}

Jumat, 24 April 2009

Fenomenologi Dalam Filsafat Agama



Fenomenologi Dalam Filsafat Agama

Pengantar
Fenomologi adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon). Lahir ke dalam dunia filsafat oleh karena kesadaran Edmund Husserl (1859-1938). Bagi dia “prinsip segala prinsip” ialah intuisi langsung, tanpa perantara apapun. Hursserl menggunakan istilah fenomonologis untuk menunjukkan apa yang tampak dalam kesadaran kita dengan membiarkan apa yang tampak tersebut termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan buah pikiran kita kedalamnya, atau menurut Husserl: “Zuruck zu den sachen selbst” (kembalilah kepada realitas itu sendiri). Fenomenologi Husserl bertujuan mencari esensi suatu fenomena. Hal itu bermula dengan membiarkan fenomena itu termanisfestasi apa adanya tanpa dibarengi prasangka.
Berikut ini akan dibahas tiga tokoh yang juga berbicara tentang fenomenologi, tapi lebih kepada fenomenologi agama. Ketiga tokoh tersebut adalah: Maurice Blondel, Louis Dupre dan Mircea Eliade.

Maurice Blondel
Maurice Blondel (1861-1949) adalah seorang filsuf agama Francis. Dapat dikatakan bahwa seluruh kegiatan kefilsafatannya merupakan suatu penyelidikan mengenai tindakan manusia. Menurut Blondel, Tindakan adalah karakter yang sangat umum dari pengalaman manusia. Manusia hanya menjadi sadar akan dirinya sendiri dalam relasinya dengan “hal lain” di luar dirinya. Tindakan adalah suatu kenyataan, suatu ketentuan umum yang tidak dapat disangkal dan itu selalu tampak kepada kita sebagai suatu kewajiban. Dia menegaskan bahwa kita tidak dapat melangkah lebih jauh, belajar, atau memperkaya diri kita kecuali melalui tindakan. Hidup kita tidak pernah lepas dari tindakan dan itu sesungguhnya mengarahkan kita kepada realitas transenden. Transenden bahkan dapat disebut menjadi imanen dalam pengertian tindakan. Bagi Blondel, tindakan adalah suatu kategori yang membawa pengertian, yang mana kemampuan akal budi dan keinginan dipahami dalam satu kesatuan, saling mempengaruhi satu sama lain. Kita dapat memahami tindakan hanya melalui pengalaman. Pengalaman merupakan suatu metode yang disebuat oleh Blondel dengan ilmu pengetahuan tentang hidup. Metode itu merupakan sebuah pengetahuan tentang hidup atau sebuah metode dari pengalaman langsung. Blondel memulainya dengan pengalaman dan batu loncatannya selalu pada pengalaman konkret/nyata.
Dalam analisisnya mengenai pengalaman akan tindakan manusia, Blondel mengajukan suatu pertanyaan, yakni: apakah manusia memiliki suatu tujuan? Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan yang didapat dari ilmu pengetahuan dan hasil kritisasi metafisika, banyak orang menanggapi pertanyaan ini secara negative. Tanggapan negative itu datang khususnya dari kalangan para filsuf. Bagi mereka, tindakan adalah suatu sistem pergerakan kehendak yang disesuaikan dengan kepentingan, mimpi, kebutuhan atau ide. Karena itu, tindakan akan mendapat tempat dalam konteks ketiadaan dan semuanya itu dipahami sebagai kesia-siaan atau ketiadaan. Menanggapi tanggapan negatif tersebut, Blondel berpendapat bahwa konsepsi mengenai ketiadaan di atas adalah hasil dari sebuah ketidakkonsistenan yang logis dan kecacatan tindakan yang diinginkan. Dengan demikian, pemikiran mengenai ketiadaan kemudian ditolak oleh Blondel. Dalam tindakan-tindakan saya di dunia ini, baik di dalam maupun di luar diri saya, ternyata “ada sesuatu”. Blondel berpendapat bahwa ‘sesuatu’ itu tidak dapat dipikirkan dengan referensi keterangan yang memuasakan dalam kaitannya dengan kodrat dan eksistensi manusia, karena pada prinsipnya, belajar tentang tindakan manusia menuntut referensi kepada realitas tansenden. Menurut Blondel, tindakan tidak penuh dalam tataran kodrat. Hal itu tampak dalam dunia adi-kodrati sebagai penyelesaiannya. Dunia adi-kodrati itu akhirnya dipahami sebagia hal yang melampaui tataran Filsafat, melebihi kompetensi filsafat mengenai tindakan manusia, dan filsafat tidak boleh mengabaikannya. Filsafat tidak dapat mengetahui bahwa dunia adi-kodrati itu memang ada. Karena, menurut Blondel, dunia adi-kodrati adalah suatu persoalan iman, suatu hadiah, pemberian dari Yang Ilahi. Jadi, Blondel menemukan sesuatu yang aneh karena beberapa filsuf secara sewenang-wenang mengabaikan atau tidak memperhitungkan agama yang dihayati, yakni yang berkaitan dengan kesaksian-kesaksian mengenai pewahyuan. Hal ini terjadi karena para filsuf membicarakan dogma-dogma berkaitan dengan kesaksian-kesaksian akan pewahyuan secara hipotetis atau abstrak. Mereka melihat makna manusia di dalam dogma-dogma tersebut. Para filsuf tersebut harus menolak atau menentang dunia adi-kodrati di atas bumi ini, karena hal itu melampaui kontrol pemikiran filsafat. Bagaimanapun, filsafat tidak dapat berpikir bahwa dugaan tentang dunia adi-kodrati itu semata-mata sebagai sesuatu yang sewenang-wenang, karena analisis mengenai tindakan telah mengarah ke dunia transenden. Transendensi dialami dalam dasar dari semua tindakan manusia, dan juga dalam kekurangan untuk mencapai pemenuhannya dalam tataran kodrati.
Kita dapat mengatakan bahwa filsafat dapat sadar mengenai apa yang disebut dengan dimensi transenden dari tindakan manusia, tapi eksistensi dari dunia adi-kodrati itu adalah sebuah persoalan pewahyuan. Pewahyuan menuntut hal-hal yang masuk akal dan bijaksana sebagai sarana untuk hal-hal yang adi-kodrati. Sarana-sarana atau tanda-tanda tersebut hanya menawarkan yang tak terbatas di bawah samaran yang terbatas dan di sini orang seringkali membohongi suatu kesulitan. Bagaimana mungkin suatu yang bersifat terbatas mampu mengungkapkan suatu yang transenden. Suatu pewahyuan memang menuntut sikap percaya. Percaya kepada Tuhan menjadi masuk akal bagi kita karena kita mengharapkan dari-Nya apa yang tidak dapat kita buat atau lakukan sendiri. Yang menjadi pertanyaan adalah: “Dimana kita dapat menemukan-Nya, kemudian, jika tidak, dimana kehendak itu dibangkitkan diatasnya? Hal ini hanya ditemukan dalam sebuah kekosongan hati, dalam keheningan batin serta kehendak yang baik”. Pewahyuan Ilahi bergantung atas inisiatif Yang Ilahi karena pergerakan dunia adi kodrati tidak dapat berasal dari manusia. Hal itu merupakan suatu pencarian yang membawa orang kepada Tuhan.

Louis Dupre
Louis Dupre adalah seorang professor emeritus filsafat agama pada universitas Yale. Dia dikenal sebagai seorang filsuf yang melanjutkan tradisi fenomenologisnya Blondel dan Dumery. Dalam sebuah buku, “Religious mistery and rational reflection”, Dupre menegaskan bahwa sebuah sebuah deskripsi fenomenologis tentang pengalaman religius dan sebuah interpretasi kritis tentang kodrat aktivitas simbolis itu tidak dapat dipisahkan. Hal itu ditegaskannya karena aspek-aspek tersebut sering diabaikan dalam filsafat agama. Dia tidak mengabaikan pentingnya metode analitis yang didominasi studi-studi filsafat agama dalam dunia yang berbahasa inggris. Akan tetapi, dia perrcaya bahwa sering ada tendensi untuk membandingkan ide kebenaran dalam agama menjadi sesuatu hal yang sederhana, tidak secara mendasar berbeda dari ilmu pengetahuan.
Dupre juga dikenal sebagai seorang kontributor terhadap filsafat agama. Sumbangan Dupre terhadap filsafat agama dapat dilihat dalam bukunya yang berjudul: “The other Dimension: a search for the meaning of religious attitudes” (Dimensi Lain: sebuah pencarian makna sikap-sikap religius). Bagi Dupre, agama adalah sebuah relasi dialektis yang kompleks dari akal budi dan kenyataan, dimana akal budi dalam penolakannya yang terus menerus mengenai posisi yang diperolehnya menjadi terbuka terhadap dimensi lain, yakni terhadap realitas yang kudus yang melampaui yang terbatas dan yang profan. Yang transenden itu ditandai dengan kekontrasannya dan keberadaannya yang mengatasi fenomen. Hal itu akhirnya dikatakan untuk menggabungkan semua realitas ke dalam sintesis yang lebih tinggi. Dialektika ini bersifat negative dalam pengertian radikal dan tampak dalam analisis akhir untuk memasukkan sebuah penolakan terhadap semua yang biasa dirujuk dibawah nama agama. Maka, agama sendiri pada akhirnya meniadakan jalan untuk penyingkapan realitas transenden. Menurut Dupre, pengalam mistis tidak terbatas pada ungkapan prbadi yang membahagiakan dan luar biasa. Tapi juga mengarah kepada kesatuan mistis dengan kehadiran Allah yang memilki dasarnya dalam seluruh hidup religius. Dupre mengetahui bahwa beberapa tradisi mistis cenderung kehilangan dialektik antara yang terbatas dan yang tak terbatas. Dalam hal ini, pandangan manusia dilampaui dan sifat Ilahi dikenakan pada manusia. Pandangan atau sikap tersebut menegaskan di satu sisi bahwa ketentuan-ketentuan yang terbatas tidak selaras dengan realitas Ilahi dan di sisi lain, yang transenden itu ada dalam ciptaan, dan cipataan adalah manifestasi dari yang transenden. Ketika gambaran akan yang terbatas menjadi esensial dalam perjalanan menuju tingkat kesadaran yang baru ini, gambaran-gambaran tersebut akhirnya harus dilampaui dengan mengarahakan kesadaran akan kehadiran Allah. Mengenai hal ini, iman religius bukanlah terutama suatu tindakan atau usaha pengetahuan, tapi suatu sikap, yakni sikap penerimaan terhadap pengungkapan akan dimensi transenden yang ada dalam pengalaman. Dalam konteks ini, yang membedakan pribadi religius dari pribadi non-religius adalah bahwa pribadi religius memberi suatu interpretasi religius terhadap pengalaman-pengalaman (memandang realitas dari dalam sikap iman) sedangkan yang non-religius sebaliknya bersifat ambigu.
Filsafat tidak bisa menjelaskan interpretasi-interpretasi mengenai pengalaman yang bermuatan iman sebagai simbol kehadiran realitas Yang Ilahi. Karena semuanya itu bergerak dari pengalaman-pengalaman harian menuju penegasan akan kehadiran realitas yang transenden, dan hal itu bukanlah suatu persoalan mengenai argumen yang rasional. Dalam masalah ini, menurut Dupre, yang dapat dilakukan filsafat adalah menunjukkan pergeseran akal budi yang dinamis terhadap suatu prinsip yang mutlak mengeani arti dan manusia. Hal ini dalam iman religius dipahami sebagai suatu relasi yang tidak bisa dipungkiri dengan Yang Ilahi. “Gagasan mengenai yang transenden tidak dapat diabaikan secara bebas dalam kehidupan religius. Akan tetapi, terima atau tidak terima, menerimanya sebagai isi yang benar adalah sebuah persoalan religius. Dalam kaitannya dengan isi, filsafat hanya dapat berefleksi tentang pengalaman iman religius yang berada diluar ranah filsafat. Filsafat tidak dapat mencampurinya dengan berefleksi tentang kodrat realitas. Memahami dengan cara seperti ini, agama tidak dapat menggantikan metafisika. Dalam pengalaman religius, Yang transenden diterima sebagai diri yang nyata dan melampaui seluruh konsep pengetahuan kategoris. Walaupun iman lebih bersifat subyektif dalam kaitannya untuk memahami yang transenden, tapi seseorang tidak dapat secara sempurna untuk mengerti/mengenal Tuhan., karena Tuhan melampaui batas-batas pengetahuan konseptual. Pendekatan Dupre terhadap agama adalah fenomenologis. Hal itu bukanlah sebuah penjelasan mengenai kesadaran transendental seperti dalam pemikiran Husserl. Akan tetapi, merupakan suatu penjelasan mengenai dimensi religius pengalaman sebagaimana dimediasi melalui bahasa komunitas orang beriman. Dialektika agama adalah sesuatu yang ditemukan dalam agama itu sendiri. Hal itu bukanlah sesuatu yang diletakkan diatasnya. Dupre percaya akan pemikiran fenomenologisnya Mircea Eliade yang dapat membuat persoalan itu mejadi jelas. Tugas para filsuf adalah memahami apa yang terkandung dalam agama itu, bukan untuk menghancurkan. Dupre menemukan sebuah pertalian antara pendekatannya mengenai filsafat agama dan megenai empirisme radikal dari James, Royce, dan Hocking. Refleksi kritis perihal suatu anugerah religius menuntut seorang filsuf masuk dalam ke dalam hidup religius dan diperkenalkan dengan interpretasi teologis dari iman. Hal ini bukan mau mengatakan bahwa seorang filsuf harus menjadi seorang religius yang percaya atau harus seperti Scheler yang menyarankan agar seorang filsuf menghidupi hidup sebagai orang beriman. Akan tetapi hal ini mau mengatakan bahwa sebuah penjelasan eksternal yang sungguh tidak cukup dan bahwa seorang filsuf mencabut empati dengan agama yang tidak sanggup menganalisa hidup, makna-makna serta simbol-simbolnya secara memadai.

Mircea Eliade
Mircea Eliade adalah seorang sejarawan agama berkebangsaan Rumania (1907-1986). Mircea Aliade menganggap agama dalam esensi dan metafisikanya Van der Leew menjadi pembicaraan pertama yang penting perihal fenomenologi agama. Eliade mengembangkannya lebih dulu dalam karyanya suatu ketertarikan terhadap sejarah agama-agama, sebuah pengertian bahwa agama harus melakukan sesuatu yang lebih berkaitan dengan pengalaman daripada hanya sebatas ide-ide yang abstrak, dan sebuah penolakan akan analis-analisis reduksionis mengenai pengalaman religius. Dalam karyanya, dia berusaha menggabungkan pendekatan-pendekatan sejarah dan fenomenologis terhadap fenomena religius. Dia juga mendorong para sejarawan agama untuk berusaha melampaui tugas-tugas ilmiah belaka mereka supaya dapat memahami makna pengalaman religius yang dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk sejarah yang berbeda. Dalam buku “The Sacred and the Profane”, Eliade memuji pengalaman Otto mengenai Yang Kudus, yakni karena perhatiannya tentang modalitas-modalitas pengalaman religius lebih dari ide-ide tentang Tuhan. Dalam pemikiran Otto dan Van der Leew, Eliade menemukan sebuah pendekatan yang menolak reduksi representasi religius terhadap psikologi, sosiologi atau fungsi-fungsi rasional, dan yang berusaha menjelaskan agama atas dasarnya sendiri. Tujuan Eliade adalah sedikit berbeda dengan pemikiran Otto dan bahkan pemikiran Van der Leew. Dia ingin dapat melampaui fokus tentang dimensi-dimensi yang tidak rasional tentang Yang Kudus, dan di juga ingin menghadirkan fenomena tentang Yang Kudus dalam keseluruhannya, yakni dalam seluruh kompleksitasnya. Dia mengangkat sebuah perspektif yang lebih luas, yakni dapat menggabungkan metode-metode fenomenologi dengan pencariannya tentang esensi, dan historitas dengan penolakannya terhadap makna yang mengatasi sejarah. Menurutnya, Yang Kudus adalah lawan kata dari Yang profan. Orang menjadi sadar tentang yang kudus karena dia mengatakan dirinya sebagai sesuatu yang berbeda sama sekali dari yang profan. Eliade menggunakan terminology “Hierophany”- (Yang kudus memanifestasikan diri di suatu tempat ) untuk menunjukkan kisah pewahyuan atau manifestasi dari Yang kudus.
Sebagai seorang sejarawan agama, dia memberi perhatian terhadap hierophany Yang kudus dari agama yang muncul awali hingga paling akhir. “Dalam setiap permasalahan, kita dikonfrontasikan dengan kisah misterius yang sama - (manifestasi sesuatu dari suatu keteraturan yang berbeda secara keseluruhan, suatu realitas yang bukan milik dunia kita), dalam obyek-obyek terdapat sebuah bagian yang integral dari kodrat dunia profan kita”. Ada suatu paradok disini, Karena dengan memanifestasikan Yang kudus, obyek, kedua-duanya tetap dalam dirinya sendiri dan menjadi sesuatu yang lain. Hal itu tetap menjadi suatu obyek belaka terhadap pengalaman profan, tapi hal itu diubah kedalam sebuah realitas adi-kodrati dalam pengalaman manusia religius. Bagi manusia-manusia primitive dan pra-masyarakat modern, Yang kudus disejajarkan dengan kekuasaan dan realitas dan manusia religius ingin untuk mengambil bagian dalam realitas tersebut sejauh memungkinkan. Akan tetapi, pengalaman religius akan realitas mengantikan kekontrasan yang mencolok tersebut menjadi ketidakkudusan pengalaman manusia modern, yang didalamnya manusia menemukan kesulitan untuk menemukan kembali pengalaman manusia religius dalam masyarakat archaic. Dia percaya bahwa kita dapat menggambarkan karakteristik-karakteristik spesifik akan pengalaman religius agar supaya menunjukkan perbedaan-perbedaan antara Yang kudus dan Yang profan. Contohnya, dari aneka jenis pengalaman religius, berdasarkan waktu dan budaya-budaya yang berbeda, kita dapat melihat bahwa sebuah pengalaman religius akan ruang berbeda dari pengalaman profan akan ruang. Dimana Yang kudus dipahami untuk memanifestasikan dirinya sendiri dalam ruang yang tidak ada titik temu dan titik temu dapat menjadi tidak bisa dipungkiri. Hal itu membuka sebuah komunikasi antara menara surga dan bumi. Manusia religius memiliki eksistensi yang nyata hanya dalam dunia Yang kudus, dimana dahaganya akan Yang ada mengatasi apa yang baginya chaos (kekacauan) dan ketiadaan ruang profan. Pengalaman profan akan ruang secara kontras adalah Homogenous.
Manusia religius juga mengalami dua jenis waktu, yakni kudus dan profan. Bagi manusia religius, waktu itu seperti ruang yakni tidak homogenous atau tidak berlanjut. Ada interval-interval dari waktu Yang kudus, keabadian yang berturut-turut, waktu festival dan menggantikan kekontrasan dengan waktu profan yang biasanya waktunya bersifat temporal. Waktu Yang kudus itu dapat dibalik dalam pengertian bahwa festival religius atau liturgy mempresentasikan pengulangan akan sebuah even. Manifestasi harus dilakukan dengan intervensi personal tentang Tuhan dalam sejarah dan hal ini menempatkan kembali waktu akan kembalinya keabadian dan lingkaran. Sejarah menjadi sebuah theopany. Bagi manusia religius, alam juga memanifestasikan Yang kudus. Alam tidak pernah hanya bersifat kodrati tapi sekaligus bersifat adi-kodrati dengan nilai-nilai Yang kudus. Inilah sebabnya kenapa manusia dapat mengerti dirinya sebagai seorang mikrokosmos. Manusia mengalami dirinya sebagai waktu kosmis yang sama, sebagai yang memiliki sebuah struktur yang berubah, sebagai yang memiliki sebuah eksistensi yang terbuka. Dalam pengertian ini, mitos-mitos dan simbol-simbol keagamaan dimengerti untuk menyingkap sebuah ontologi, sebuah pengertian akan keberadaan eksistensi manusia, yang disebut Homo religius. Bagi manusia religius, fungsi-fungsi biasa dari kehidupan, bahkan fungsi-fungsi psikologis yang mendasar menjadi sakramen. Manusia religius percaya bahwa ada suatu realitas yang transenden, tapi itu termanifestasi dalam dunia ini, dan eksistensi manusia menyadari potensinya yang paling penuh dalam keterlibatannya dalam realitas yang lebih besar ini. Manusia non-religius (mereka yang secara penuh dikembangkan dalam masyarakat barat yang modern) dengan kontras menganggap diri mereka sebagai subjek dan agen dari sejarah. mereka membuat diri mereka independen secara penuh, sama seperti mereka menyingkirkan Yang kudus, yang menjadi penghambat terhadap kebebasan mereka. Pribadi-pribadi modern secular dibentuk dengan mengosongkan diri mereka dari semua makna/arti religius dan transenden, dan dalam pengertian yang negatif ini, paling tidak mereka membawa yang religius dalam diri mereka. Bagi Eliade, konsep manusia religius ini melengkapi dasar untuk sebuah panggilan kepada sebuah bentuk baru dari antropologi filosofis dan sebuah humanisme baru. Dalam sebuah artikel dalam The Quest: History and Meaning in Religion, Eliade berpendapat bahwa studi perbandingan agama akan memainkan sebuah peran budaya yang semakin penting sebagaimana budaya-budaya yang berbeda menjadi lebih sadar terhadap satu sama lain, dan sebagaimana disebutkan bahwa manusia-manusia primitive menjadi subyek-subyek yang lebih aktif dalam sejarah. Yang kudus adalah suatu dimensi universal dan awal dari budaya itu sendiri yang diakarkan dalam kepercayaan dan pengalaman tersebut.

Penutup - Refleksi Kritis
Dalam diskusi-diskusi para filsuf agama tentang pengetahuan religius, mereka sering menegaskan peran utama dari pengalaman atau kesadaran spontan akan realitas transenden. Pendekatan ini banyak memberi sumbangan bagi para filsuf yang cenderung berpikir tentang agama sebagai sebuah pandangan dunia atau kepercayaan yang tersusun dalam proposisi-proposisi, yang tentu juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Schleier macher memberi sumbangan yang berharga terhadap studi agama. Misalnya, ia membuat pemisahan antara pemahaman religius dan intelektual serta kehendak manusia. Filsuf-filsuf yang lain mereduksi agama kepada pengalaman inti dan memberi penjelasan-penjelasan sosiologis dan psikologis yang dengan sewenang-wenang menolak atau mengabaikan referensi-referensi transenden dari pengalaman religius. Dalam beberapa kasus, pengalaman religius dialihkan lewat pewahyuan dalam cara-cara yang mempertahankan referensi transenden dari pengalaman religius dengan memindahkannya secara bersama dari bidang refleksi filosofis. Dalam konteks ini, metode fenomenologis mencoba menyusun perkiraan dan memberi keterangan-keterangan yang mendetail tentang kesadaran yang dipahami sebagai yang disengaja. Hal itu bisa dipahami sebagai sebuah sumbangan utama terhadap studi filsafat agama. Walaupun Husserl sendiri tidak melakukan banyak hal untuk menggunakan metode fenomenologi terhadap agama. Dia hanya menyediakan dasar-dasar untuk pengembangan sebuah pendekatan deskriptif terhadap kesengajaan dan kesadaran yang dengan beberapa modifikasi, ada dan berlanjut menjadi terapan terhadap kesadaran religius.
Harus diakui bahwa pendekatan fenomenologi memiliki peran yang penting dalam mengamati pengalaman religius bagi filsafat agama. Pentingnya pendekatan fenomenologi terhadap pengalaman religius bagi filsafat agama nyata dalam keterangan-keterangan yang kuat dan interpretasi-interpretasi yang disediakan oleh para fenomenologist. Pendekatan ini tentunya juga membangkitkan sejumlah pertanyaan. Misalnya, berkaitan dengan satu dari kekuatan dari pendekatan fenomenologis. yakni kemampuannya untuk menunjukkan apa yang tampak terhadap kualitas dari pengalaman religius, sikap-sikapnya yang mau menerima realitas transenden, yang dalam beberapa pengertian mewahyukan dan menghadirkan diri itu melampaui batas-batas imajinasi manusia dan makna proyeksinya. Yang berhubungan erat dengan pokok-pokok yang terkait dengan gambaran dimensi-dimensi transcendental adalah pertanyaan tentang kebenaran. Klaim kebenaran religius tidak dapat dipisahkan dari usaha-usaha untuk menunjukkan hubungan timbal balik antara religius dan dimensi-dimensi lain dari pengalaman, dan antara pengalaman religius dan kepercayaan serta realitas yang dimaksudkan. Dalam beberapa pengertian kepercayaan religius tampak menjadi bergantung pada penyingkapan realitas ilahi. Hal ini membangkitkan persoalan tertentu karena tuntutan-tuntutan kebenaran tersebut. Menggambarkan dan menginterpretasikan dimensi-dimensi transcendental dari pengalaman religius dapat memberikan suatu langkah penting dalam usaha untuk mengerti kepercayaan religius. Akan tetapi hal ini sendiri tidak memberikan suatu dasar yang memadai bagi tuntutan kebenaran.
Akhirnya, berdasarkan penjelasan fenomenologi di atas kita dapat mengerti bahwa berfilsafat ternyata tidak pertama-tama berarti memikirkan sesuatu, melainkan mengamati apa sesuatu yang menunjukkan diri. Fenomenologi merupakan seni untuk melihat apa yang sebenarnya, tapi umumnya tidak kita perhatikan.


Daftar Pustaka



Bertens, K.. Filsafat Barat Abad XX. Jakarta: Gramedia, 1981.

Delfgaauw, Bernard. Filsafat Abad 20. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana: Yogya, 1988.

Susanto, Hary, PS.. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta: Kanisius: 1995.

1 komentar:

Subandri Simbolon mengatakan...

Mantap laekku... Akan tetapi, satu pikiran kritis terhadap Eliade adalah dukungannya secara tidak langsung pada reduksi agama sebagai pengalaman individual semata. Memang bagi dia Yang Sakral itu memanifestasikan diri kepada manusia. namun, manusia yang mendapat anugerah itu adalah manusia yang tertentu atau yang ditentukan oleh Yang Sakral itu. Dalam hal ini, Eliade nampaknya gagal untuk menjawab apakah Yang Sakral bisa memanifestasikan dirinya kepada sekelompok orang sehingga mereka memiliki konsep yang sama tentang Yang Sakral?? Dengan kata lain, Yang Sakral hanya pengalaman private. Privatisasi Agama.