}

Kamis, 04 Juli 2013

Memahami Religiusitas (Dalam Charles Taylor dan Madhayama Pratipad Buddhisme)







Oleh Herri Kiswanto Sitohang
NIM: 1201013

Religiusitas merupakan suatu cetusan nilai-nilai luhur yang dihidupi dan dihayati oleh manusia secara serius dalam hidupnya. Ungakapan secara serius memaksudkan kualitas manusia yang sungguh mau melibatkan dan memadukan seluruh kemampuan manusiawinya secara holistik, baik kemampuan merasa maupun kemampuan berpikirnya. Tanpa memisahkan dan mengesampingkan salah satu diantaranya. Nilai-nilai luhur tersebut diperoleh lewat ajaran-ajaran agama maupun kearifan-kearifan budaya yang melingkupinya dan tercetus dalam berbagai bentuk sikap maupun tindakan hidup kesehariannya. Dengan demikian, eksistensi manusia tampil sebagai pribadi yang sungguh-sungguh manusiawi dan sekaligus ilahi. Cetusan nilai-nilai luhur tersebut serentak memengaruhi pola hidup dan interaksinya dengan dirinya sendiri (kemampuan refleksif) maupun interaksinya dengan orang lain (kemampuan aktualitatif).
Tema religiusitas menjadi suatu tema yang urgent untuk digali dan dibahas di tengah dunia sekuler dewasa ini. Dunia sekuler dewasa ini menawarkan aneka kemungkinan yang membuat manusia terlena dan hanyut dalam arus globalisasi yang sering kali mengabaikan nilai-nilai religius maupun nilai-nilai luhur kebudayaannya sendiri. Nilai-nilai religius dan kearifan-kearifan budaya menjadi seolah-olah tidak penting karena pola pikir manusia yang egoistik dan individualistik. Oleh karena itu, segala sesuatu dimaknai sebagai produk akal budi manusia semata tanpa melihat adanya keterlibatan nilai-nilai religius dan nilai-nilai budaya serta proses penyelenggaran Ilahi di dalamnya.Sikap semacam ini bahkan merasuk ke dalam pribadi-pribadi yang beragama. Dengan demikian tampak bahwa memeluk agama tidak menjadi ukuran untuk melihat kedalaman penghayatan nilai-nilai religius. Hal itulah yang sedang terjadi di dunia barat dan sudah mulai merebak hingga ke dunia timur pada zaman ini. Di tengah situasi dunia yang demikian peliknya, masih adakah ruang untuk berbicara tentang religiusitas?
Dalam kamus tesaurus bahasa Indonesia diartikan bahwa religiusitas adalah kesalehan.[1] Dari pengertian ini tampak jelas bahwa religiusitas bukan hanya menyentuh soal kemampuan akal budi melainkan juga kemampuan rasa yang secara bersamaan teraktualisasi dalam penghayatan hidup sehari-hari. Religiusitas sebagai kesalehan tidak membataskan diri hanya pada tindakan-tindakan kontemplatif, yakni cara berdoa dan bermeditasi dengan segala aspek yang menyertainya. Melainkan juga meliputi tindakan aktif, yakni cara berpikir dan bertindak yang baik dan benar. Oleh karena itu, religiusitas dapat dikatakan sebagai penggabungan antara kontemplasi dan aksi.
Pembahasan mengenai hal inilah yang akan digali dalam tulisan ini. Tulisan ini mencoba menggali pemahaman mengenai religiusitas dari dua perspektif, yakni perspektif dunia Barat dan dunia Timur. Perspekstif dunia Barat diwakili oleh pemikiran Charles Taylor dan perspektif dunia timur diwakili oleh pemikiran tentang Madhayama Pratipad dalam Buddhisme.

