Remaja dan Perilaku Konsumtif
Oleh: Herri Kiswanto Sitohang
Seiring dengan terjadinya perubahan perekonomian dan globalisasi, terjadi pula perubahan dalam perilaku membeli pada masyarakat. Terkadang seseorang membeli sesuatu bukan didasari pada kebutuhan yang sebenarnya. Perilaku membeli yang tidak sesuai kebutuhan dilakukan semata-mata demi kesenangan, sehingga menyebabkan seseorang menjadi boros. Perilaku ini dikenal dengan istilah perilaku konsumtif. Perilaku ini dapat terjadi pada setiap orang termasuk kaum remaja. Kata “konsumtif” (sebagai kata sifat; lihat akhiran –if) sering diartikan sama dengan kata “konsumerisme”. Padahal kata yang terakhir ini mengacu pada segala sesuatu yang berhubungan dengan konsumen. Sedangkan konsumtif lebih khusus menjelaskan keinginan untuk mengkonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan yang maksimal. Memang belum ada definisi yang memuaskan tentang kata konsumtif ini. Namun konsumtif biasanya digunakan untuk menunjuk pada perilaku konsumen yang memanfaatkan nilai uang lebih besar dari nilai produksinya untuk barang dan jasa yang bukan menjadi kebutuhan pokok. Misalnya sebagai ilustrasi, seorang remaja memiliki 200 ribu rupiah. Kemudian ia membelanjakan 100 ribu rupiah dalam waktu tertentu untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sisa 100 ribu ia belanjakan untuk sepasang sepatu karena sepatu yang dimilikinya untuk ke sekolah sudah rusak. Dalam hal ini orang tadi belum disebut berperilaku konsumtif. Tapi apabila ia belanjakan untuk sepatu yang sebenarnya tidak ia butuhkan (apalagi ia membeli sepatu seharga Rp.200.000), maka ia dapat disebut berperilaku konsumtif.
Perilaku konsumtif kaum remaja
Perilaku konsumtif dewasa ini menjadi bagian kehidupan masyarakat, khususnya dalam dunia kaum remaja. Pusat perbelanjaan atau mal-mal yang tumbuh pesat menawarkan berbagai fasilitas lengkap, nyaman, dan serba praktis memanjakan masyarakat, termasuk para remaja.
Menjumpai kaum remaja di mal-mal atau tempat perbelanjaan lainnya sekarang ini bukanlah masalah sulit. Mal kini bukan sekadar tujuan orang berbelanja, namun sarat dengan arena fasilitas hiburan, bahkan menjadi sarana alternatif pengisi waktu luang di kalangan remaja untuk sekadar "cuci mata", nongkrong dan ngerumpi. Suguhan yang ditawarkan di mal berupa mode fashion, aneka kuliner, aksesori, dan berbagai hiburan cukup menggoda hati setiap pengunjung , khususnya kaum remaja.
Di kalangan remaja yang memiliki orang tua dengan kelas ekonomi yang cukup berada, terutama di kota-kota besar, mall sudah menjadi rumah kedua. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka juga dapat mengikuti mode yang sedang beredar. Padahal mode itu sendiri selalu berubah sehingga para remaja tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Alhasil, muncullah perilaku yang konsumtif.
Situasi dan kondisi tersebut membawa pengaruh konsumtif bagi kaum remaja selaku pengunjung. Kaum remaja cenderung digiring menghabiskan uang sakunya untuk melampiaskan keinginannya. Rasa gengsi dan demi penampilan di hadapan rekan-rekannya, membuat mereka terbiasa saling mentraktir, mengadakan pesta ulang tahun atau hura-hura di mal atau kafe. Agar tampak lebih gaul, gaya hidup kaum remaja pun banyak mengadopsi model-model iklan atau pemain sinetron yang sedang tren, seperti model fashion, aksesori, telefon seluler, tato, tindik, dsb.
Perilaku konsumtif seperti itu sangat rentan bagi kaum remaja untuk terlibat dalam hal-hal negatif. Secara logika, perilaku konsumtif tanpa didukung dana memadai (uang saku) membuat remaja berusaha berbagai cara untuk memenuhi hasratnya. Kaum remaja tak segan masuk terlibat perbuatan kriminal seperti memalak, menipu dan mencuri. Sementara beberapa remaja putri, rela menyerahkan diri berbuat asusila demi materi untuk keperluan konsumtif dirinya. Gaya hidup seperti itu cukup dekat mengantarkan kaum remaja kepada geng pecandu narkoba dan geng-geng lainnya.
Perilaku konsumtif ini dapat terus mengakar di dalam gaya hidup kaum remaja. Dalam perkembangannya, mereka akan menjadi orang-orang dewasa dengan gaya hidup konsumtif. Gaya hidup konsumtif ini harus didukung oleh kekuatan finansial yang memadai. Masalah lebih besar akan terjadi apabila pencapaian tingkat finansial itu dilakukan dengan segala macam cara yang tidak sehat. Mulai dari pola bekerja yang berlebihan sampai menggunakan cara instan seperti korupsi. Pada akhirnya perilaku konsumtif bukan saja memiliki dampak ekonomi, tapi juga dampak psikologis, sosial dan bahkan etika.
Refleksi
Perilaku konsumtif kaum remaja dewasa ini merupakan suatu keprihatinan yang perlu kita atasi bersama. Baik secara pribadi maupun kelompok. Dalam kaitannya dengan gereja, kaum remaja adalah bunga-bunga gereja yang masih butuh perhatian dan “perawatan” yang intensif agar mereka dapat bertumbuh dengan baik dan subur. Kaum remaja adalah masa depan gereja di masa yang akan datang. Kalau situasi remaja kita sudah tercemar dengan perilaku konsumtif, bagaimana dengan situasi gereja, masyarakat maupun bangsa kita di masa yang akan datang? Perlu perhatian dan penanganan yang serius!
Orang tua merupakan orang kunci yang sangat memiliki peran penting dalam memberi perhatian, perawatan dan pertumbuhan bagi kaum remaja. Disamping adanya instansi-instansi terkait yang juga memiliki andil yang sama, misalnya sekolah, gereja, dan lingkungan sekitar. Dalam hal ini, orang tua dituntut untuk sungguh-sungguh meningkatkan “sense of belonging” terhadap putra/putrinya yang beranjak remaja. Artinya adalah bahwa sebagai orang tua, orang tua harus menyediakan waktu yang intens untuk mereka, tanpa harus membatasi ruang lingkup mereka. Melihat, memantau dan memperhatikan ruang gerak mereka. Sejauh mana mereka sudah berkembang! Kaum remaja perlu dibatasi dalam bertindak. Remaja perlu dididik secara displin. Ego mereka jangan dibiarkan bertindak tanpa batasan eksternal, sebelum mengenal sepenuhnya visi hidup. Pada umumnya, remaja berada pada tahap perkembangan mental dan interlektual yang belum sempurna. Mereka biasanya belum memiliki orientasi hidup karena mereka masih mencari jati diri. Mereka perlu belajar untuk dapat berfungsi dengan baik dalam masyarakat, melalui figur, proses learning melalui reward-punishmant. Dengan memberikan sebuah kebebasan sepenuhnya maka remaja akan bergerak tanpa arah.
Di sisi-sisi lain, hal penting yang juga perlu untuk diperhatikan adalah sejauh mana orang tua bekerja sama dengan anak remajanya dalam membuat program khusus untuk pertumbuhan dan perkembangan anak-anak remajanya tersebut. Hal yang sama juga sebenarnya menjadi tugas dan tanggungjawab sekolah, lingkungan, termasuk juga gereja. Dalam usaha untuk mengatasi persoalan ini, beberapa “aksi” berikut ini mungkin akan cukup membantu. Pertama, membiasakan budaya menabung. Sejak usia dini, anak harus dibiasakan rajin menabung dari sisa uang jajannya. Dalam hal ini bukan orang tua yang sengaja menabung atas nama anaknya. Tujuannya adalah agar anak sejak usia dini dapat menghargai betapa susahnya berjuang mengumpulkan uang sedikit demi sedikit sehingga ia berpikir ulang ketika akan menggunakan uang tersebut. Kedua, menanamkan kemandirian sebagai upaya membentuk perilaku produktif. Hal tersebut bisa ditempuh dengan mengembangkan potensi aktual diri, minat, bakat, dan kreativitas. Keterampilan ini dapat menggugah anak remaja berpikir konstruktif dan produktif minimal berguna bagi dirinya sendiri. Ketiga, mengisi waktu luang dengan kegiatan positif, seperti mengikuti kegiatan ekstrakurikuler,seperti pramuka, olah raga, kursus dan kegiatan sosial. Biasakan anak aktif membaca, dan kursus, sehingga anak remajatak banyak bergaul dengan hal-hal negatif. Keempat, memberi pemahaman agar anak remaja bersifat selektif, sehingga bisa membedakan mana kebutuhan urgen atau biasa, barang bermanfaat atau mubazir, memilih teman baik-jelek, dsb. Kelima, adanya tata tertib yang tegas dan kontrol dari orang tua dan guru, sehingga anak remaja tidak sesuka hati dalam bertindak (tetap dalam norma). Kerja keras orang produktif akan menghasilkanlkan potensi diri yang tahan uji, ulet, mampu berkreasi dan inovasi, serta mampu mencipta sesuatu untuk orang lain sehingga dapat tercipta generasi tangguh dan mandiri. Sebaliknya anak remaja yang berperilaku konsumtif akan menghasilkan generasi yang mempunyai tabiat selalu menuntut dan meminta, bermental ketergantungan, royal, malas bekerja, dan mudah mengeluh.
Dalam hal ini, kita semua turut ambil bagian dalam hidup kaum remaja. Maka, sebagai suatu “gerakan” yang mengarah kepada misi (baik intern maupun ekstern) yang perlu kita laksanakan adalah option for the youth (berpihak/mengutamakan kaum muda). Berpihak dan mengutamakan kaum muda, khususnya remaja, adalah suatu tugas atau misi baru yang sangat kompleks dewasa ini. Bukan suatu tugas atau misi yang mudah. Semoga kita mampu berjuang untuk itu.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar