Dunia “Idea” Dalam Perspektif Plato
Oleh : Herri Kiswanto Sitohang
I. Pengantar
Plato (427SM - 347SM) seorang filsuf Yunani yang termasyhur. Ia adalah murid Sokrates dan guru Aristoteles. Plato adalah seorang filsuf Barat yang paling populer dan dihormati di antara filsuf lainnya. Karya-karyanya menjadi rujukan awal bagi perkembangan filsafat dunia. Plato dilahirkan di Athena sekitar tahun 427 SM. Keluarganya paling terpandang di Athena. Pemikiran filsafatnya sangat dipengaruhi oleh gurunya, Socrates, yang telah mengajarinya selama 8 tahun. Hingga saat sang guru diadili dan dihukum, ia masih berusia 28 tahun. Setelah Socrates meninggal pada tahun 399 SM, karena terancam jiwanya akibat perang saudara kaum aristokrat dan kaum moderat serta diliputi kesedihan sepeninggal gurunya, Plato meninggalkan Athena bersama sahabat-sahabatnya. Mulai saat itulah ia melakukan perjalanan ‘filsufi’ ke berbagai kota. Hingga saat ia kembali ke Athena, ia membeli beberapa lahan di luar benteng kota Athena yang dikenal dengan nama Grove of Academus (Hutan Academus).[1] Di sinilah awal dari tumbuhnya sekolah yang terkenal yang dinamakan Akademi. Akademi ini merupakan cikal bakal universitas Abad Pertengahan dan Abad Modern yang selama 900 tahun menjadi sekolah yang mengagumkan di seluruh dunia.
Selama sisa hidupnya ia tidak menikah, waktunya selama 40 tahun banyak dihabiskan untuk mengajar dan menulis di Akademi. Walau setelah 20 tahun mengajar ia sempat ke Syracuse, untuk mendidik raja muda yakni Dionisius II. Dia menjadi seorang raja filsuf, yakni filsuf yang menjadi raja atau raja yang belajar filsafat. Ini berkaitan dengan misi hidupnya mencapai cita-cita bagi perkembangan filsafat sejati dan pendidikan bakal raja filsuf di Akademi. Baginya raja dengan pengetahuan yang baik akan mampu mengetahui kebenaran, keadilan sejati sehingga mampu menjalankan pemerintahan terbaik. Sebuah cita-cita yang di suatu masa di kemudian hari banyak memberi pengaruh terhadap raja-raja Eropa. Selepas itu ia kembali ke Akademi hingga meninggal dunia pada tahun 348 SM dalam usia 80 tahun.
Selama hidupnya, Plato rajin menulis. Banyak karya Plato dalam bentuk dialog.[2] Dalam dialog itu pada umumnya Plato memakai Sokrates untuk mengemukakan pandangan-pandangannya. Semua karya Plato, lebih dari 25 jumlahnya, masih ada. Yang paling terkenal adalah 10 buku (atau bab) Politeia ("Negara"), yang memuat ajaran Plato yang termasyur tentang negara. Tulisan-tulisan itu amat berpengaruh terhadap pemikiran Eropa selanjutnya. Pernyataan Alfred N. Whitehead bahwa seluruh filsafat pasca-Plato hanyalah sekadar catatan kaki terhadap karya Plato tidak jauh dari kebenaran.
II. Pertentangan Filsafat Pra-Sokratik
Pada zaman pra-sokratik, ada satu persoalan besar dalam filsafat, yaitu pertentangan antara Heraklitos dan Parmenides. Parmenides berpendapat bahwa yang ada ada, yang tidak ada tidak ada. Konsekuensi dari pernyataan ini adalah yang ada 1) satu dan tidak terbagi, 2) kekal, tidak mungkin ada perubahan, 3) sempurna, tidak bisa ditambah atau diambil darinya, 4) mengisi segala tempat, akibatnya tidak mungkin ada gerak sebagaimana klaim Heraklitos. Heraklitos menyatakan bahwa api sebagai dasar segala sesuatu. Api adalah lambang perubahan, karena api menyebabkan kayu atau bahan apa saja berubah menjadi abu sementara apinya sendiri tetap menjadi api. Herakleitos juga berpandangan bahwa di dalam dunia alamiah tidak sesuatupun yang tetap. Segala sesuatu yang ada sedang menjadi. Pernyataannya yang masyhur "Pantarhei kai uden menei" yang artinya semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal tetap.[3]
Filsafat Plato yang sampai kepada kita melalui karyanya itu bertitik pangkal pada adanya pertentangan antara Ada dan Menjadi, antara Satu dan Banyak, antara Tetap dan Berubah-ubah. Manakah dari kedua alternatif tersebut dapat dipilih sebagai titik pangkal filsafat yang memang sedang mencari satu asas utama? Manakah dari kedua alternatif itu dapat dianggap sebagai kenyataan (dan pengetahuan) yang sejati (Yunani: "ontos on", "benar-benar ada"), manakah yang semu (Yunani: "doza", "perkiraan" atau "maya")? Dalam dialog-dialognya, Plato menampilkan Sokrates beserta cara kerjanya supaya mereka yang menjadi kawan dialognya menemukan dalam diri mereka suatu kepastian pengetahuan. Pengetahuan itu berasal dari dalam jati dirinya yang bersifat bawaan (Inggris: Innate) sejak lahir. Pengetahuan itu mengalahkan segala keragu-raguan yang muncul berdasarkan segala penampilan dan pengalaman jasmani atau inderawi yang bermacam-macam (berganti-ganti, berubah-ubah). Oleh karena itu, terdapatlah pertentangan antara jati diri dengan penampilan yang dialami setiap manusia.
III. Dunia Idea Dalam Perspektif Plato
Pemecahan atau pencairan pertentangan itu dirumuskan Plato lebih lanjut dengan memakai suatu istilah yang seakan-akan berasal dari dunia pengetahuan dalam arti amat luas. Istilah itu adalah idea. Kata Yunani itu mempunyai akar "Wid" dengan arti "melihat" dengan mata kepala (Latin: "Videra", Inggris: "Vision") maupun menatap dengan mata batin sampai "mengetahui" (Jerman: "Wissen"; Inggris: "Wisdom").[4] Menurut Plato, pada awalnya, jati diri atau jiwa manusia hidup di "dunia idea" atau surga, dan dunia itu jauh dari dunia fana ini. Sejak awal jiwa berada di dunia fana, maka secara bawaan ia menatap dengan batinnya idea-idea sempurna dan abadi. Umpamanya idea tentang kebaikan, kebenaran, keindahan, keadilan, tetapi juga idea manusia atau kuda. Entahlah karena peristiwa apa, jiwa manusia itu "jatuh" dari dunia idea-idea itu ke dalam dunia ini sampai ke dalam "penjara" yaitu tubuh manusia. Melalui indera tubuhnya (terutama mata) ia melihat dan menatap dunia fana yang terdiri atas bayang-bayang atau "bayangan" dari idea-idea yang "semula" pernah ditatapnya secara murni. Lalu manusia ingat akan idea-idea murni itu yang "dahulu kala" ditatapnya dan yang secara bawaan memang menemaninya secara terselubung.
Bagi Plato, dunia “idea” adalah dunia yang nyata. Dimana dia mengungkapkan bahwa ide-ide itu bukanlah merupakan hasil dari pemikiran manusia, melainkan berdiri sendiri.[5] Plato mau mengungkapkan pendapatnya mengenai realitas yang adalah merupakan sesuatu yang melampaui daya pemikiran manusiawi (transcenden). Pandangan Plato ini menunjukkan bahwa realitas yang sesungguhnya bukanlah realitas inderawi (yang dapat dirasa, diraba, dilihat,didengar dan dihirup oleh panca indera manusia), tetapi merupakam realitas yang bersifat rohani dan oleh Plato hal itu disebut Idea.[6] Idea tersebut bersifat abadi dan tak berubah. Bagi Plato idea bukanlah gagasan yang hanya terdapat dalan pikiran saja (yang bersifat subyektif), tapi juga bersifat obyektif yakni yang berdiri sendiri, lepas dari subyek yang berpikir, tidak tergantung pada pemikiran manusia; akan tetapi justru idealah yang memimpin pikiran manusia.[7] Contohnya adalah idea manusia, dimana tiap orang berbeda dengan orang lain, tidak ada dua orang yang persis sama, tetapi keduanya adalah sama-sama manusia. Hal ini disebakan karena tiap manusia mendapat bagian daripada idea manusia.[8]
Menurut paham Plato, idea tidak saja pengertian jenis, tapi juga bentuk dari keadaan yang sebenarnya. Idea bukanlah suatu pikiran, melainkan suatu realita. Dalam hal ini, Plato melahirkan dua macam dunia, yaitu dunia yang kelihatan dan bertubuh dan dunia yang tak kelihatan dan tak bertubuh.[9] Pendapat Plato tentang dunia yang tak bertubuh yakni dunia yang lahir, terdiri daripada barang-barang yang dapat kita lihat dan alami, yang berubah senantiasa menurut benda dan waktu merupakam pendapat Parmenides tentang adanya yang satu, kekal dan tidak berubah-ubah. Sedangkan dunia yang bertubuh adalah dunia yang dapat diketahui dengan pandangan dan pengalaman. Dalam dunia itu semuanya bergerak dan berubah senantiasa, tidak ada yang tetap dan kekal. Ajaran Herakleitos tentang semuanya mengalir, dimana tidak ada yang tetap dapat ditampung dalam dunia Plato yang bertubuh tersebut.[10]
Untuk lebih memahami pikiran Plato tentang idea, kita dapat memakai perumpamaan yang terdapat di buku ketujuh Politeia, yaitu "perumpamaan tentang gua". Bayangkan sebuah gua; di dalamnya ada sekelompok tahanan yang tidak dapat memutarkan badan, duduk, menghadap tembok belakang gua. Di belakang para tahanan itu, di antara mereka dan pintu masuk, ada api besar. Di antara api dan para tahanan (yang membelakangi mereka) ada budak-budak yang membawa berbagai benda, patung, dan lainnya. Yang dapat dilihat oleh para tahanan hanyalah bayang-bayang dari benda-benda itu. Karena itu, mereka berpendapat bahwa bayang-bayang itulah seluruh realitas. Namun, ada satu dari para tahanan dapat lepas. Ia berpaling dan melihat benda-benda yang dibawa para budak dan api itu. Sesudah ia susah payah keluar dari gua dan matanya membiasakan diri pada cahaya, ia melihat pohon, rumah, dan dunia nyata di luar gua. Paling akhir ia memandang ke atas dan melihat matahari yang menyinari semuanya. Akhirnya ia mengerti, bahwa apa yang dulunya dianggap realitas bukanlah realitas yang sebenarnya, melainkan hanya bayang-bayang dari benda-benda yang hanya tiruan dari realitas yang sebenarnya di luar gua.
Plato memakai perumpamaan itu dalam rangka usahanya untuk menerangkan apa yang terjadi pada saat manusia mengenal atau mengetahui sesuatu. Sesuatu yang bukan lagi realitas inderawi, yang hanya cerminan realitas yang sebenarnya dalam medium materi (patung-patung yang meniru apa yang nyata-nyata ada). Melainkan sesuatu realitas yang sebenarnya, yang bersifat rohani. Pengetahuan sebagai hasil mengingat (anamnesis) akan suatu lapisan kesadaran bawaan dalam jati diri manusia itu, dicirikan oleh filsuf-filsuf modern sebagai pengetahuan berdasarkan intuisi. Melalui kesan dan pengamatan intuitif, manusia merasa bahwa ia sudah tahu, tanpa merasa perlu melakukan suatu pengamatan, penelitian atau penalaran lebih lanjut. Dan apabila seorang manusia sudah lebih dalam terlatih dalam hal intuisi, ia akan sanggup menatap dan seakan-akan memiliki sejumlah idea, "melihat matahari", misalkan tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, tetapi juga tentang pemerintahan, negara, pendidikan, sampai idea-idea itu tampil di hadapannya secara berjenjang-jenjang atau hierarkis, yaitu: jenjang kebenaran, jenjang nilai-nilai, dan lain-lain. Berdasarkan nilai tertinggi kebenaran hingga nilai terendah maka dapat "ditarik" suatu kesimpulan deduktif, seperti yang terdapat dalam matematika. Manurut Plato, matematika adalah bentuk pengetahuan yang paling sempurna. Tak seorangpun ia ijinkan masuk ke dalam Akademianya kalau belum terlatih dalam matematika, terlatih dalam hal "menurunkan" kebenaran dan nilai partikular dari kebenaran dan nilai yang lebih umum.
IV. Dua Dunia[11]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menurut Plato realitas seluruhnya seakan-akan terdiri dari “dua dunia”. Satu “dunia indra”, yakni mencakup benda-benda jasmani yang disajikan kepada panca indra. Pada taraf ini harus diakui bahwa semuanya etap berada dalam perubahan. Bunga yang kini bagus keesokan harinya sudah layu. Lagi pula, dunia indra ditandai oleh pluralitas. Harus diakui pula bahwa di sini tidak ada sesuatupun yang sempurna. Disamping “dunia indra” terdapat juga suatu dunia lain, yajni “dunia ideal” atau dunia yang terdiri atas Ide-ide. Dalam dunia ideal ini sama sekali tidak ada perubahan. Semua ide bersifat abadi dan tak terubahkan. Dalam dunia ideal tidak ada banyak hal yang bagus, hanya satu “ide yang bagus”. Demikian halnya Ide-ide lain, setiap ide bersifat sempurna.
Bagaimana hubungan antara kedua ide tersebut? Yang jelas adalah bahwa Ide-ide tersebut sama sekali tidak dipengaruhi oleh benda-benda jasmani (dunia indra). Misalnya, lingkaran yang digambarkan di papan tulis lalu dihapus lagi, sama sekali tidak mempengaruhi ide “lingkaran”. Akan tetapi, Ide-ide mendasari dan menyebabkan benda-benda jasmani. Hubungan antara dua dunia tersebut dingkapkan oleh Plato dalam tiga (3) cara: pertama, ia mengatakan bahwa ide itu hadir dalam benda-benda konkret. Tetapi dengan itu, Ide itu sendiri tidak dikurangi sedikitpun. Kedua, dengan cara lain, ia mengatakan bahwa benda konkret mengambil bagian dalam Ide. Dengan demikian, Plato mengintroduksikan paham partisipasi (metexis) ke dalam filsafat. Ketiga, akhirnya, Plato mengatakan bahwa Ide merupakan model atau contoh (paradeigma) bagi benda-benda konkret. Benda-benda konkret itu merupakan gambaran tak sempurna yang menyerupai model tersebut.
V. Penutup
Dari uraian di atas, kita dapa melihat secara jelas dan merangkum mengenai pemikiran Plato tentang “dunia idea”. Menurut paham Plato, idea tidak saja pengertian jenis, tapi juga bentuk dari keadaan yang sebenarnya. Idea bukanlah suatu pikiran, melainkan suatu realita. Dalam hal ini, Plato melahirkan dua macam dunia, yaitu dunia yang kelihatan dan bertubuh (dunia indra) dan dunia yang tak kelihatan dan tak bertubuh (dunia ideal). Pendapat Plato tentang dunia yang tak bertubuh yakni dunia yang lahir, terdiri daripada barang-barang yang dapat kita lihat dan alami, yang berubah senantiasa menurut benda dan waktu merupakam pendapat Parmenides tentang adanya yang satu, kekal dan tidak berubah-ubah. Sedangkan dunia yang bertubuh adalah dunia yang dapat diketahui dengan pandangan dan pengalaman. Dalam dunia itu semuanya bergerak dan berubah senantiasa, tidak ada yang tetap dan kekal. Ajaran Herakleitos tentang semuanya mengalir, dimana tidak ada yang tetap, itu dapat ditampung dalam dunia Plato yang bertubuh tersebut.
Demikianlah Plato berhasil menjembatani pertentangan yang ada antara Heraklitos, yang menyangkal perhentian (segala sesuatu mengalir) dan Parmenides yang menyangkal tiap gerak dan perubahan. Yang tetap, yang tidak berubah, yang kekal itu oleh Plato disebut “idea”. Karena teorinya mengenai Ide-ide, Plato dapat memperdamaikan ajaran Heraklitos dengan ajaran Parmenides.
Daftar Pustaka
Bertens, K., Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Hadiwijono, Harun, DR., Sari sejarah filsafat barat, Yogyakarta: kanisius, 1980.
Hatta, Mohammad, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Tintamas, 1980.
Isdaryanto, Bosco, Johannes, Sejarah Filsafat Barat Kuno Yunani, Malang: STFT Widya Sasana, 2006.
Setya,Wignjapra, F., Pengantar Filsafat dalam Perspektif Kristen, Malang: STFT Widya Sasana, 1987.
Suseno, Magnis, Franz, 13 Tokoh Etika, Yogyakarta: kanisius, 1997.
http://www.erabaru.or.id/k_10_art_11.htm, (diakses tgl 22 April 2008).
http://www.geocities.com/monasjunior/filsuf.html, (diakses tgl 22 April 2008).
http://www.mrkadarsah.50megs.com/custom4.html, (diakses tgl 25 April 2008).
Catatan Kaki:
[1] http://www.erabaru.or.id/k_10_art_11.htm, (diakses tgl 22 April 2008).
[2] Johannes Bosco Isdaryanto, LIC., Sejarah Filsafat Barat Kuno Yunani, (Malang: STFT Widya Sasana, 2006), hlm. 46.
[3] http://www.mrkadarsah.50megs.com/custom4.html, (diakses tgl 25 April 2008).
[4] http://www.geocities.com/monasjunior/filsuf.html, (diakses tgl 22 April 2008).
[5] DR.F.Wignjapra setya, Pengantar Filsafat dalam Perspektif Kristen, (Malang: STFT Widya sasana, 1987), hlm.12 (diktat).
[6] Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika, (Yogyakarta: kanisius, 1997), hlm. 16.
[7] DR.Harun Hadiwijono, Sari sejarah filsafat barat, (Yogyakarta: kanisius, 1980), hlm. 40.
[8] DR.Harun Hadiwijono, loc.cit.
[9] Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: Tintamas, 1980), hlm.99.
[10] Ibid., hlm. 41.
[11] Prof. Dr. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, ( Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 131-132.
[1] http://www.erabaru.or.id/k_10_art_11.htm, (diakses tgl 22 April 2008).
[2] Johannes Bosco Isdaryanto, LIC., Sejarah Filsafat Barat Kuno Yunani, (Malang: STFT Widya Sasana, 2006), hlm. 46.
[3] http://www.mrkadarsah.50megs.com/custom4.html, (diakses tgl 25 April 2008).
[4] http://www.geocities.com/monasjunior/filsuf.html, (diakses tgl 22 April 2008).
[5] DR.F.Wignjapra setya, Pengantar Filsafat dalam Perspektif Kristen, (Malang: STFT Widya sasana, 1987), hlm.12 (diktat).
[6] Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika, (Yogyakarta: kanisius, 1997), hlm. 16.
[7] DR.Harun Hadiwijono, Sari sejarah filsafat barat, (Yogyakarta: kanisius, 1980), hlm. 40.
[8] DR.Harun Hadiwijono, loc.cit.
[9] Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: Tintamas, 1980), hlm.99.
[10] Ibid., hlm. 41.
[11] Prof. Dr. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, ( Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 131-132.