli pasu-pasu, saleleng di hangoluan.”

III. Nilai-nilai Pemikiran Philosopis yang terkandung dalam Kata Horas
Nilai-nilai pemikiran philosopis dari ungkapan horas dapat dilihat berdasarkan makna dan penjelasan dari masing-masing frase yang disingkat dalam kata ‘horas’ itu sendiri. Seperti yang dijelaskan berikut ini :

3.1 Holong marsihaholongan
Terjemahan dari frase ini dalam bahasa Indonesia adalah saling mengasihi. Dari frase ini terbentuklah konsep Kasih. Frase ini merupakan ide pokok, yang juga berarti sebagai pokok pikiran dari keseluruhan kalimat dalam bahasa batak toba tersebut. Frase itu mau mengungkapkan bahwa konsep kasih yang terwujud dalam sikap saling mengasihi yang merupakan suatu sikap dasar yang harus dimiliki oleh setiap orang dan orang batak toba pada khususnya dalam hidup ini. Pemahaman itu didukung oleh konsep pemikiran orang batak toba yang menyimpulkan bahwa setiap orang memiliki hati yang terdalam (intimate depth) yang mendasari keberadaan ‘hidup’, ‘daya’, ‘kekuatan atau energi’ yang dialami sebagai kehadiran Tuhan. Oleh orang batak toba, hal itu disebut “Tondi” atau sama dengan karakter Ilahi yang mendorong setiap orang untuk saling mengasihi dan dikasihi.

3.2 On do sada dalan na dumenggan
Ide atau pemikiran yang ada dalam kalimat ini merupakan penjelasan dari ide pokok kalimat sebelumnya yakni kalimat holong marsihaholongan. Kalimat on do sada dalan na dumenggan dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “inilah satu-satunya jalan atau cara atau sikap hidup yang terbaik.” Yang dimaksud dengan inilah dalam kalimat tersebut adalah konsep kasih ataupun sikap saling mengasihi satu dengan yang lain yang dijelaskan sebelumnya.
Dalam hal ini, kalimat tersebut sebenarnya mau menegaskan kembali bahwa sikap saling mengasihi merupakan pinsip mendasar yang harus dimiliki dalam hidup bersama dengan sesama. Sebab pada dasarnya, manusia adalah mahluk sosial yang memiliki naluri untuk hidup bersama. Dalam interaksi dengan orang lain, manusia mempunyai dua hasrat yang kuat dalam dirinya, yakni :
- Keinginan untuk menjadi sama dengan sesamanya atau manusia lain di sekelilingnya
- Keinginan untuk menjadi satu dengan lingkungan alam sekelilingnya.
Untuk mencapai keinginan tesebut, maka kasih adalah alat ataupun sarana yang utama menurut perspektif logika orang batak.

3.3 Rap tu dolok tu toruan
Ide yang ada dalam fase ini juga merupakan penjelasan dari frase sebelumnya yang menjadi ide pokok tersebut. Frase ini mau mengungkapkan suatu aplikasi yang nyata dari konsep kasih atau saling mengasihi yang diterangkan sebelumnya yakni dengan menampilkan sikap kesetiakawanan terhadap sesama, baik dalam suka maupun dalam duka. Rap tu dolok tu toruan artinya adalah berjalan bersama di jalan yang mendaki maupun yang menurun.
Frase ini mengandung ide atau pemikiran sosial, yakni bahwa sudah hakekatnya setiap manusia diciptakan oleh Mulajadi Nabolon untuk hidup bersama dengan dengan ciptaan lain. Yang berarti bahwa ia tak dapat hidup sendirian. Maka untuk itulah, sikap kesetiakawanan menjadi satu sikap konkret yang harus diusahakan maupun diperjuangkan setiap pribadi. Kesetiakawanan merupakan perwujudan nyata dari konsep kasih atau saling mengasihi dalam kehidupan sehari-hari.

3.4 Asa taruli pasu-pasu
Pemahaman yang ingin disampaikan lewat frase ini adalah “supaya terberkati”. Maksudnya adalah bahwa dengan adanya sikap kesetiakawanan yang dilandasi dengan kasih, maka berkat akan tercurah atas orang yang memiliki sikap tersebut. Sehingga ide pemikiran yang ingin disampaikan adalah bahwa berkat hanya tercurah atas orang yang memiliki sikap kesetiakawanan yang dilandasi oleh kasih.

3.5 Saleleng di hangoluan
Terjemahan frase ini dalam bahasa Indonesia adalah “selama hidup ini”. Pada dasarnya, frase ini mengacu kepada keterangan waktu dari seluruh rangkaian kalimat dalam bahasa batak tesebut. Dimana, apabila orang memiliki maupun menjadikan kasih sebagai cara hidup yang tertuang dalam sikap kesetiakawanan, orang tersebut akan dicurahi berkat oleh Tuhan selama hidupnya.
Berdasarkan uraian pemikiran philosopis diatas, maka terbentukkah ‘logika orang batak atas ungkapan horas tersebut’. Logikanya adalah bahwa ungkapan horas menjadi suatu salam khas orang batak yang mengandung ide atau pemikiran mengenai prinsip ataupun azas hidup yang mendasar, yang hendaknya dimiliki dan dilakukan semua orang dan orang batak toba pada khususnya. Tetapi, dalam perjalanan waktu dan perkembangan pemahamannya, akhirnya orang batak toba menterjemahkan horas sebagai suatu ungkapan yang mengandung nilai-nilai hidup yang positif, yang dapat digunakan dalam berbagai konteks maupun situasi yang positif pula, sejauh ungkapan itu sunggguh diperlukan dan diartikan sesuai dengan konteks atau situasi itu sendiri. Misalnya: ketika orang batak ingin memberangkatkan anak atau keluarganya, maka ungkapan yang lazim digunakan adalah sai horas ma ho diparjalanganmu. Artinya adalah semoga engkau selamat,aman, sehat atau sukses di perantauanmu. Begitu juga dengan konteks maupun situasi yang lainnya.
Setiap penggunaan ungkapan horas sesungguhnya harus diartikan sesuai dengan konteks penggunaannya. Namun pada prinsipnya, ungkapan horas tidak pernah diungkapkan dalam konteks ataupun situasi yang tidak mengandung nilai-nilai positif. Misalnya, dalam situasi atau konteks berkelahi, memaki, melecehkan, atau situasi atau konteks negatif lainnya. Tetapi selalu bersifat atau mengandung nilai-nilai positif. Pada akhirnya, ungkapan horas dapat diartikan secara umum sebagai salam orang batak toba untuk menyatakan, selamat, aman, teguh, kuat, damai sejahtera, sukses, sehat, bahagia lahir batin, berkat dan doa.

IV.Kesimpulan
Sebagai kesimpulan dari artikel ini, kami ingin menyimpulkan bahwa logika orang batak dalam ungkapan horas terletak pada rangkaian pemikiran orang batak toba yang sangat sistematis dalam merumuskan prinsip-prinsip ataupun azas hidup yang mendasar yang tertuang dalam kata Horas. Dari uraian diatas, kami dapat melihat bahwa sesungguhnya kata HORAS bukan hanya sekedar suatu ungkapan ataupun sapaan biasa tetapi suatu ungkapan yang dilandasi pemikiran-pemikiran praktis orang batak toba dalam menjalani hidup bersama orang lain. Sesungguhnya, ide atau pemikiran itulah yang ingin disampaikan oleh orang batak toba apabila mengungkapkan kata horas. Suatu bentuk pemikiran yang mencakup banyak aspek dan nilai-nilai hidup.
Menurut kami, konsep pemikiran (logika) ini dapat diterapkan dalam kehidupan bersama pada umumnya, sehingga tidak terbatas hanya dalam kehidupan orang batak toba sendiri.

Daftar Acuan

Sinaga. B., Anicetus, OFM Cap. The Toba-Batak High God. West Germany: Studia Instituti Anthropos, 1981.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1990.

Mabun, M.A. Kamus Budaya Batak. Jakarta: Balai Pustaka, 1987.

Jumat, 24 April 2009

Perumpamaan Tentang Penabur


Perumpamaan Tentang Penabur
(Mrk. 4: 1-20)
Pendahuluan
Kata perumpamaan mengandung arti pembandingan suatu hal dengan yang lain. Dalam Injil pemakaian kata perumpamaan memiliki makna yang sangat luas. Bagi Markus, perumpamaan-perumpaman Yesus, baik yang dinyatakan maupun yang tersembunyi bagi siapa saja yang memiliki telinga untuk mendengar, membawa kabar gembira kerajaan Allah. Dalam beberapa pengertian, perumpamaan-perumpamaan itu sama atau mirip dengan teka-teki silang. Markus tentunya tidak salah dalam meyakini bahwa perumpamaan-perumpamaan Yesus berisi suatu kualitas yang membingungkan. Juga pada waktu Markus menulis, kebingungan tersebut tampak lebih besar. Dalam satu hal, Markus melihat bahwa di dalam perumpamaan-perumpamaan itu terdapat beberapa penjelasan berkaitan dengan penolakan bangsa Israel terhadap Yesus. Bangsa Israel gagal dalam memberikan tanggapan terhadap Yesus karena mereka tidak memahami pengajaran Yesus. Markus juga menjadi sadar akan kekaburan atau ketidakjelasan perumpamaan-perumpamaan tersebut adalah karena perubahan situasi dari zaman Yesus ke zaman Markus sendiri. Perumpamaan-perumpamaan mengambil tempat pada sebuah makna baru dalam suatu situasi baru dan dalam prosesnya, relevansi dari perumpamaan-perumpamaan tersebut terkadang tampak kabur atau tidak jelas.
Adalah sesuatu yang lazim apabila suatu saat perumpamaan-perumpamaan tampak terlalu menimbulkan teka-teki dan penggunaannya terhadap suatu situasi baru sering dipersulit dengan alegorisasi. Di sini, dalam Mrk 4.14-20, kita menemukan suatu penafsiran alegoris tentang seorang penabur, yang banyak berbunyi seperti seorang pengkotbah muda yang memberi penjelasan-penjelasan secara rinci berkaitan perumpamaan-perumpamaan dan peringatan kepada orang-orang Kristen akan bahaya-bahaya yang mungkin mengalahkan iman mereka. Para Penafsir kemudian menggunakan alegori secara tetap sebagai suatu metode eksegese. Penafsir-penafsir tersebut juga menarik banyak sekali makna atau arti serta nasihat-nasihat dari suatu perumpamaan dalam cara yang istimewa. Perumpamaan-perumpamaan tersebut diterima menjadi alegori-alegori yang menuntut suatu pemahaman khusus untuk menguraikan makna yang tersembunyi dalam perumpamaan itu sendiri. Pendekatan ini ditolak oleh Adolf Julicher pada akhir abad kesembilan belas, dia mempertahankan bahwa perumpamaan-perumpamaan Yesus bukanlah alegori sama sekali dan tidak boleh ditafsirkan begitu saja. Setiap perumpamaan memiliki satu maksud dan hanya satu maksud. Dan maksud tersebut adalah suatu kebenaran umum yang dapat dipegang oleh siapapun. Selanjutnya, para ahli seperti C.H. Dodd dan J. Jeremias mendasarkan penafsiran mereka pada pemikiran Julicher tersebut. Anggapan dasar Julicher adalah bahwa perumpamaan-perumpamaan Yesus tidak dimaksudkan menjadi alegori-alegori dan bahwa setiap perumpamaan hanya berisi satu maksud yang ternyata terlalu kaku. Persoalan jauh lebih rumit dengan adanya fakta bahwa beberapa penafsir telah meletakkan rincian-rincian alegoris atas perumpamaan. Padahal maksudnya bukanlah demikian. Sebagai contoh: penafsiran Agustinus yang terkenal tentang orang samaria yang baik hati. Akan tetapi, hal ini tidak memaksudkan bahwa seluruh penafsiran alegoris adalah eisegesis. Suatu perumpamaan mengakibatkan sebuah perbandingan, sekali perbandingan tercipta, maka sesuatu atau seseorang dalam perumpamaan tersebut berada dalam sebuah pengertian “identifikasi” dengan suatu benda atau orang dalam dunia yang nyata. Jika suatu perumpamaan relevan terhadap para pendengarnya, berarti perumpamaan itu sepertinya menemukan sasaranya pada diri pendengar tersebut. Misalnya, seperti raja Daud lewat kata-kata “ engkaulah orang itu” (2 Sam 12.7).

Perumpamaan (ay. 1-9)
1-2 Lokasi (setting) nya adalah di Tepi Danau. Tanggapan yang bersifat umum terhadap Yesus merujuk pada kata sebuah kerumunan orang yang sangat besar, yang bersama-sama mendengarkan Yesus. Dua ayat pertama ini adalah contoh yang baik dari gaya perulangan Markus. Kata Kerumunan orang banyak diungkapkan dua kali (2x), kata Danau diungkapkan tiga laki (2x) dan kata pengajaran Yesus ditekankan sebanyak tiga kali (3x). Ia naik ke sebuah perahu yang sedang berlabuh lalu duduk di situ. Perahu tersebut telah siap untuk digunakan sejak dalam 3:9. Dengan cara duduk, Yesus mengadopsi sikap tubuh dari seorang guru (cf. 13.3). Dan Ia mengajarkan banyak hal dalam perumpamaan kepada mereka. Tidak ada makna kiasan yang terdapat dalam pernyataan ini, yakni bahwa terdapat kegagalan komunikasi atau tidak ditemukan kata-kata Yesus yang tidak jelas dalam pengajaran tersebut.
3 Perintah pembuka “dengarlah” menekankan pentingnya ajaran tersebut untuk diikuti atau dijalankan. Selain itu, kata itu menggemakan kata pembuka dalam Ul. 6.4, yang dikenal sebagai shema. Kata tersebut diungkapkan sehari-hari oleh orang yahudi yang saleh sebagai pengingat akan inti imannya. Kata itu berasal dari sebuah kata kerja dalam bahasa Ibrani yang berarti tidak hanya “mendengar” dan “dengarlah” (ay.9), tapi juga “mematuhi” dan kata itu mengemukakan suatu tanggapan aktif terhadap apa yang didengar. Kata itu sungguh ditekankan karena pada prinsipnya suatu perumpamaan dan penafsirannya didasarkan pada perintah shema (mematuhi) untuk mencintai Allah dengan segenap hati, pikiran dan tenaga/kemampuan (B. Gerhardsson, N.T.S., 14, 1968, pp. 165-93). Adalah Seorang penabur keluar untuk menabur. Bagi Markus penabur itu adalah representasi dari Kristus sendiri. Walaupun Markus tidak membuat suatu identifikasi, tapi dia barangkali telah mengisyaratkan hal itu. J. Markus (The Mistery of the Kingdom of God, pp. 37-9) mengemukakan bahwa “pergi keluar” adalah kata kerja yang digunakan oleh Yesus berkaitan dengan misi-Nya sendiri dalam 1.38, dan ungkapan menabur benih pada tanah yang baik menggemakan pernyataan bahwa Yesus mengalamatkannya pada kerumunan orang yang berada di tepi danau (ay. 1/ lih. “on the land”).
4 Banyak ahli menerima penafsiran yang diberikan oleh Jeremias (Parables, pp. 11f). Jeremias menafsirkan bahwa ladang itu tidak dibajak ketika benih tersebut ditabur dan bahwa jalan itu adalah jalan yang sifatnya sementara, yang juga akan dibajak bersama dengan ladang tersebut. Faktanya (dalam Injil) adalah bahwa sebagian benih jatuh di pinggir jalan dan sewaktu-waktu, burung-burung melihat benih-benih itu dalam posisi yang mudah untuk dijangkau/diserang dan kemudian datang untuk memakannya.
Penjelasan Jeremias tentang perumpamaan ini mendukung penafsiran bahwa benih itu jatuh “di atas jalan”. C.C., Torrey (diikuti oleh M. Black, An Aramic Approach, p. 162) menegaskan bahwa di belakang bahasa Yunani Markus tersebut terdapat sebuah frase Aram yang ambigu yang dapat dimengerti dengan arti: atau “di atas jalan” atau “di pinggir jalan”. Akan tetapi, ternyata Markus memilih untuk menulis kata yang berarti “di pinggir” bukan “di
5 atas”. Munculnya tanah yang berbatu-batu di ladang tersebut bukanlah suatu hal yang mengherankan. Karena memang tanah di Galilea itu kadang tipis. Ternyata benih itu tidak begitu dalam di dalam tanah sehingga membuat benih tersebut tidak tumbuh lebih cepat, sebagaimana yang ditegaskan oleh Markus. Di tanah yang dangkal itu, benih akan lebih dekat
6 ke permukaan dan memungkinkan tunasnya muncul dengan baik ke atas tanah secara lebih
cepat. Namun, panasnya matahari membuatnya segera layu dan kering.
7 Gambaran Jeremias tentang seorang petani yang dengan sengaja menabur di antara semak berduri karena dia akan membajaknya adalah bertentangan dengan perumpamaan itu sendiri, sebab kita membahas bahwa semak berduri itu tumbuh dan menjepit benih tersebut. Karena petani itu menabur terpencar-pencar, sebagian benih secara tak sengaja jatuh diantara rumput liar yang berada di luar lahan yang dipersiapkan. Benih tersebut tidak menghasilkan apa-apa. J. Markus (Op.Cit., p. 22) mengemukakan bahwa setiap kegagalan adalah kekalahan pada setiap tingkat yang berbeda dalam pertumbuhan. Pertama, sejumlah benih bahkan tidak sampai bertunas. Kedua, langsung layu dan kering segera ketika benih itu bertumbuh. Ketiga, tampaknya tumbuh tapi tidak menghasilkan apa-apa (tidak memberikan buah).
8 Dan sebagian benih jatuh di tanah yang baik. Akhirnya, berbeda dengan benih-benih yang gagal sebelumnya, ternyata terdapat juga benih-benih yang tumbuh subur. Benih-benih itu tumbuh dan bertumbuh serta menghasilkan panenan. Bukan merupakan suatu hal yang mudah untuk memastikan makna dari perumpamaan tersebut. Perumpamaan itu biasanya ditafsirkan sebagai suatu perumpamaan tentang Kerajaan Allah. Dalam kasus ini, panenan dimengerti sebagai symbol datangnya kerajaan Allah tersebut. Perdebatan kemudian berpusat pada persoalan apakah panenan mengambil tempat dalam pelayanan Yesus (so C.H. Dodd. Parables, pp. 180ff), atau apakah panenan tersebut terletak pada masa yang akan datang, pelayanan Yesus menjadi waktu untuk menabur. Bagaimanapun, patut dicatat bahwa perumpamaan tidak secara khusus mengungkapkan tentang Kerajaan Allah, meskipun kata-kata Markus dalam ay. 10-12 secara jelas menafsirkannya seperti demikian. Suatu penafsiran tradisional menegaskan bahwa perumpamaan tersebut dimaksudkan untuk memberi semangat kepada para murid dalam pewartaannya untuk mewartakan Injil. Perumpamaan itu memberikan harapan kepada para murid yang cemas. Yesus sendiri mengalami kegagalan, namun Kerajaan Allah berkembang dan panenan melampaui setiap harapan. Maka perlu memiliki iman akan Allah. Penafsiran ini sesungguhnya juga merupakan perluasan dari penafsiran yang diberikan oleh Markus sendiri mengenai perumpamaan tersebut. Markus memahami perumpamaan itu sebagai pelayanan Yesus dan tanggapan yang dibuat orang banyak terhadap Yesus. Suatu perumpamaan pada prinsipnya dimaksudkan untuk menghadirkan perbedaan antara mereka yang tanggap terhadap perintah Tuhan dan menjadi pengikut-Nya yang sejati, dan mereka yang gagal untuk mematuhi kehendak-Nya. Tuhan mencari panenan di ladang-Nya, seperti Dia mencari buah anggur di ladang Anggur-Nya (12.1-9). Sejauh ini, sebagaimana pengajaran Yesus menghadirkan kembali penolakan bangsa Israel untuk menanggapi kehendak Tuhan, kiranya, Markus telah menafsirkan perumpamaan tersebut secara tepat ditinjau dari sudut tanggapan yang dibuat terhadap Yesus sendiri.
9 Penolakan tersebut terpaut pada sabda Allah dalam ay. 9, yang menggunakan perintah untuk mendengarkan seperti juga dalam ay. 3; kata kerjanya sama, tapi tidak mungkin untuk menerjemahkan kata kerja ini dengan satu kata saja dalam bahasa inggris menyangkut seluruh Bab ini. Oleh karena itu, di sini kita tetap memakai terjemahan yang lazim yakni: “Barang siapa memiliki telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!”.

Tujuan Perumpamaan
Bagi Markus tujuan perikop ini adalah untuk menunjukkan bagaimana orang menanggapi kehadiran Kerajaan Allah yang oleh orang Yahudi diyakini hadir dalam setiap sejarah dan dalam diri manusia. Markus membedakan dua kelompok orang yang menanggapi kehadiran Kerajaan Allah yaitu, orang yang berada di luar serta orang yang berada di sekitar Yesus bersama para murid. Sebagaimana hal itu juga dapat di lihat dalam Mrk. 3.31-35. Bagi Markus persoalan dalam menerima kehadiran Kerajaan Allah bukan terletak pada apakah termasuk kelompok orang luar ataukah kelompok orang yang di sekitar Yesus tetapi terletak pada kesungguhan dan tanggapan yang baik terhadap segala pengajaranNya. Dalam ayat 13 Markus menunjukkan bagaimana keduabelas murid tidak lebih baik dari orang banyak lainnya dalam memahami pengajaran Yesus. Sedangkan bagi orang luar malah Kerajaan Allah itu telah dinyatakan atas mereka oleh karena iman mereka yang luar biasa terhadap pengajaran Yesus (bdk. Mrk. 5:34; 7:29; 9:24; 10:13-16; 14:3-9; 15:39).
10. Sekarang tempat berubah dari tepi danau yang ramai menuju tempat dimana Yesus dan orang-orang yang dekat dengan Yesus berada bersama-sama. Dalam bahasa Yunani hal ini terasa janggal karena kepada kita dikatakan bahwa saat itu Yesus sendirian. Hal ini menjadi janggal karena kemudian dikatakan bahwa Ia berbicara kepada dua kelompok yang ada bersama Dia. Satu kemungkinan adalah bahwa ini merupakan tradisi yang diwariskan oleh Markus, yang seharusnya dibaca dengan “dan kemudian Dia sendiri bersama keduabelas murid…” Jika demikian, maka kemungkinan Markus mau menunjuk pada orang-orang yang mengelilingi Dia. Kelompok ini merujuk pada kelompok yang disebutkan pada Mrk.3:34. Merekalah yang akan melakukan kehendak Allah. Dan bagi Markus, bukan hanya keduabelas murid yang datang kepada Yesus untuk menanyakan tentang perumpamaan-perumpamaan, tetapi juga muncul dari kelompok orang yang hadir mendengarkan Yesus di tempat itu.
11 “Kepadamu telah diberikan rahasia Kerajaan Surga”. Kata rahasia merupakan kata dalam bahasa Yunani untuk menunjukkan misteri yang diperkenalkan kepada orang-orang yang diinisiasikan dalam agama-agama yang mengandung misteri. Kata ini sama dengan istilah dalam bahasa Ibrani dan Aram yang menunjuk pada tujuan rahasia Allah yang Ia nyatakan kepada umatNya. Kata ini juga sering digunakan oleh Paulus (bdk. Rm. 11:25; 16:25; I Kor. 2:7; 15:51; Kol. 1:26; 2:2). Jadi, kata rahasia di sini menunjuk pada misteri Kerajaan Allah yang telah diberikan kepada mereka oleh Allah. Dan di sini nampak bahwa Allah yang terutama berinisiatif dan juga memperlihatkan karakteristik pengajaran Yesus.
12 Ini terjadi supaya…. Ayat ini bagi sebagian penafsir menjadi suatu persoalan oleh karena sabda Yesus yang bernada paradoksal. Namun, bagi Markus di sinilah letak ajaran teologisnya, yakni bahwa seringkali untuk memahami kebenaran dari ajaran Yesus banyak orang menemui hambatan bahkan kegagalan. Karena itu lewat sabdaNya Yesus berusaha membangkitkan respon dari para pendengar akan pengajaranNya.

Penjelasan Mengenai Perumpamaan
Kegagalan para murid dalam memahami ajaran Yesus mengundang kemarahanNya. Sebagai pengikut Yesus yang adalah “orang dalam” seharusnya mereka tidak diberi penjelasan khusus. Akan tetapi bagi para murid, pengajaran Yesus seringkali sulit dipahami. Rupanya karakter pengajaran Yesus ini merupakan salah satu ciri Injil Markus. Peristiwa seperti ini juga muncul kembali pada Mrk. 8.27.
13 Pernyataan Yesus: “Tidakkah kamu mengerti perumpamaan ini?” merupakan petunjuk bahwa para murid gagal memahami pengajaran Yesus. Nampaknya, perumpamaan tentang penabur ini merupakan kunci kepada perumpamaan-perumpamaan lainnya. Hal ini jelas dari perkataan Yesus selanjutnya: “Kalau demikian bagaimana kamu akan memahami yang lain?”
14 Penabur menaburkan sabda. Sabda yang dimaksudkan di sini adalah Injil. Pada tempat ini Markus tidak menyebutkan identitas dari penabur itu. Bisa jadi karena bagi pembaca Markus hal ini sudah menjadi jelas. Bagi mereka, karena perumpamaan mengenai sabda ini disampaikan oleh Yesus, maka menjadi jelas bahwa penabur itu adalah Allah sendiri.
15 Mereka yang berada di pinggir jalan, dimana Sabda itu ditaburkan adalah kelompok pertama dari para pendengar yang diidentifikasikan sebagai yang berada di pinggir jalan. Mereka itu adalah contoh dari lahan yang tidak menghasilkan. Hati mereka itu seperti tanah yang sungguh-sungguh tidak mau menerima. Maka, setan yang masih aktif dan tidak terikat datang dan mengambil benih yang ditaburkan dalam diri mereka. Dengan demikian lenyaplah sabda itu dari dalam diri mereka.
16-17 Kata demikian juga sebenarnya kurang tepat, sebab di sini perbandingan telah bergeser. Benih yang ditaburkan di tanah yang berbatu-batu menjadi sedikit aneh karena diidentifikasikan dengan orang-orang yang mendengarkan sabda dan menerimanya. Penjelasannya menjadi sedikit sulit karena poin yang ingin disampaikan adalah bukan soal adanya perbedaan karakter benih-benih tersebut, tapi tanggapan yang lazim diberikan orang-orang kepada benih itu sangat berbeda. Orang-orang menanggapi sabda itu tapi mereka tidak berakar di dalamnya sebab terjadi penindasan karena sabda tersebut. Sehingga kemuridan mereka hanya berlangsung sebentar saja. Ditindas karena Injil adalah bagian dari pengalaman hidup komunitas kristiani awali dan perumpamaan ini lazim ditafsirkan untuk mereka.
18-19 Kelompok ketiga adalah mereka yang kuatir akan persoalan duniawi dan tipu daya kekayaan dan keinginan-keinginan yang lain. Mereka juga tidak menghasilkan buah (bdk. Mat. 6. 24). Mereka mendengarkan sabda Allah namun dengan hati yang mendua. Mereka mencari kerajaan Allah, tapi sekaligus masih cemas akan apa yang dimakan atau yang dipakai.
20 Semua kelompok sebelumnya berdiri sebagai kelompok yang menentang sekelompok kecil para murid yang mendengar sabda dan menerimanya. Mereka itu adalah para anggota komunitas Markus yang berkumpul bersama untuk mendengarkan perumpamaan dan penjelasan mengenai perumpamaan tersebut. Mereka itu identik dengan kelompok yang terakhir, yakni orang-orang yang mendengar dan menerima sabda serta mengahasilkan buah. Orang-orang yang menghasilkan buah itu adalah orang-orang yang kepadanya Kerajaan Allah disampaikan.

Penutup
Seluruh pembahasan tentang perumpamaan ini di jelaskan oleh Morna D. Hooker dalam tiga bagian besar, yakni: tentang perumpamaan itu sendiri, tujuan perumpamaan dan penjelasan tentang perumpamaan. Pada intinya, perumpamaan ini berbicara tentang misteri kerajaan Allah. Yang mau ditekankan adalah adanya aneka sikap maupun tanggapan yang diberikan terhadap kerajaan Allah tersebut serta hasilnya. Singkatnya, perumpamaan tentang penabur mencerminkan situasi karya penyelamatan Kristu
Daftar Pustaka

Sumber Utama:
Hooker, M.D. The Gospel According to Saint Mark. London: A&C Black. 1991.

Sumber Pendukung:
Haryanto, J. CM. Perumpamaan-perumpamaan Yesus. Malang: STFT Widya Sasana. 1988.

Kii, J. Bili (ed.). Panduan Membaca Injil Markus: Yesus Utusan Allah. Yogyakarta: Kanisius. 1993.

Leks, Stefan. Meditasi Bersama Markus. Yogyakarta: Kanisius. 1990.

Pidyarto, Henricus. Eksegese KS. Perjanjian Baru sinoptik. Malang: STFT Widya Sasana. 2002.

Fenomenologi Dalam Filsafat Agama



Fenomenologi Dalam Filsafat Agama

Pengantar
Fenomologi adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon). Lahir ke dalam dunia filsafat oleh karena kesadaran Edmund Husserl (1859-1938). Bagi dia “prinsip segala prinsip” ialah intuisi langsung, tanpa perantara apapun. Hursserl menggunakan istilah fenomonologis untuk menunjukkan apa yang tampak dalam kesadaran kita dengan membiarkan apa yang tampak tersebut termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan buah pikiran kita kedalamnya, atau menurut Husserl: “Zuruck zu den sachen selbst” (kembalilah kepada realitas itu sendiri). Fenomenologi Husserl bertujuan mencari esensi suatu fenomena. Hal itu bermula dengan membiarkan fenomena itu termanisfestasi apa adanya tanpa dibarengi prasangka.
Berikut ini akan dibahas tiga tokoh yang juga berbicara tentang fenomenologi, tapi lebih kepada fenomenologi agama. Ketiga tokoh tersebut adalah: Maurice Blondel, Louis Dupre dan Mircea Eliade.

Maurice Blondel
Maurice Blondel (1861-1949) adalah seorang filsuf agama Francis. Dapat dikatakan bahwa seluruh kegiatan kefilsafatannya merupakan suatu penyelidikan mengenai tindakan manusia. Menurut Blondel, Tindakan adalah karakter yang sangat umum dari pengalaman manusia. Manusia hanya menjadi sadar akan dirinya sendiri dalam relasinya dengan “hal lain” di luar dirinya. Tindakan adalah suatu kenyataan, suatu ketentuan umum yang tidak dapat disangkal dan itu selalu tampak kepada kita sebagai suatu kewajiban. Dia menegaskan bahwa kita tidak dapat melangkah lebih jauh, belajar, atau memperkaya diri kita kecuali melalui tindakan. Hidup kita tidak pernah lepas dari tindakan dan itu sesungguhnya mengarahkan kita kepada realitas transenden. Transenden bahkan dapat disebut menjadi imanen dalam pengertian tindakan. Bagi Blondel, tindakan adalah suatu kategori yang membawa pengertian, yang mana kemampuan akal budi dan keinginan dipahami dalam satu kesatuan, saling mempengaruhi satu sama lain. Kita dapat memahami tindakan hanya melalui pengalaman. Pengalaman merupakan suatu metode yang disebuat oleh Blondel dengan ilmu pengetahuan tentang hidup. Metode itu merupakan sebuah pengetahuan tentang hidup atau sebuah metode dari pengalaman langsung. Blondel memulainya dengan pengalaman dan batu loncatannya selalu pada pengalaman konkret/nyata.
Dalam analisisnya mengenai pengalaman akan tindakan manusia, Blondel mengajukan suatu pertanyaan, yakni: apakah manusia memiliki suatu tujuan? Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan yang didapat dari ilmu pengetahuan dan hasil kritisasi metafisika, banyak orang menanggapi pertanyaan ini secara negative. Tanggapan negative itu datang khususnya dari kalangan para filsuf. Bagi mereka, tindakan adalah suatu sistem pergerakan kehendak yang disesuaikan dengan kepentingan, mimpi, kebutuhan atau ide. Karena itu, tindakan akan mendapat tempat dalam konteks ketiadaan dan semuanya itu dipahami sebagai kesia-siaan atau ketiadaan. Menanggapi tanggapan negatif tersebut, Blondel berpendapat bahwa konsepsi mengenai ketiadaan di atas adalah hasil dari sebuah ketidakkonsistenan yang logis dan kecacatan tindakan yang diinginkan. Dengan demikian, pemikiran mengenai ketiadaan kemudian ditolak oleh Blondel. Dalam tindakan-tindakan saya di dunia ini, baik di dalam maupun di luar diri saya, ternyata “ada sesuatu”. Blondel berpendapat bahwa ‘sesuatu’ itu tidak dapat dipikirkan dengan referensi keterangan yang memuasakan dalam kaitannya dengan kodrat dan eksistensi manusia, karena pada prinsipnya, belajar tentang tindakan manusia menuntut referensi kepada realitas tansenden. Menurut Blondel, tindakan tidak penuh dalam tataran kodrat. Hal itu tampak dalam dunia adi-kodrati sebagai penyelesaiannya. Dunia adi-kodrati itu akhirnya dipahami sebagia hal yang melampaui tataran Filsafat, melebihi kompetensi filsafat mengenai tindakan manusia, dan filsafat tidak boleh mengabaikannya. Filsafat tidak dapat mengetahui bahwa dunia adi-kodrati itu memang ada. Karena, menurut Blondel, dunia adi-kodrati adalah suatu persoalan iman, suatu hadiah, pemberian dari Yang Ilahi. Jadi, Blondel menemukan sesuatu yang aneh karena beberapa filsuf secara sewenang-wenang mengabaikan atau tidak memperhitungkan agama yang dihayati, yakni yang berkaitan dengan kesaksian-kesaksian mengenai pewahyuan. Hal ini terjadi karena para filsuf membicarakan dogma-dogma berkaitan dengan kesaksian-kesaksian akan pewahyuan secara hipotetis atau abstrak. Mereka melihat makna manusia di dalam dogma-dogma tersebut. Para filsuf tersebut harus menolak atau menentang dunia adi-kodrati di atas bumi ini, karena hal itu melampaui kontrol pemikiran filsafat. Bagaimanapun, filsafat tidak dapat berpikir bahwa dugaan tentang dunia adi-kodrati itu semata-mata sebagai sesuatu yang sewenang-wenang, karena analisis mengenai tindakan telah mengarah ke dunia transenden. Transendensi dialami dalam dasar dari semua tindakan manusia, dan juga dalam kekurangan untuk mencapai pemenuhannya dalam tataran kodrati.
Kita dapat mengatakan bahwa filsafat dapat sadar mengenai apa yang disebut dengan dimensi transenden dari tindakan manusia, tapi eksistensi dari dunia adi-kodrati itu adalah sebuah persoalan pewahyuan. Pewahyuan menuntut hal-hal yang masuk akal dan bijaksana sebagai sarana untuk hal-hal yang adi-kodrati. Sarana-sarana atau tanda-tanda tersebut hanya menawarkan yang tak terbatas di bawah samaran yang terbatas dan di sini orang seringkali membohongi suatu kesulitan. Bagaimana mungkin suatu yang bersifat terbatas mampu mengungkapkan suatu yang transenden. Suatu pewahyuan memang menuntut sikap percaya. Percaya kepada Tuhan menjadi masuk akal bagi kita karena kita mengharapkan dari-Nya apa yang tidak dapat kita buat atau lakukan sendiri. Yang menjadi pertanyaan adalah: “Dimana kita dapat menemukan-Nya, kemudian, jika tidak, dimana kehendak itu dibangkitkan diatasnya? Hal ini hanya ditemukan dalam sebuah kekosongan hati, dalam keheningan batin serta kehendak yang baik”. Pewahyuan Ilahi bergantung atas inisiatif Yang Ilahi karena pergerakan dunia adi kodrati tidak dapat berasal dari manusia. Hal itu merupakan suatu pencarian yang membawa orang kepada Tuhan.

Louis Dupre
Louis Dupre adalah seorang professor emeritus filsafat agama pada universitas Yale. Dia dikenal sebagai seorang filsuf yang melanjutkan tradisi fenomenologisnya Blondel dan Dumery. Dalam sebuah buku, “Religious mistery and rational reflection”, Dupre menegaskan bahwa sebuah sebuah deskripsi fenomenologis tentang pengalaman religius dan sebuah interpretasi kritis tentang kodrat aktivitas simbolis itu tidak dapat dipisahkan. Hal itu ditegaskannya karena aspek-aspek tersebut sering diabaikan dalam filsafat agama. Dia tidak mengabaikan pentingnya metode analitis yang didominasi studi-studi filsafat agama dalam dunia yang berbahasa inggris. Akan tetapi, dia perrcaya bahwa sering ada tendensi untuk membandingkan ide kebenaran dalam agama menjadi sesuatu hal yang sederhana, tidak secara mendasar berbeda dari ilmu pengetahuan.
Dupre juga dikenal sebagai seorang kontributor terhadap filsafat agama. Sumbangan Dupre terhadap filsafat agama dapat dilihat dalam bukunya yang berjudul: “The other Dimension: a search for the meaning of religious attitudes” (Dimensi Lain: sebuah pencarian makna sikap-sikap religius). Bagi Dupre, agama adalah sebuah relasi dialektis yang kompleks dari akal budi dan kenyataan, dimana akal budi dalam penolakannya yang terus menerus mengenai posisi yang diperolehnya menjadi terbuka terhadap dimensi lain, yakni terhadap realitas yang kudus yang melampaui yang terbatas dan yang profan. Yang transenden itu ditandai dengan kekontrasannya dan keberadaannya yang mengatasi fenomen. Hal itu akhirnya dikatakan untuk menggabungkan semua realitas ke dalam sintesis yang lebih tinggi. Dialektika ini bersifat negative dalam pengertian radikal dan tampak dalam analisis akhir untuk memasukkan sebuah penolakan terhadap semua yang biasa dirujuk dibawah nama agama. Maka, agama sendiri pada akhirnya meniadakan jalan untuk penyingkapan realitas transenden. Menurut Dupre, pengalam mistis tidak terbatas pada ungkapan prbadi yang membahagiakan dan luar biasa. Tapi juga mengarah kepada kesatuan mistis dengan kehadiran Allah yang memilki dasarnya dalam seluruh hidup religius. Dupre mengetahui bahwa beberapa tradisi mistis cenderung kehilangan dialektik antara yang terbatas dan yang tak terbatas. Dalam hal ini, pandangan manusia dilampaui dan sifat Ilahi dikenakan pada manusia. Pandangan atau sikap tersebut menegaskan di satu sisi bahwa ketentuan-ketentuan yang terbatas tidak selaras dengan realitas Ilahi dan di sisi lain, yang transenden itu ada dalam ciptaan, dan cipataan adalah manifestasi dari yang transenden. Ketika gambaran akan yang terbatas menjadi esensial dalam perjalanan menuju tingkat kesadaran yang baru ini, gambaran-gambaran tersebut akhirnya harus dilampaui dengan mengarahakan kesadaran akan kehadiran Allah. Mengenai hal ini, iman religius bukanlah terutama suatu tindakan atau usaha pengetahuan, tapi suatu sikap, yakni sikap penerimaan terhadap pengungkapan akan dimensi transenden yang ada dalam pengalaman. Dalam konteks ini, yang membedakan pribadi religius dari pribadi non-religius adalah bahwa pribadi religius memberi suatu interpretasi religius terhadap pengalaman-pengalaman (memandang realitas dari dalam sikap iman) sedangkan yang non-religius sebaliknya bersifat ambigu.
Filsafat tidak bisa menjelaskan interpretasi-interpretasi mengenai pengalaman yang bermuatan iman sebagai simbol kehadiran realitas Yang Ilahi. Karena semuanya itu bergerak dari pengalaman-pengalaman harian menuju penegasan akan kehadiran realitas yang transenden, dan hal itu bukanlah suatu persoalan mengenai argumen yang rasional. Dalam masalah ini, menurut Dupre, yang dapat dilakukan filsafat adalah menunjukkan pergeseran akal budi yang dinamis terhadap suatu prinsip yang mutlak mengeani arti dan manusia. Hal ini dalam iman religius dipahami sebagai suatu relasi yang tidak bisa dipungkiri dengan Yang Ilahi. “Gagasan mengenai yang transenden tidak dapat diabaikan secara bebas dalam kehidupan religius. Akan tetapi, terima atau tidak terima, menerimanya sebagai isi yang benar adalah sebuah persoalan religius. Dalam kaitannya dengan isi, filsafat hanya dapat berefleksi tentang pengalaman iman religius yang berada diluar ranah filsafat. Filsafat tidak dapat mencampurinya dengan berefleksi tentang kodrat realitas. Memahami dengan cara seperti ini, agama tidak dapat menggantikan metafisika. Dalam pengalaman religius, Yang transenden diterima sebagai diri yang nyata dan melampaui seluruh konsep pengetahuan kategoris. Walaupun iman lebih bersifat subyektif dalam kaitannya untuk memahami yang transenden, tapi seseorang tidak dapat secara sempurna untuk mengerti/mengenal Tuhan., karena Tuhan melampaui batas-batas pengetahuan konseptual. Pendekatan Dupre terhadap agama adalah fenomenologis. Hal itu bukanlah sebuah penjelasan mengenai kesadaran transendental seperti dalam pemikiran Husserl. Akan tetapi, merupakan suatu penjelasan mengenai dimensi religius pengalaman sebagaimana dimediasi melalui bahasa komunitas orang beriman. Dialektika agama adalah sesuatu yang ditemukan dalam agama itu sendiri. Hal itu bukanlah sesuatu yang diletakkan diatasnya. Dupre percaya akan pemikiran fenomenologisnya Mircea Eliade yang dapat membuat persoalan itu mejadi jelas. Tugas para filsuf adalah memahami apa yang terkandung dalam agama itu, bukan untuk menghancurkan. Dupre menemukan sebuah pertalian antara pendekatannya mengenai filsafat agama dan megenai empirisme radikal dari James, Royce, dan Hocking. Refleksi kritis perihal suatu anugerah religius menuntut seorang filsuf masuk dalam ke dalam hidup religius dan diperkenalkan dengan interpretasi teologis dari iman. Hal ini bukan mau mengatakan bahwa seorang filsuf harus menjadi seorang religius yang percaya atau harus seperti Scheler yang menyarankan agar seorang filsuf menghidupi hidup sebagai orang beriman. Akan tetapi hal ini mau mengatakan bahwa sebuah penjelasan eksternal yang sungguh tidak cukup dan bahwa seorang filsuf mencabut empati dengan agama yang tidak sanggup menganalisa hidup, makna-makna serta simbol-simbolnya secara memadai.

Mircea Eliade
Mircea Eliade adalah seorang sejarawan agama berkebangsaan Rumania (1907-1986). Mircea Aliade menganggap agama dalam esensi dan metafisikanya Van der Leew menjadi pembicaraan pertama yang penting perihal fenomenologi agama. Eliade mengembangkannya lebih dulu dalam karyanya suatu ketertarikan terhadap sejarah agama-agama, sebuah pengertian bahwa agama harus melakukan sesuatu yang lebih berkaitan dengan pengalaman daripada hanya sebatas ide-ide yang abstrak, dan sebuah penolakan akan analis-analisis reduksionis mengenai pengalaman religius. Dalam karyanya, dia berusaha menggabungkan pendekatan-pendekatan sejarah dan fenomenologis terhadap fenomena religius. Dia juga mendorong para sejarawan agama untuk berusaha melampaui tugas-tugas ilmiah belaka mereka supaya dapat memahami makna pengalaman religius yang dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk sejarah yang berbeda. Dalam buku “The Sacred and the Profane”, Eliade memuji pengalaman Otto mengenai Yang Kudus, yakni karena perhatiannya tentang modalitas-modalitas pengalaman religius lebih dari ide-ide tentang Tuhan. Dalam pemikiran Otto dan Van der Leew, Eliade menemukan sebuah pendekatan yang menolak reduksi representasi religius terhadap psikologi, sosiologi atau fungsi-fungsi rasional, dan yang berusaha menjelaskan agama atas dasarnya sendiri. Tujuan Eliade adalah sedikit berbeda dengan pemikiran Otto dan bahkan pemikiran Van der Leew. Dia ingin dapat melampaui fokus tentang dimensi-dimensi yang tidak rasional tentang Yang Kudus, dan di juga ingin menghadirkan fenomena tentang Yang Kudus dalam keseluruhannya, yakni dalam seluruh kompleksitasnya. Dia mengangkat sebuah perspektif yang lebih luas, yakni dapat menggabungkan metode-metode fenomenologi dengan pencariannya tentang esensi, dan historitas dengan penolakannya terhadap makna yang mengatasi sejarah. Menurutnya, Yang Kudus adalah lawan kata dari Yang profan. Orang menjadi sadar tentang yang kudus karena dia mengatakan dirinya sebagai sesuatu yang berbeda sama sekali dari yang profan. Eliade menggunakan terminology “Hierophany”- (Yang kudus memanifestasikan diri di suatu tempat ) untuk menunjukkan kisah pewahyuan atau manifestasi dari Yang kudus.
Sebagai seorang sejarawan agama, dia memberi perhatian terhadap hierophany Yang kudus dari agama yang muncul awali hingga paling akhir. “Dalam setiap permasalahan, kita dikonfrontasikan dengan kisah misterius yang sama - (manifestasi sesuatu dari suatu keteraturan yang berbeda secara keseluruhan, suatu realitas yang bukan milik dunia kita), dalam obyek-obyek terdapat sebuah bagian yang integral dari kodrat dunia profan kita”. Ada suatu paradok disini, Karena dengan memanifestasikan Yang kudus, obyek, kedua-duanya tetap dalam dirinya sendiri dan menjadi sesuatu yang lain. Hal itu tetap menjadi suatu obyek belaka terhadap pengalaman profan, tapi hal itu diubah kedalam sebuah realitas adi-kodrati dalam pengalaman manusia religius. Bagi manusia-manusia primitive dan pra-masyarakat modern, Yang kudus disejajarkan dengan kekuasaan dan realitas dan manusia religius ingin untuk mengambil bagian dalam realitas tersebut sejauh memungkinkan. Akan tetapi, pengalaman religius akan realitas mengantikan kekontrasan yang mencolok tersebut menjadi ketidakkudusan pengalaman manusia modern, yang didalamnya manusia menemukan kesulitan untuk menemukan kembali pengalaman manusia religius dalam masyarakat archaic. Dia percaya bahwa kita dapat menggambarkan karakteristik-karakteristik spesifik akan pengalaman religius agar supaya menunjukkan perbedaan-perbedaan antara Yang kudus dan Yang profan. Contohnya, dari aneka jenis pengalaman religius, berdasarkan waktu dan budaya-budaya yang berbeda, kita dapat melihat bahwa sebuah pengalaman religius akan ruang berbeda dari pengalaman profan akan ruang. Dimana Yang kudus dipahami untuk memanifestasikan dirinya sendiri dalam ruang yang tidak ada titik temu dan titik temu dapat menjadi tidak bisa dipungkiri. Hal itu membuka sebuah komunikasi antara menara surga dan bumi. Manusia religius memiliki eksistensi yang nyata hanya dalam dunia Yang kudus, dimana dahaganya akan Yang ada mengatasi apa yang baginya chaos (kekacauan) dan ketiadaan ruang profan. Pengalaman profan akan ruang secara kontras adalah Homogenous.
Manusia religius juga mengalami dua jenis waktu, yakni kudus dan profan. Bagi manusia religius, waktu itu seperti ruang yakni tidak homogenous atau tidak berlanjut. Ada interval-interval dari waktu Yang kudus, keabadian yang berturut-turut, waktu festival dan menggantikan kekontrasan dengan waktu profan yang biasanya waktunya bersifat temporal. Waktu Yang kudus itu dapat dibalik dalam pengertian bahwa festival religius atau liturgy mempresentasikan pengulangan akan sebuah even. Manifestasi harus dilakukan dengan intervensi personal tentang Tuhan dalam sejarah dan hal ini menempatkan kembali waktu akan kembalinya keabadian dan lingkaran. Sejarah menjadi sebuah theopany. Bagi manusia religius, alam juga memanifestasikan Yang kudus. Alam tidak pernah hanya bersifat kodrati tapi sekaligus bersifat adi-kodrati dengan nilai-nilai Yang kudus. Inilah sebabnya kenapa manusia dapat mengerti dirinya sebagai seorang mikrokosmos. Manusia mengalami dirinya sebagai waktu kosmis yang sama, sebagai yang memiliki sebuah struktur yang berubah, sebagai yang memiliki sebuah eksistensi yang terbuka. Dalam pengertian ini, mitos-mitos dan simbol-simbol keagamaan dimengerti untuk menyingkap sebuah ontologi, sebuah pengertian akan keberadaan eksistensi manusia, yang disebut Homo religius. Bagi manusia religius, fungsi-fungsi biasa dari kehidupan, bahkan fungsi-fungsi psikologis yang mendasar menjadi sakramen. Manusia religius percaya bahwa ada suatu realitas yang transenden, tapi itu termanifestasi dalam dunia ini, dan eksistensi manusia menyadari potensinya yang paling penuh dalam keterlibatannya dalam realitas yang lebih besar ini. Manusia non-religius (mereka yang secara penuh dikembangkan dalam masyarakat barat yang modern) dengan kontras menganggap diri mereka sebagai subjek dan agen dari sejarah. mereka membuat diri mereka independen secara penuh, sama seperti mereka menyingkirkan Yang kudus, yang menjadi penghambat terhadap kebebasan mereka. Pribadi-pribadi modern secular dibentuk dengan mengosongkan diri mereka dari semua makna/arti religius dan transenden, dan dalam pengertian yang negatif ini, paling tidak mereka membawa yang religius dalam diri mereka. Bagi Eliade, konsep manusia religius ini melengkapi dasar untuk sebuah panggilan kepada sebuah bentuk baru dari antropologi filosofis dan sebuah humanisme baru. Dalam sebuah artikel dalam The Quest: History and Meaning in Religion, Eliade berpendapat bahwa studi perbandingan agama akan memainkan sebuah peran budaya yang semakin penting sebagaimana budaya-budaya yang berbeda menjadi lebih sadar terhadap satu sama lain, dan sebagaimana disebutkan bahwa manusia-manusia primitive menjadi subyek-subyek yang lebih aktif dalam sejarah. Yang kudus adalah suatu dimensi universal dan awal dari budaya itu sendiri yang diakarkan dalam kepercayaan dan pengalaman tersebut.

Penutup - Refleksi Kritis
Dalam diskusi-diskusi para filsuf agama tentang pengetahuan religius, mereka sering menegaskan peran utama dari pengalaman atau kesadaran spontan akan realitas transenden. Pendekatan ini banyak memberi sumbangan bagi para filsuf yang cenderung berpikir tentang agama sebagai sebuah pandangan dunia atau kepercayaan yang tersusun dalam proposisi-proposisi, yang tentu juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Schleier macher memberi sumbangan yang berharga terhadap studi agama. Misalnya, ia membuat pemisahan antara pemahaman religius dan intelektual serta kehendak manusia. Filsuf-filsuf yang lain mereduksi agama kepada pengalaman inti dan memberi penjelasan-penjelasan sosiologis dan psikologis yang dengan sewenang-wenang menolak atau mengabaikan referensi-referensi transenden dari pengalaman religius. Dalam beberapa kasus, pengalaman religius dialihkan lewat pewahyuan dalam cara-cara yang mempertahankan referensi transenden dari pengalaman religius dengan memindahkannya secara bersama dari bidang refleksi filosofis. Dalam konteks ini, metode fenomenologis mencoba menyusun perkiraan dan memberi keterangan-keterangan yang mendetail tentang kesadaran yang dipahami sebagai yang disengaja. Hal itu bisa dipahami sebagai sebuah sumbangan utama terhadap studi filsafat agama. Walaupun Husserl sendiri tidak melakukan banyak hal untuk menggunakan metode fenomenologi terhadap agama. Dia hanya menyediakan dasar-dasar untuk pengembangan sebuah pendekatan deskriptif terhadap kesengajaan dan kesadaran yang dengan beberapa modifikasi, ada dan berlanjut menjadi terapan terhadap kesadaran religius.
Harus diakui bahwa pendekatan fenomenologi memiliki peran yang penting dalam mengamati pengalaman religius bagi filsafat agama. Pentingnya pendekatan fenomenologi terhadap pengalaman religius bagi filsafat agama nyata dalam keterangan-keterangan yang kuat dan interpretasi-interpretasi yang disediakan oleh para fenomenologist. Pendekatan ini tentunya juga membangkitkan sejumlah pertanyaan. Misalnya, berkaitan dengan satu dari kekuatan dari pendekatan fenomenologis. yakni kemampuannya untuk menunjukkan apa yang tampak terhadap kualitas dari pengalaman religius, sikap-sikapnya yang mau menerima realitas transenden, yang dalam beberapa pengertian mewahyukan dan menghadirkan diri itu melampaui batas-batas imajinasi manusia dan makna proyeksinya. Yang berhubungan erat dengan pokok-pokok yang terkait dengan gambaran dimensi-dimensi transcendental adalah pertanyaan tentang kebenaran. Klaim kebenaran religius tidak dapat dipisahkan dari usaha-usaha untuk menunjukkan hubungan timbal balik antara religius dan dimensi-dimensi lain dari pengalaman, dan antara pengalaman religius dan kepercayaan serta realitas yang dimaksudkan. Dalam beberapa pengertian kepercayaan religius tampak menjadi bergantung pada penyingkapan realitas ilahi. Hal ini membangkitkan persoalan tertentu karena tuntutan-tuntutan kebenaran tersebut. Menggambarkan dan menginterpretasikan dimensi-dimensi transcendental dari pengalaman religius dapat memberikan suatu langkah penting dalam usaha untuk mengerti kepercayaan religius. Akan tetapi hal ini sendiri tidak memberikan suatu dasar yang memadai bagi tuntutan kebenaran.
Akhirnya, berdasarkan penjelasan fenomenologi di atas kita dapat mengerti bahwa berfilsafat ternyata tidak pertama-tama berarti memikirkan sesuatu, melainkan mengamati apa sesuatu yang menunjukkan diri. Fenomenologi merupakan seni untuk melihat apa yang sebenarnya, tapi umumnya tidak kita perhatikan.


Daftar Pustaka



Bertens, K.. Filsafat Barat Abad XX. Jakarta: Gramedia, 1981.

Delfgaauw, Bernard. Filsafat Abad 20. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana: Yogya, 1988.

Susanto, Hary, PS.. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta: Kanisius: 1995.