Religiusitas Dalam Charles Taylor dan Madhayama Pratipad Buddhisme
Religiusitas memiliki aspek relasional antara pribadi manusia dengan nilai-nilai luhur yang melingkupinya. Relasi ini saling melengkapi satu sama lain. Pribadi manusia tanpa nilai-nilai luhur yang melingkupinya akan kehilangan maknanya. Sebaliknya, nilai-nilailuhur tanpa pribadi manusia yang menghidupinya akan menghasilkan nihilisme. Dan pada saat yang sama, nilai-nilai luhur itu sesungguhnya adalah produk dari manusia itu sendiri. Dua aspek ini ibarat dua sisi mata uang. Inilah yang menjadi salah satu produk unggulan manusia sebagai manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Religiusistas disebut sebagai produk unggulan karena menyentuh aspek esensial dari manusia yakni kemampuan berpikir dan kemampuan merasa yang teraktualisasi secara bersamaan lewat sikap dan tindakan hidup manusia. Semuanyaitu terkristalisasi di dalam nilai-nilai luhur yang dipahami secara transendental.
Religiusitas dalam pemikiran Charles Taylor dan Madhayama Patipad Buddhisme tidak muncul begitu saja. Pemikiran ini lahir melalui proses pergumulan yang serius. Tujuannya tidak lain adalah untuk kebaikan manusia dan menciptakan dunia yang sangat bernilai. Dua bentuk pemikiran ini memiliki intensi yang sama yakni agar manusia semakin menyadari eksistensinya sebagai makhluk yang lebih unggul dan luhur dibandingkan makhluk lain.

Religiusitas Dalam Charles Taylor
Charles Taylor merupakan salah satu filosof yang memiliki pemikiran brilian berkaitan dengan tema-tema yang menyentuh persoalan manusia pada abad ini. Berdasarkan pemikirannya, Charles Taylor dapat juga disebut sebagai seorang filosof yang religius. Dia menghasilkan banyak publikasi yang menjadi bahan inspirasi banyak orang dewasa ini. Salah satu publikasinya yang sangat terkenal adalah A Secular Age. Di dalam publikasi inilah, Charles Taylor menuangkan pemikirannya mengenai religiusitas, sekalipun tema tersebut tidak secara eksplisit diungkapkan. Bahkan kata religiousity tidak ditemukan dalam karyanya ini, kecuali kata religious. Akan tetapi, pembahasan mengenai religiusitas tidak terbatas hanya menunjuk pada kata religiousatau religiousity, tapi terungkap lewat kata atau pernyataan lain yang mengandung makna religiusitas itu sendiri. Kata kunci yang menjadi rujukan pembahasan mengenai religiusitas berdasarkan karyanya yang berjudul A Secular Ageini adalah Sense of Fullness (cita rasa kepenuhan dan kedalaman).
Pada bagian pengantar buku ini, Charles Taylor mengungkapkan bahwa:“...the sense of fullness came in an experience which unsettles and breaks through our ordinary sense of being in the world...”[2] Pernyataan ini secara jelas menegaskan bahwa cita rasa kepenuhan dan kedalaman itu muncul dalam suatu pengalaman yang tidak diatur atau direncanakan dan cita rasa tersebut menembus batas pemahaman manusia biasa di dunia ini. Dengan demikian jelaslah bahwa cita rasa itu hanya mungkin dimiliki oleh “manusia-manusia yang luar biasa” atau dalam bahasa saya adalah manusia yang serius, yang sungguh-sungguh memadukan daya kemampuan rasional dan afektifnya (reflektif) secara transendental. Terminologi serius disini tidak hendak menunjuk pada ekspresi wajah yang berkerut, tapi menunjuk pada kualitas manusia yang holistik dan integral. Tentu, “manusia yang luar biasa” ini menjadi luar biasa bukan karena ia diciptakan Tuhan secara khusus dan berbeda dengan manusia lain. Melainkan karena ia mampu merefleksikan realitas hidupnya dengan memadukan kemampuan rasional dan refleksif secaratransendental. Hal ini sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh Charles Taylor sendiri yakni bahwa “...sense of fullness is a reflection of transcendent reality (which for me is the God of Abraham),...”[3]Perpaduan kemampuan rasional dan refleksif ini memaksudkan aktivitas budi manusia yang mengeksplorasi keluhuran martabatnya dan keluhuran hidup bersamanya. Yang dihidupi dan diperjuangkan adalah pencarian kedalaman dan kebenaran. Dari penjelasan ini jelaslah bahwa “manusia luar biasa” adalah manusia yang sama dalam hal eksistensi dengan manusia lain. Ia juga adalah manusia yang terbatas dan tidak sempurna. Akan tetapi, melalui keterbatasannya itu ia mampu mengatasi dan melampaui pemahaman kedangkalan dan kenaifan manusia biasa pada umumnya.Kemampuan inilah yang membuatnya menjadi pribadi yang luar biasa dan berbeda dengan pribadi lain. Ia mampu memahami dan mengahayati nilai-nilai luhur yang melingkupi hidupnya secara transendental.
Pengalaman sense of fullness ini tidak semata-mata merupakan hasil karya manusia, melainkan datang dari Tuhan sendiri. Charles Taylor menyatakan bahwa “...experiencing fullness as a gift from God...”[4] Sehingga, pengalaman sense of fullness pada saat yang sama hendak menunjukkan keterbatasan manusia di satu pihak dan keagungan Tuhan di lain pihak.[5]Akan tetapi, manusia yang memiliki kualitas sense of fullness ini bukanlah “manusia setengah dewa,” melainkan manusia yang religius. Seorang manusia yang religius adalah pribadi yang terdiri atas realitas diri dan lingkungan hidup yang terbatas serta terkadang berhadapan dengan situasi hidup yang tidak selalu sesuai dengan apa yang diinginkannya, namun penghayatan hidupnya selalu terarah kepada dimensi transendental, yakni Tuhan.Oleh karena itu, sense of fullness ini dapat juga dimengerti sebagai suatu kualitas diri.Keterahan diri pada dimensi transendetal inilah yang kemudian menjadi aspek penting dalam usaha menciptakan suatu societas atau dunia yang sangat bernilai (worthwhile).[6]
Penjelasan di atas tampak secara jelas mengungkapkan bahwa bagi Charles Taylor religiusitas selalu terkait dengan sense of fullness. Bahkan sense of fullnes adalah religiusitas itu sendiri. Cita rasa kepenuhan ini merupakan suatu elemen dasar untuk membuat hidup manusia itu menjadi sangat bernilai. Hidup manusia menjadi sangat bernilai karena sense of fullness dalam dirinya sendiri memiliki unsur redemptif (penebusan, menyelamatkan, membebaskan).[7] Charles Taylor menunjuk kepada dimensi pribadi Yesus yang manusiawi sebagai contoh yang paling konkrit dalam sejarah kehidupan Kristiani dan pribadi Budha dalam Buddhisme mengenai sense of fulness ini. Charles Taylor menegaskan “The Buddha achieves Enlightenment; Christ consents to a degrading death to follow his father’s will.”[8] Dua tokoh besar ini menjadi contoh yang sangat representatif karena dalam dirinya sendiri sebagai manusia, mereka memancarkan cahaya penebusan atau pencerahan sekalipun hidup di tengah dunia yang carut marut. Mereka menampilkan dimensi transendental lewat seluruh pengalaman manusiawi mereka.[9] Tentu, contoh ini tidak serta merta hendak menyatakan bahwa dua tokoh besar ini adalah sama dan sederajat. Yang hendak ditekankan dalam hal ini adalah bahwa kedua tokoh ini sama-sama memiliki dimensi sense of fullness sebagai manusia di tengah realitas kehidupan yang profan dan penuh kedosaan ini. Religiusitas atau sense of fullness adalah pengalaman yang menyelamatkan dan membebaskan dari situasi hidup yang profan dan penuh kedosaan serta penuh ketidakpastian ini.[10]

Religiusitas Dalam Madhayama Pratipad Buddhisme
Pembahasan mengenai Madhayama Pratipad merupakan suatu pembahasan yang menyentuh persoalan manusia. Pemahaman dasarnya adalah bahwa manusia itu terbatas dan karena itu mengalami banyak penderitaan dalam hidupnya. Penderitaan itu muncul karena keterbatasan dan kedangkalan manusia dalam memahami dan menghidupi hidup kesehariaannya. Poin yang hendak ditonjolkan dalam pembahasan mengenai Madhayama Pratipad ini adalah bahwa penderitaan itu mestinya dapat dihindarkan dalam hidup manusia, sekalipun manusia itu adalah makhluk yang terbatas. Melalui perpaduan instrumen kodratif yang dimiliki, yakni perpaduan kemampuan rasio dan kemampuan afektif/refleksif yang senantiasa terarah pada dimensi transendental dalam pelaksanaannya, manusia mampu mengatasi penderitaan dalam hidupnya.Dalampelaksanaan dan penghayatan konkritnya, fungsi instrumen-instrumen tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain, melainkansaling melengkapi dan mendukung satu sama lain. Dan pada saat bersamaan, instrumen kodratif yang dimiliki oleh manusia itu sesungguhnya akan mampu menghantarnya menjadi manusia religius, yakni seorang pribadi terbatas yang hidupnya selalu terarah pada dimensi-dimensi transendental. Perpaduan instrumen kodratif secara transendental inilah yang menjadi jawaban terhadap penanggulan penderitaan dalam hidup manusia. Sebab memang penderitaan dalam hidup manusia sering kali diakibatkan karena kesalahan dan melemahnya fungsi instrumen kodratif manusiawi itu sendiri.  
Madhayama Pratipad adalah delapan jalan mulia untuk menghentikan putaran penderitaan dalam kepercayaan Buddhisme.[11]Delapan jalan mulia tersebut adalah: samyak drsti (pengertian yang benar), samyak samkala (pikiran yang benar), samyak Vak (pembicaraan yang benar), samyak Karmanta (tindakan yang benar), samyak Ajiva (mata pencaharian yang benar), samyak Vyayama (usaha diri yang benar), samyak Smrti (pemusatan pikiran yang benar), dan  samyak Samadhi (keheningan dalam konsentrasi yang benar).[12]Delapan jalan mulia ini menunjukkan satu jalan praktis untuk menghilangkan ketidaktahuan dan hasrat yang menjadi penyebab dari penderitaan dalam hidup manusia.[13] Pokok utama jalan ini adalah pengolahan kebijaksanaan, tingkah laku moral dan disiplin mental yang diperlukan untuk menghilangkan penderitaan dengan berbagai aspek yang menyertainya. Kedelapan jalan kebenaran dalam Buddhisme ini bertujuan untuk mencapai suatu hidup yang penuh integratif dalam tingkat tertinggi. Dalam bahasanya Charles taylor, hidup yang penuh integratif dalam tingkat tertinggi ini disebut sebagai hidup yang sangat bernilai (worthwhile).
Pembahasan selanjutnya adalah apa yang dimaksud dengan delapan jalan mulia itu. Berikut ini adalah penjelasan singkat mengenai pemahaman tentang delapan jalan mulia dalam tradisi Buddhisme. Pertama, pengertian yang benar. Pengertian yang benar memaksudkan agar manusia hendaknya tahu mengenai apa itu penderitaan, apa yang menjadi sebab penderitaan, jalan menghilangkan penderitaan, dan bagaimana keadaan ketika penderitaan itu  dapat diatasi. Kedua, pemikiran yang benar. Pemikiran yang benar artinya adalah bahwa setelah memahami itu semua aspek yang dijelaskan dalam pengertian yang benar di atas, maka manusia hendaknya mengarahkan kehendak dan akal budinya untuk menghayati semuanya itu secara lebih mendalam. Ketiga, pembicaraan yang benar. Pembicaraan yang benar memaksudkan agar manusia menjauhkan dirinya dari perkataan dusta, menipu, memfitnah, memaki dan beromong kosong. Keempat, tindakan yang benar. Tindakan yang benar memaksudkan agar manusia menjauhkan diri dari perbuatan yang membuat hidup orang menderita, membunuh, mencuri dan berbuat cabul maupun berzinah. Kelima, mata pencaharian yang benar. Mata pencaharian yang benar ini menuntut agar manusia mampu menghidupi dirinya dengan mencari pekerjaan yang tidak merugikan orang lain. Keenam, usaha diri yang benar. Usaha diri yang benar identik dengan ulah batin. Manusia hendaknya berusaha menjauhkan pikiran dan maksud jahat dalam pikirannya. Manusia harusnya memusatkan daya batinnya untuk memunculkan segala pikiran baik dan memelihara pikiran tersebut. Ketujuh, pemusatan pikiran yang benar. Pemusatan pikiran yang benar menuntut agar manusia memusatkan daya batin pada badannya serta membuat badannya mengatasi segala kecenderungan badani maupun kelesuan badani. Kedelapan, keheningan dalam konsentrasi yang benar. Jalan kebenaran yang kedelapan ini memaksdukan agar manusia mampu berkonsentrasi penuh dalam dirinya sehingga dia tidak terpengaruh oleh rangsangan nafsu dan pikiran jahat. Manusia mampu melepaskan pengaruh segala beban pikirannya dan selanjutnya ia masuk dalam kesadaran yang hening dan tenang. Pada akhirnya, manusia itupun akan mengalami kebahagiaan abadi.
Delapan jalan mulia inilah sesungguhnya yang dimaksudkan dengan religiusitas dalam tradisi Buddhisme. Religiusitas pertama-tama menyentuh persoalan cara bagaimana penghayatan hidup manusia dalam interaksinya dengan dirinya sendiri, lingkungan atau sesamanya dan dengan Realitas Yang Mengatasi kemanusiaannya. Delapan jalan mulia menampilkan semua dimensi tersebut. Ajaran Buddha ini secara implisit hendak menegaskan bahwa pribadi manusia yang terbatas memiliki dimensi-dimensi transendental yang mampu membuat hidup manusia menjadi lebih bernilai. Sebagaimana pengalaman Buddha yang mengalami pencerahan lewat jalan yang sama, demikian juga manusia sesungguhnya mampu mengalami pencerahan yang sama lewat delapan jalan mulia tersebut. Oleh karena itu, delapan jalan mulia yang diajarkan oleh Buddha ini mengarah pada tujuan yang luhur dan mulia yakni agar manusia memperoleh penebusan dan pembebasan maupun keselamatan atas keterbatasan manusiawi yang dimilikinya (redemptif).
  
Kesimpulan
Religiusitas dalam Charles Taylor dan Madhayama Pratipad Buddhisme sama-sama mengurusi pergumulan mengenai bagaimana manusia harus menjalani hidup kesehariaannya di dunia ini. Fakta bahwa manusia dan dunia ini penuh dengan keterbatasan dengan segala dimensi yang menyertainya tidak menjadi alasan untuk membuat manusia itu tidak dapat berbuat apa-apa dalam mengatasi keterbatasannya. Manusia dilengkapi dengan akal budi dan kehendak sebagai instrumen kodratif untuk mengatasi kedangkalan pemahaman yang seringkali mengakibatkan persoalan dalam hidupnya. Namun penting bagi manusia tersebut untuk mampu memadukan instrumen-instrumen tersebut tanpa melepaskan salah satu diantaranya. Manusia diajak untuk mampu melihat realitas kehidupan manusia yang terbatas dengan berbagai aspeknya ini secara transenden. Religiusitas mengarahkan manusia untuk memahami realitas hidupnya dengan keterarahan pada Realitas Yang Mengatasi hidup manusia itu sendiri.
Dalam dunia sekuler dewasa ini, Charles Taylor maupun pemikiran tentang Madhayama Pratipad Buddhisme menawarkan bentuk penghayatan hidup yang bersifat realistis sekaligus transenden untuk menjawabi gaya dan pola hidup yang rasionalistis dan individualistis. Tujuan dari dua pemikiran ini adalah untuk menciptakan dunia yang sangat bernilai bagi manusia. Di dalam dua pemikiran ini, manusia dilihat sebagai pribadi yang dinamis dalam dirinya sendiri untuk mengatasi keterbatasannya. Manusia dituntut untuk selalu mengarahkan seluruh diri pada aspek-aspek transendental dalam melihat dan memahami realitas hidup kesehariannya. Dalam usaha melihat dan memahami realitas hidup keseharian manusia tersebut dibutuhkan cara pandang manusiawi yang sekaligus ilahi.
Pergumuluan mengenai religiusitas di dalam pemikiran Charles Taylor dan Madhayama Pratipad Buddhisme ini hendak menegaskan bahwa manusia itu memiliki dimensi ilahi dalam dirinya. Dimensi ilahi itulah yang memampukan manusia untuk memahami realitas hidupnya secara lebih luhur dan mulia (secara transendental).Ini adalah suatu anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia. Akan tetapi, anugerah tersebut menuntut usaha dan tanggapan yang tiada henti dari manusia. Sebab apabila manusia tidak mengusahakan dan menanggapi anugerah tersebut, maka manusia itu akan jatuh dalam kedangkalan dan hanya menonjolkan sisi manusiawinya semata. Hal itulah yang seringkali mengakibatkan manusia menjadi pribadi yang sombong dengan rasionalitasnya dan juga menjadi individualistik. Hanya dengan usaha dan tanggapan yang serius dari manusia, maka anugerah dimensi ilahi dalam diri manusia itu akan menghasilkan anugerah penebusan, keselamatan dan pembebasan atas keterbatasan manusia itu sendiri (redemptif). Hanya dengan demikian, manusia pun akan mampu menjadi aktor dan aktris yang membuat dunia ini menjadi sangat bernilai untuk dirinya dan sesamanya.




DAFTAR PUSTAKA

Endarmoko Eko.Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia, 2007.
Koller M John. Filsafat Asia (terj. Donatus Sermada). Maumere: Ledalero, 2010.
Reksosusilo S. Sejarah Filsafat Timur. Malang: Pusat Publikasi Filsafat Teologi Widya Sasana, 2008.
Riyanto Armada E. Berfilsafat Politik. Yogyakarta: Kanisius, 2011.
----------------------  Dialog Interreligius.Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Taylor Charles.A Secular Age. USA: The Belknap Press of Harvard University Press, 2007.




[1] Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2007, hlm. 519
[2]Charles Taylor, A Secular Age, USA: The Belknap Press of Harvard University Press, 2007, hlm. 5
[3]Ibid. Hlm. 769
[4]Op.Cit. hlm. 26
[5]Prof. Dr. E. Armada Riyanto, CM, Berfilsafat Politik, Yogyakarta: Kanisius, 2011, hlm. 44
[6]Ibid. hlm. 43
[7]Ibid. hlm. 151
[8]Op.Cit. hlm. 17
[9]Bdk. Prof. Dr. E. Armada Riyanto, CM., Dialog Interreligius, Yogyakarta: Kanisius, 2010, hlm. 265
[10]Op.Cit.
[11]Dr. S. Reksosusilo, CM., Sejarah Filsafat Timur, Malang: Pusat Publikasi Filsafat Teologi Widya Sasana, 2008,  hlm. 28
[12]Ibid.
[13]John M. Koller, Filsafat Asia (terj. Donatus Sermada), Maumere: Ledalero, 2010, hlm. 322