}

Sabtu, 05 Februari 2011

Konsep Tentang Eksistensi Allah Menurut Immanuel Kant


Konsep Tentang Eksistensi Allah
Menurut Immanuel Kant


Oleh Herri Kiswanto Sitohang



I. Pendahuluan
Pergumulan mengenai eksistensi Allah merupakan suatu pembahasan yang selalu menarik dan sekaligus menantang. Sebab pergumulan mengenai eksistensi Allah ini sering kali dihadapkan atau dipertentangkan dengan berbagai sudut pandang atau perspektif. Misalnya, eksistensi Allah dipertentangkan dengan realitas adanya kejahatan di dunia. Bahkan disebutkan bahwa salah satu sebab terdalam munculnya sikap pengingkaran terhadap eksistensi Allah (ateisme) adalah karena adanya kejahatan di dunia. Rumusan sanggahan yang dilontarkan oleh para ateis adalah “kejahatan ada maka Allah tidak ada.” Pernyataan ini dikonfrontasikan dengan pemikiran yang memuat gagasan tentang Allah sebagai Ada Yang Tak terhingga Baiknya dan Maha Kuasa. Logikanya adalah apabila Allah adalah Ada yang baik, maka Ia tidak boleh mengijinkan munculnya kejahatan. Dan, apabila Allah adalah Ada yang Maha Kuasa, maka seharusnya Ia harus dapat menghalangi munculnya kejahatan. Di sini tampak jelas sekali bahwa realitas kejahatan dijadikan sebagai sarana (sudut pandang atau perspektif) untuk mempertanyakan dan bahkan meragukan eksistensi Allah.
Pertanyaan yang mendasari seluruh pergumulan tersebut adalah “apakah eksistensi Allah sungguh ada?” Pembahasan ini sudah menjadi bahan diskusi para filsuf sejak dulu hingga sekarang, namun tetap saja tidak mampu memberikan suatu respon maupun jawaban yang tuntas dan selesai. Pernyataan “tidak mampu memberikan suatu respon maupun jawaban yang tuntas dan selesai” memaksudkan tiadanya satu jawaban yang menjadi jawaban bersama. Atau dispekati sebagai jawaban akhir dari persoalan mengenai eksistensi Allah itu sendiri. Selalu saja memiliki ruang untuk didiskusikan dan menuangkan ide-ide baru. Hal itu nampak jelas dalam berbagai tanggapan maupun pemikiran yang dirumuskan oleh para filsuf. Salah satu filsuf yang mencoba menggagas tentang eksistensi Allah adalah Immanuel Kant. Secara implisit, Immanuel Kant sesungguhnya mengakui eksistensi Allah. Bagaimana hal itu digagas? Hal itulah yang akan digumuli oleh penulis lewat paper ini.
Gagasan Immanuel Kant tentang eksistensi Allah tercetus lewat pemikirannya dalam “kririk budi praktis.” Hal yang pasti adalah bahwa dia sesungguhnya secara implisit mengakui eksistensi Allah. Gagasannya tentang eksistensi Allah tersebut tercetus dalam pemikirannya tentang moralitas. Dengan demikian, kita hanya dapat merumuskan konsep tentang eksistensi Allah menurut Immanuel Kant dengan berusaha terlebih dahulu mensistematisasi pemikirannya tentang moral.

