Herri Kiswanto Sitohang, SVD*
Sosok pemimpin selalu menjadi sorotan publik yang dipimpinnya. Hal itu tentu adalah suatu hal yang wajar. Aneka bentuk sorotan akan membuat seorang pemimpin mampu menyadari dirinya. Kesadaran diri menjadi satu elemen penting bagi seorang pemimpin untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Kesadaran diri memaksudkan pembentukan keterarahan diri akan kehendak, keberanian, dan kejujuran untuk meneliti dirinya sendiri. Akan tetapi sikap-sikap itu sering kali tidak muncul dari sosok pemimpin kita dewasa ini. Justru yang sering kali muncul adalah adanya sikap-sikap pembelaan diri atas kesalahan dan kelemahan serta menutupinya dengan sikap pencitraan diri agar tampak santun dan berwibawa. Oleh karena itu, aneka sorotan yang dilontarkan atas pemimpin tak jarang menjadi suara-suara yang berlalu begitu saja tanpa ada tanggapan positif dan perubahan konkrit yang dapat dilihat serta dirasakan oleh publik. Yang terjadi adalah seorang pemimpin tidak lagi mendengarkan publik yang dipimpinnya melainkan mendengarkan dan memuaskan dirinya sendiri. Inilah karakter pemimpin yang kerap dijumpai dewasa ini. Akan tetapi, di tengah situasi yang demikian pelik dan runyam, masih terdapat orang-orang yang mau memberi diri dan hati untuk memimpin semisal Jokowi-Ahok.
Apresiasi masyarakat luas maupun masyarakat Jakarta terhadap Jokowi-Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta akhir-akhir ini menunjukkan terpenuhinya kehausan publik akan model pemimpin yang mau mendengarkan dan memuaskan dahaga rakyatnya. Pemimpin yang mau mendengarkan dan memuaskan dahaga rakyat menajdi suatu model pendekatan yang sangat dinginkan oleh masyarakat pada umumnya. Inilah model pendekatan ditawarkan dan dijalankan oleh Jokowi-Ahok sebagai karakter kepemimpinannya. Dan ternyata, model pendekatan ini cukup ampuh untuk memuaskan dahaga publik Jakarta. Roda pemerintahan memang belum selesai hingga masa bakti, namun ukuran keberhasilan sudah mulai menampakkan wajahnya. Indikasi akan harapan untuk mau dan mampu mendengarkan serta memuaskan publik itulah yang membuat rakyat Jakarta begitu mengagumi Jokowi-Ahok sebagai sosok pemimpin idaman mereka.
Sesungguhnya, keberhasilan Jokowi-Ahok tidak semata-mata mau menunjukkan kehebatan pendekatan politik yang ditawarkan oleh pasangan ini, tetapi juga menjadi bukti akan kehausan publik terhadap model pemimpin yang diharapkan untuk zaman sekarang, yakni pemimpin yang mau mendengarkan dan memuaskan dahaga publiknya. Dan model pemimpin demikian sesungguhnya tidak hanya dimimpikan oleh masyarakat Jakarta, melainkan juga rakyat Indonesia pada umumnya. Banyak situasi dan kondisi rakyat Indonesia saat ini yang menuntut munculnya pemimpin yang mampu untuk mendengarkan dan memuaskan dahaga rakyat Indonesia saat ini. Mendengarkan dan memuaskan dahaga rakyat bukan semata-mata merujuk pada perkara psikologis. Kemampuan untuk mendengarkan dan memuaskan dahaga rakyat memaksudkan kemampuan holistik seorang pemimpin untuk merealisasikan kapasitas dirinya sebagai pemimpin, yakni pemimpin yang tampil sebagai seorang hamba yang mau melayani. Menjadi seorang pemimpin berarti juga menjadi hamba atas publik yang dipimpinnya. Pada saat yang sama, seorang pemimpin hendaknya menjadi pelayan yang mau melayani dan bukan untuk dilayani, seorang pemimpin yang mau mengangkat harkat dan martabat rakyatnya dan bukan mengangkat harkat dan martabatnya sendiri!
Mengutip terminologi yang digunakan oleh Dr. Anthony D’souza, seorang pemimpin ideal yang dimimpikan oleh Indonesia saat ini adalah pemimpin yang memiliki kemampuan untuk meng-ennoble, enable dan empower rakyatnya. Tiga kemampuan tersebut tidak dimaksudkan untuk dimiliki oleh seorang pemimpin bagi dirinya sendiri demi prestise dan gengsi di mata dunia, melainkan diperuntukkan untuk kepentingan rakyat. Apa artinya prestise dan gengsi bagi seorang pemimpin yang hanya mampu untuk meng-ennoble, enable, empower dirinya sendiri sedangkan rakyatnya merintih dan meraung-raung karena dihiraukan, dilemahkan dan diperdaya? Suatu kenyataan yang ironis dimana seorang pemimpin mampu meraih prestasi dan penghargaan di atas kertas sebagai pejuang lingkungan hidup dan ekonomi di mata dunia, sedangkan kenyataan lingkungan hidup di berbagai provinsi di Indonesia semakin hancur akibat perambahan hutan dan ekploitasi alam sebagai wujud investasi yang dikomersialkan demi kepentingan para pemilik modal dan kelompok yang terlibat didalamnya. Dan pada saat yang sama, tingkat ekonomi rakyat Indonesia pun belum mencapai titik kesejahteraan yang diharapkan. Quo vadis Indonesia?
Perkara menjadi pemimpin adalah soal memerjuangkan tata hidup bersama. Selama kekuasaan semasa kepemimpinan diarahkan hanya untuk kepentingan diri dan kelompok tertentu, selama itu pula sang pemimpin telah menodai nilai-nilai luhur kepemimpinan itu sendiri. Munculnya pemimpin dalam peradaban manusia ditujukan pertama-tama adalah untuk menciptakan kebaikan dan kesejahteraan bersama. Dengan kata lain, menciptakan kebaikan dan kesejahteraan bersama berarti juga mau dan mampu mendengarkan dan memuaskan dahaga rakyatnya. Maka perlu suatu perubahan pemahaman yang radikal akan makna kepemimpinan bagi siapa saja yang memiliki hasrat untuk menjadi pemimpin pada pilgub maupun pilpres 2014 mendatang, baik sebagai wakil independen maupun wakil partai. Menjadi pemimpin berarti harus memiliki kesadaran dan kemampuan diri yang holistik dan rela menjadi hamba serta gembala bagi rakyatnya!
*Herri Kiswanto Sitohang, SVD
Mahasiswa Program Magister STFT Widya Sasana-Malang