II. Gagasan Moralitas Immanuel Kant
Immanuel Kant adalah seorang filsuf besar yang pernah tampil dalam pentas pemikiran filosofis pada zaman pencerahan Jerman menjelang akhir abad ke-18. Ia memiliki pemikiran yang cemerlang dan berpengaruh pada zaman modern ini. Pemikirannya tampil sebagai suatu usaha untuk membela kepastian ilmu, tata kesusilaan (moral), dan keagamaan dengan mengajukan persoalan kritis mengenai kekuatan akal manusia dan syarat-syarat kemungkinan pengetahuan pada umumnya. Hal itulah yang tertuang dalam pemikiranya tentang “Kritik der reinen Vernunft (1788) dan Kritik der praktische Vernunft (1788).” Persoalan kritis ini berpangkal dari gagalnya rasioalisme dan empirisme dalam menjelaskan sifat-sifat obyektif, pasti dan umum dari ilmu pengetahuan. Kritik Kant ini melahirkan suatu arah baru dalam pemikiran filsafat dan sangat mempengaruhi semua aliran yang menyusul Kant; begitu pula pendapatnya tentang kesusilaan dan hukum.
Pada prinsipnya, pergumulan moral adalah pergumulan tentang tindakan manusia. Tentu yang dimaksud adalah tindakan manusia sebagai manusia. Pengertian ini secara tegas mengungkapkan esensi dari moral. Moralitas pertama-tama adalah mengurusi perkara tindakan manusia sejauh manusia secara keseluruhan dan bukan hewan. pernyataan “tindakan manusia sebagai manusia” hendak mengungkapkan bahwa pada prinsipnya manusia memiliki karakter-karakter tindakan yang khas manusiawi. Karakter-karakter yang khas manusiawi tersebut serentak menyiratkan suatu pembedaan yang tegas antara tindakan manusia dan hewan.
Penjelajahan selanjutnya adalah bagaimana Kant memahami gagasan moralitas ini. Pertanyaan yang dapat dilontarkan adalah, apakah “tindakan manusia sebagai manusia” itu dalam pemikiran Kant? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan merujuk pada pemikirannya tentang Kritik der praktische Vernunft. Persoalan mendasar yang dibicarakan di dalam Kritik der praktische Vernunft adalah berkaitan dengan pertanyaan: “apa yang seharusnya atau dapat saya lakukan?” Kant menjawab pertanyaan tersebut dengan berusaha mencari satu dasar dari setiap perbuatan manusia dan menguji secara kritis apakah dasar tersebut berlaku untuk semua orang dan merupakan sesuatu yang harus ada. Kant kemudian merumuskan apa yang menjadi dasar dari hukum budi praktis yakni: “berbuatlah sedemikian rupa sehingga prinsip kehendakmu setiap saat dapat berlaku sebagai prinsip penetapan undang-undang yang berlaku umum”
Dari dasar hukum budi praktis ini secara jelas terungkap bahwa apa yang merupakan tindakan manusia sebagai manusia adalah segala tindakan yang baik dari dirinya sendiri (an sich). Sebab memang setiap prinsip penetapan undang-undang yang berlaku umum haruslah mampu mengakomodasi kebaikan umum (common good). Namun pertanyaan selanjutnya adalah apa itu baik dalam arti ini? Jelas bahwa dalam arti ini, baik adalah bukan “itu” yang semata-mata mampu memberikan kepuasan, kenikmatan atau kebahagiaan. Sebab, apabila kebaikan atau baik dipahami sebagai demikian, maka konsep kebaikan atau baik jatuh pada suatu pilihan. Artinya, kebaikan atau baik itu adalah pilihan. Dengan demikian, kebaikan akan jatuh pada subyektivisme, yang menimbulkan adanya kemungkinan untuk berbuat baik dengan disertai kepentingan-kepentingan terselubung pribadi tertentu yang sifatnya buruk (vested interest). Akan tetapi, kebaikan atau baik adalah suatu keniscayaan. Bukan pilihan, melainkan merupakan “itu yang wajib” kamu lakukan. Bagi Kant, kebaikan atau baik itu bersifat imperatif kategoris. Imperatif kategoris ini tidak berhubungan dengan suatu tujuan yang mau dicapai. Sifat dari imperatif kategoris adalah formal, artinya hanya merumuskan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh perbuatan mana pun juga agar dapat memperoleh nilai moral yang baik, terlepas dari tujuan materialnya. Menurut Kant, tidak mungkinlah budi praktis mewajibkan kita melakukan sesuatu yang tidak bisa kita lakukan. Moralitas pada dirinya sendiri sudah merupakan suatu praksis dalam pengertian obyektif, yakni sebagai keseluruhan hukum-hukum yang bersifat mengikat tanpa syarat dan yang seharusnya kita jadikan acuan ketika bertindak. Imperatif kategoris inilah yang dipandang Kant sebagai azas kesusilaan yang transendental.

III. Eksistensi Allah Menurut Immanuel Kant
Berangkat dari gagasan moralitas yang berusaha mencari satu dasar dari setiap perbuatan manusia dan menguji secara kritis apakah dasar tersebut berlaku untuk semua orang dan merupakan sesuatu yang harus ada. Dan kemudian merumuskan apa yang menjadi dasar dari hukum budi praktis yakni: “berbuatlah sedemikian rupa sehingga prinsip kehendakmu setiap saat dapat berlaku sebagai prinsip penetapan undang-undang yang berlaku umum.” Maka, pertanyaan selanjutnya adalah, “untuk apa saya melakukan perbuatan moral tersebut?” Pertanyaan ini dijawab oleh Kant dengan pertama-tama menegaskan pentingnya penetapan “kebaikan tertinggi” sebagai obyek atau tujuan dari perbuatan praktis. Kebaikan tertinggi adalah obyek bayangan yang secara praktis dan perlu untuk memenangkan satu perbuatan yang berarti. Kebaikan tertinggi inilah yang menjadi tujuan akhir yang mau dicapai lewat perbuatan baik manusia dan menjamin arah dari perbuatan baiknya itu sendiri. Dua elemen yang khas dari kebaikan tertinggi adalah kebajikan dan kebahagiaan. Oleh karena itu, tampillah pengandaian (postulat) tentang kebaikan tertinggi. Postulat berarti kalimat teoritis yang isinya tidak dapat dibuktikan, tapi berperan sebagai hukum praktis.
Dengan demikian tampaklah bahwa menurut Kant, eksistensi Allah diandaikan sebagai satu Kebaikan Tertinggi yang otonom dan satu hakikat moral yang suci dan sempurna. Allah dibayangkan sebagai dasar penghubung antara kebajikan dan kebahagiaan.
Menurut Kant, di dunia ini kebaikan tertinggi itu tidak akan pernah terealisasi secara seratus persen sempurna sebab adanya kejahatan. Kendati demikian, tujuan itu wajib dikejar oleh setiap perbuatan manusia. Maka, haruslah ada seorang pribadi yang maha adil, yang daripadanya datang sanksi bagi orang jahat dan ganjaran kebahagiaan sempurna bagi orang baik. Kebahagiaan duniawi yang tidak sempurna, yakni terpenuhinya segala kepuasan manusia di bidang empiris, bisa diciptakan oleh manusia di dunia ini. Namun, hanya Allah yang bisa menciptakan kebahagiaan sempurna dan menyediakannya bagi manusia yang baik di alam sana.

IV. Relevansi
Pemahaman tentang konsep eksistensi Allah menurut Immanuel Kant ini seolah membangunkan manusia dari tidurnya. Khususnya manusia yang selama ini merasa nyaman dengan prinsipnya. Yakni prinsip yang secara tegas tidak mau mengakui adanya eksistensi Allah di dunia ini. Dengan demikian, mereka menjadikan dirinya sendiri sebagai “allah”. Konsekuensinya adalah bahwa “allah” yang diyakininya itu sesungguhnya adalah “allah” yang terbatas dan lemah bahkan rentan. Hal itu menunjuk pada kenyataan akan eksistensi kodrati manusia yang memang jauh dari kesempurnaan.
Dengan memahami konsep eksistensi Allah menurut Immanuel Kant ini, manusia sesungguhnya dibawa kepada kesadaran bahwa Allah itu tidak jauh di sana (di alam baka). Melainkan dekat di sini dan dapat dikenali lewat hal-hal yang sederhana dalam hidup ini. Salah satunya adalah dengan cara pengandaian akan adanya “Kebaikan Tertiggi.” Tentu, pengandaian ini bukanlah suatu pengandaian kosong, yang hanya sebatas imajinasi. Akan tetapi, pengandaian ini serentak membawa manusia kepada eksistensi “Kebaikan Tertingi” itu sendiri. Sebab, dengan adanya pengandaian ini, maka manusia juga dituntut untuk berlaku baik dan bersahaja di dunia ini. Dan apabila manusia mampu berlaku baik dan bersahaja seperti yang digagas oleh Kant, maka dunia ini sesungguhnya adalah dunia yang sungguh menampilkan “kerajaan Allah”. Dan Allah sendiri adalah Rajanya. Dengan demikian terciptalah dunia yang dipimpin oleh Sang Kebaikan Tertinggi itu sendiri.

Daftar Pustaka
Driyarkara. Karya Lengkap Driyarkara. Yogyakarta: Kanisius, 2006

Kant, Immanuel. Menuju Perdamaian Abadi Sebuah Konsepsi Filosofis (terj.). Bandung: Mizan, 2005

Kelen, Sermada, Donatus. Filsafat Ketuhanan (diktat kuliah). Malang: STFT Widya Sasana, 2006 kuliah)

Thahyadi, S.P. Lili. Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika dan Imperatif Kategoris. Yogyakarta: Kanisius, 1991

Tidak ada komentar: