Herri Kiswanto Sitohang, SVD*
Sosok pemimpin selalu menjadi sorotan publik yang dipimpinnya. Hal itu tentu adalah suatu hal yang wajar. Aneka bentuk sorotan akan membuat seorang pemimpin mampu menyadari dirinya. Kesadaran diri menjadi satu elemen penting bagi seorang pemimpin untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Kesadaran diri memaksudkan pembentukan keterarahan diri akan kehendak, keberanian, dan kejujuran untuk meneliti dirinya sendiri. Akan tetapi sikap-sikap itu sering kali tidak muncul dari sosok pemimpin kita dewasa ini. Justru yang sering kali muncul adalah adanya sikap-sikap pembelaan diri atas kesalahan dan kelemahan serta menutupinya dengan sikap pencitraan diri agar tampak santun dan berwibawa. Oleh karena itu, aneka sorotan yang dilontarkan atas pemimpin tak jarang menjadi suara-suara yang berlalu begitu saja tanpa ada tanggapan positif dan perubahan konkrit yang dapat dilihat serta dirasakan oleh publik. Yang terjadi adalah seorang pemimpin tidak lagi mendengarkan publik yang dipimpinnya melainkan mendengarkan dan memuaskan dirinya sendiri. Inilah karakter pemimpin yang kerap dijumpai dewasa ini. Akan tetapi, di tengah situasi yang demikian pelik dan runyam, masih terdapat orang-orang yang mau memberi diri dan hati untuk memimpin semisal Jokowi-Ahok.
Apresiasi masyarakat luas maupun masyarakat Jakarta terhadap Jokowi-Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta akhir-akhir ini menunjukkan terpenuhinya kehausan publik akan model pemimpin yang mau mendengarkan dan memuaskan dahaga rakyatnya. Pemimpin yang mau mendengarkan dan memuaskan dahaga rakyat menajdi suatu model pendekatan yang sangat dinginkan oleh masyarakat pada umumnya. Inilah model pendekatan ditawarkan dan dijalankan oleh Jokowi-Ahok sebagai karakter kepemimpinannya. Dan ternyata, model pendekatan ini cukup ampuh untuk memuaskan dahaga publik Jakarta. Roda pemerintahan memang belum selesai hingga masa bakti, namun ukuran keberhasilan sudah mulai menampakkan wajahnya. Indikasi akan harapan untuk mau dan mampu mendengarkan serta memuaskan publik itulah yang membuat rakyat Jakarta begitu mengagumi Jokowi-Ahok sebagai sosok pemimpin idaman mereka.
Sesungguhnya, keberhasilan Jokowi-Ahok tidak semata-mata mau menunjukkan kehebatan pendekatan politik yang ditawarkan oleh pasangan ini, tetapi juga menjadi bukti akan kehausan publik terhadap model pemimpin yang diharapkan untuk zaman sekarang, yakni pemimpin yang mau mendengarkan dan memuaskan dahaga publiknya. Dan model pemimpin demikian sesungguhnya tidak hanya dimimpikan oleh masyarakat Jakarta, melainkan juga rakyat Indonesia pada umumnya. Banyak situasi dan kondisi rakyat Indonesia saat ini yang menuntut munculnya pemimpin yang mampu untuk mendengarkan dan memuaskan dahaga rakyat Indonesia saat ini. Mendengarkan dan memuaskan dahaga rakyat bukan semata-mata merujuk pada perkara psikologis. Kemampuan untuk mendengarkan dan memuaskan dahaga rakyat memaksudkan kemampuan holistik seorang pemimpin untuk merealisasikan kapasitas dirinya sebagai pemimpin, yakni pemimpin yang tampil sebagai seorang hamba yang mau melayani. Menjadi seorang pemimpin berarti juga menjadi hamba atas publik yang dipimpinnya. Pada saat yang sama, seorang pemimpin hendaknya menjadi pelayan yang mau melayani dan bukan untuk dilayani, seorang pemimpin yang mau mengangkat harkat dan martabat rakyatnya dan bukan mengangkat harkat dan martabatnya sendiri!
Mengutip terminologi yang digunakan oleh Dr. Anthony D’souza, seorang pemimpin ideal yang dimimpikan oleh Indonesia saat ini adalah pemimpin yang memiliki kemampuan untuk meng-ennoble, enable dan empower rakyatnya. Tiga kemampuan tersebut tidak dimaksudkan untuk dimiliki oleh seorang pemimpin bagi dirinya sendiri demi prestise dan gengsi di mata dunia, melainkan diperuntukkan untuk kepentingan rakyat. Apa artinya prestise dan gengsi bagi seorang pemimpin yang hanya mampu untuk meng-ennoble, enable, empower dirinya sendiri sedangkan rakyatnya merintih dan meraung-raung karena dihiraukan, dilemahkan dan diperdaya? Suatu kenyataan yang ironis dimana seorang pemimpin mampu meraih prestasi dan penghargaan di atas kertas sebagai pejuang lingkungan hidup dan ekonomi di mata dunia, sedangkan kenyataan lingkungan hidup di berbagai provinsi di Indonesia semakin hancur akibat perambahan hutan dan ekploitasi alam sebagai wujud investasi yang dikomersialkan demi kepentingan para pemilik modal dan kelompok yang terlibat didalamnya. Dan pada saat yang sama, tingkat ekonomi rakyat Indonesia pun belum mencapai titik kesejahteraan yang diharapkan. Quo vadis Indonesia?
Perkara menjadi pemimpin adalah soal memerjuangkan tata hidup bersama. Selama kekuasaan semasa kepemimpinan diarahkan hanya untuk kepentingan diri dan kelompok tertentu, selama itu pula sang pemimpin telah menodai nilai-nilai luhur kepemimpinan itu sendiri. Munculnya pemimpin dalam peradaban manusia ditujukan pertama-tama adalah untuk menciptakan kebaikan dan kesejahteraan bersama. Dengan kata lain, menciptakan kebaikan dan kesejahteraan bersama berarti juga mau dan mampu mendengarkan dan memuaskan dahaga rakyatnya. Maka perlu suatu perubahan pemahaman yang radikal akan makna kepemimpinan bagi siapa saja yang memiliki hasrat untuk menjadi pemimpin pada pilgub maupun pilpres 2014 mendatang, baik sebagai wakil independen maupun wakil partai. Menjadi pemimpin berarti harus memiliki kesadaran dan kemampuan diri yang holistik dan rela menjadi hamba serta gembala bagi rakyatnya!
*Herri Kiswanto Sitohang, SVD
Mahasiswa Program Magister STFT Widya Sasana-Malang
Sabtu, 31 Agustus 2013
Kamis, 04 Juli 2013
Memahami Religiusitas (Dalam Charles Taylor dan Madhayama Pratipad Buddhisme)
Oleh Herri Kiswanto Sitohang
NIM: 1201013
Religiusitas merupakan suatu cetusan
nilai-nilai luhur yang dihidupi dan dihayati oleh manusia secara serius dalam
hidupnya. Ungakapan secara serius memaksudkan kualitas manusia yang
sungguh mau melibatkan dan memadukan seluruh kemampuan manusiawinya secara
holistik, baik kemampuan merasa maupun kemampuan berpikirnya. Tanpa memisahkan
dan mengesampingkan salah satu diantaranya. Nilai-nilai luhur tersebut diperoleh
lewat ajaran-ajaran agama maupun kearifan-kearifan budaya yang melingkupinya
dan tercetus dalam berbagai bentuk sikap maupun tindakan hidup kesehariannya. Dengan
demikian, eksistensi manusia tampil sebagai pribadi yang sungguh-sungguh
manusiawi dan sekaligus ilahi. Cetusan
nilai-nilai luhur tersebut serentak
memengaruhi pola hidup dan interaksinya dengan dirinya sendiri (kemampuan
refleksif) maupun interaksinya dengan orang lain (kemampuan aktualitatif).
Tema religiusitas menjadi suatu tema
yang urgent untuk digali dan dibahas di tengah dunia sekuler dewasa ini. Dunia
sekuler dewasa ini menawarkan aneka kemungkinan yang membuat manusia terlena
dan hanyut dalam arus globalisasi yang sering kali mengabaikan nilai-nilai
religius maupun nilai-nilai luhur kebudayaannya sendiri. Nilai-nilai religius dan
kearifan-kearifan budaya menjadi seolah-olah tidak penting karena pola pikir
manusia yang egoistik dan individualistik. Oleh karena itu, segala sesuatu
dimaknai sebagai produk akal budi manusia semata tanpa melihat adanya keterlibatan
nilai-nilai religius dan nilai-nilai budaya serta proses penyelenggaran Ilahi
di dalamnya.Sikap semacam ini bahkan merasuk ke dalam pribadi-pribadi yang
beragama. Dengan demikian tampak bahwa memeluk agama tidak menjadi ukuran untuk
melihat kedalaman penghayatan nilai-nilai religius. Hal itulah yang sedang
terjadi di dunia barat dan sudah mulai merebak hingga ke dunia timur pada zaman
ini. Di tengah situasi dunia yang demikian peliknya, masih adakah ruang untuk
berbicara tentang religiusitas?
Dalam kamus tesaurus bahasa Indonesia
diartikan bahwa religiusitas adalah kesalehan.[1]
Dari pengertian ini tampak jelas bahwa religiusitas bukan hanya menyentuh soal
kemampuan akal budi melainkan juga kemampuan rasa yang secara bersamaan
teraktualisasi dalam penghayatan hidup sehari-hari. Religiusitas sebagai
kesalehan tidak membataskan diri hanya pada tindakan-tindakan kontemplatif,
yakni cara berdoa dan bermeditasi dengan segala aspek yang menyertainya.
Melainkan juga meliputi tindakan aktif, yakni cara berpikir dan bertindak yang
baik dan benar. Oleh karena itu, religiusitas dapat dikatakan sebagai
penggabungan antara kontemplasi dan aksi.
Pembahasan mengenai hal inilah yang akan
digali dalam tulisan ini. Tulisan ini mencoba menggali pemahaman mengenai
religiusitas dari dua perspektif, yakni perspektif dunia Barat dan dunia Timur.
Perspekstif dunia Barat diwakili oleh pemikiran Charles Taylor dan perspektif
dunia timur diwakili oleh pemikiran tentang Madhayama Pratipad dalam Buddhisme.
Religiusitas
Dalam Charles Taylor dan Madhayama Pratipad Buddhisme
Religiusitas memiliki aspek relasional
antara pribadi manusia dengan nilai-nilai luhur yang melingkupinya. Relasi ini
saling melengkapi satu sama lain. Pribadi manusia tanpa nilai-nilai luhur yang
melingkupinya akan kehilangan maknanya. Sebaliknya, nilai-nilailuhur tanpa
pribadi manusia yang menghidupinya akan menghasilkan nihilisme. Dan pada saat
yang sama, nilai-nilai luhur itu sesungguhnya adalah produk dari manusia itu
sendiri. Dua aspek ini ibarat dua sisi mata uang. Inilah yang menjadi salah
satu produk unggulan manusia sebagai manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk
lain. Religiusistas disebut sebagai produk unggulan karena menyentuh aspek
esensial dari manusia yakni kemampuan berpikir dan kemampuan merasa yang
teraktualisasi secara bersamaan lewat sikap dan tindakan hidup manusia. Semuanyaitu
terkristalisasi di dalam nilai-nilai luhur yang dipahami secara transendental.
Religiusitas dalam pemikiran Charles
Taylor dan Madhayama Patipad Buddhisme tidak muncul begitu saja. Pemikiran ini
lahir melalui proses pergumulan yang serius. Tujuannya tidak lain adalah untuk
kebaikan manusia dan menciptakan dunia yang sangat bernilai. Dua bentuk
pemikiran ini memiliki intensi yang sama yakni agar manusia semakin menyadari
eksistensinya sebagai makhluk yang lebih unggul dan luhur dibandingkan makhluk
lain.
Religiusitas
Dalam Charles Taylor
Charles
Taylor merupakan salah satu filosof yang memiliki pemikiran brilian berkaitan
dengan tema-tema yang menyentuh persoalan manusia pada abad ini. Berdasarkan
pemikirannya, Charles Taylor dapat juga disebut sebagai seorang filosof yang
religius. Dia menghasilkan banyak publikasi yang menjadi bahan inspirasi banyak
orang dewasa ini. Salah satu publikasinya yang sangat terkenal adalah A Secular Age. Di dalam publikasi
inilah, Charles Taylor menuangkan pemikirannya mengenai religiusitas, sekalipun
tema tersebut tidak secara eksplisit diungkapkan. Bahkan kata religiousity tidak ditemukan dalam
karyanya ini, kecuali kata religious.
Akan tetapi, pembahasan mengenai religiusitas tidak terbatas hanya menunjuk
pada kata religiousatau religiousity, tapi terungkap lewat kata
atau pernyataan lain yang mengandung makna religiusitas itu sendiri. Kata kunci
yang menjadi rujukan pembahasan mengenai religiusitas berdasarkan karyanya yang
berjudul A Secular Ageini adalah Sense of Fullness (cita rasa kepenuhan
dan kedalaman).
Pada
bagian pengantar buku ini, Charles Taylor mengungkapkan bahwa:“...the sense of fullness came in an
experience which unsettles and breaks through our ordinary sense of being in
the world...”[2]
Pernyataan ini secara jelas menegaskan bahwa cita rasa kepenuhan dan kedalaman
itu muncul dalam suatu pengalaman yang tidak diatur atau direncanakan dan cita
rasa tersebut menembus batas pemahaman manusia biasa di dunia ini. Dengan
demikian jelaslah bahwa cita rasa itu hanya mungkin dimiliki oleh “manusia-manusia
yang luar biasa” atau dalam bahasa saya adalah manusia yang serius, yang
sungguh-sungguh memadukan daya kemampuan rasional dan afektifnya (reflektif)
secara transendental. Terminologi serius disini tidak hendak menunjuk pada
ekspresi wajah yang berkerut, tapi menunjuk pada kualitas manusia yang holistik
dan integral. Tentu, “manusia yang luar biasa” ini menjadi luar biasa bukan
karena ia diciptakan Tuhan secara khusus dan berbeda dengan manusia lain.
Melainkan karena ia mampu merefleksikan realitas hidupnya dengan memadukan
kemampuan rasional dan refleksif secaratransendental. Hal ini sesuai dengan apa
yang ditegaskan oleh Charles Taylor sendiri yakni bahwa “...sense of fullness is a reflection of transcendent reality (which for
me is the God of Abraham),...”[3]Perpaduan
kemampuan rasional dan refleksif ini memaksudkan aktivitas budi manusia yang
mengeksplorasi keluhuran martabatnya dan keluhuran hidup bersamanya. Yang
dihidupi dan diperjuangkan adalah pencarian kedalaman dan kebenaran. Dari
penjelasan ini jelaslah bahwa “manusia luar biasa” adalah manusia yang sama
dalam hal eksistensi dengan manusia lain. Ia juga adalah manusia yang terbatas
dan tidak sempurna. Akan tetapi, melalui keterbatasannya itu ia mampu mengatasi
dan melampaui pemahaman kedangkalan dan kenaifan manusia biasa pada umumnya.Kemampuan
inilah yang membuatnya menjadi pribadi yang luar biasa dan berbeda dengan
pribadi lain. Ia mampu memahami dan mengahayati nilai-nilai luhur yang
melingkupi hidupnya secara transendental.
Pengalaman
sense of fullness ini tidak
semata-mata merupakan hasil karya manusia, melainkan datang dari Tuhan sendiri.
Charles Taylor menyatakan bahwa “...experiencing
fullness as a gift from God...”[4]
Sehingga, pengalaman sense of fullness pada
saat yang sama hendak menunjukkan keterbatasan manusia di satu pihak dan
keagungan Tuhan di lain pihak.[5]Akan
tetapi, manusia yang memiliki kualitas sense
of fullness ini bukanlah “manusia setengah dewa,” melainkan manusia yang religius.
Seorang manusia yang religius adalah pribadi yang terdiri atas realitas diri
dan lingkungan hidup yang terbatas serta terkadang berhadapan dengan situasi
hidup yang tidak selalu sesuai dengan apa yang diinginkannya, namun penghayatan
hidupnya selalu terarah kepada dimensi transendental, yakni Tuhan.Oleh karena
itu, sense of fullness ini dapat juga
dimengerti sebagai suatu kualitas diri.Keterahan diri pada dimensi transendetal
inilah yang kemudian menjadi aspek penting dalam usaha menciptakan suatu
societas atau dunia yang sangat bernilai (worthwhile).[6]
Penjelasan di
atas tampak secara jelas mengungkapkan bahwa bagi Charles Taylor religiusitas
selalu terkait dengan sense of fullness.
Bahkan sense of fullnes adalah
religiusitas itu sendiri. Cita rasa kepenuhan ini merupakan suatu elemen dasar
untuk membuat hidup manusia itu menjadi sangat bernilai. Hidup manusia menjadi
sangat bernilai karena sense of fullness
dalam dirinya sendiri memiliki unsur redemptif
(penebusan, menyelamatkan, membebaskan).[7]
Charles Taylor menunjuk kepada dimensi pribadi Yesus yang manusiawi sebagai
contoh yang paling konkrit dalam sejarah kehidupan Kristiani dan pribadi Budha dalam
Buddhisme mengenai sense of fulness ini.
Charles Taylor menegaskan “The Buddha
achieves Enlightenment; Christ consents to a degrading death to follow his
father’s will.”[8]
Dua tokoh besar ini menjadi contoh yang sangat representatif karena dalam
dirinya sendiri sebagai manusia, mereka memancarkan cahaya penebusan atau
pencerahan sekalipun hidup di tengah dunia yang carut marut. Mereka menampilkan
dimensi transendental lewat seluruh pengalaman manusiawi mereka.[9]
Tentu, contoh ini tidak serta merta hendak menyatakan bahwa dua tokoh besar ini
adalah sama dan sederajat. Yang
hendak ditekankan dalam hal ini adalah bahwa kedua tokoh ini sama-sama memiliki
dimensi sense of fullness sebagai
manusia di tengah realitas kehidupan yang profan dan penuh kedosaan ini.
Religiusitas atau sense of fullness adalah
pengalaman yang menyelamatkan dan membebaskan dari situasi hidup yang profan
dan penuh kedosaan serta penuh ketidakpastian ini.[10]
Religiusitas
Dalam Madhayama Pratipad Buddhisme
Pembahasan mengenai Madhayama Pratipad
merupakan suatu pembahasan yang menyentuh persoalan manusia. Pemahaman dasarnya
adalah bahwa manusia itu terbatas dan karena itu mengalami banyak penderitaan
dalam hidupnya. Penderitaan itu muncul karena keterbatasan dan kedangkalan
manusia dalam memahami dan menghidupi hidup kesehariaannya. Poin yang hendak
ditonjolkan dalam pembahasan mengenai Madhayama Pratipad ini adalah bahwa penderitaan
itu mestinya dapat dihindarkan dalam hidup manusia, sekalipun manusia itu
adalah makhluk yang terbatas. Melalui perpaduan instrumen kodratif yang
dimiliki, yakni perpaduan kemampuan rasio dan kemampuan afektif/refleksif yang
senantiasa terarah pada dimensi transendental dalam pelaksanaannya, manusia
mampu mengatasi penderitaan dalam hidupnya.Dalampelaksanaan dan penghayatan
konkritnya, fungsi instrumen-instrumen tersebut tidak dapat dipisahkan satu
sama lain, melainkansaling melengkapi dan mendukung satu sama lain. Dan pada
saat bersamaan, instrumen kodratif yang dimiliki oleh manusia itu sesungguhnya akan
mampu menghantarnya menjadi manusia religius, yakni seorang pribadi terbatas
yang hidupnya selalu terarah pada dimensi-dimensi transendental. Perpaduan
instrumen kodratif secara transendental inilah yang menjadi jawaban terhadap penanggulan
penderitaan dalam hidup manusia. Sebab memang penderitaan dalam hidup manusia
sering kali diakibatkan karena kesalahan dan melemahnya fungsi instrumen
kodratif manusiawi itu sendiri.
Madhayama Pratipad adalah delapan jalan mulia
untuk menghentikan putaran penderitaan dalam kepercayaan Buddhisme.[11]Delapan
jalan mulia tersebut adalah: samyak drsti
(pengertian yang benar), samyak
samkala (pikiran yang benar), samyak
Vak (pembicaraan yang benar), samyak
Karmanta (tindakan yang benar), samyak
Ajiva (mata pencaharian yang benar), samyak
Vyayama (usaha diri yang benar), samyak
Smrti (pemusatan pikiran yang benar), dan samyak Samadhi (keheningan
dalam konsentrasi yang benar).[12]Delapan
jalan mulia ini menunjukkan satu jalan praktis untuk menghilangkan
ketidaktahuan dan hasrat yang menjadi penyebab dari penderitaan dalam hidup
manusia.[13]
Pokok utama jalan ini adalah pengolahan kebijaksanaan, tingkah laku moral dan
disiplin mental yang diperlukan untuk menghilangkan penderitaan dengan berbagai
aspek yang menyertainya. Kedelapan jalan kebenaran dalam Buddhisme ini
bertujuan untuk mencapai suatu hidup yang penuh integratif dalam tingkat
tertinggi. Dalam bahasanya Charles taylor, hidup yang penuh integratif dalam
tingkat tertinggi ini disebut sebagai hidup yang sangat bernilai (worthwhile).
Pembahasan selanjutnya adalah apa yang
dimaksud dengan delapan jalan mulia itu. Berikut ini adalah penjelasan singkat
mengenai pemahaman tentang delapan jalan mulia dalam tradisi Buddhisme. Pertama, pengertian yang benar.
Pengertian yang benar memaksudkan agar manusia hendaknya tahu mengenai apa itu
penderitaan, apa yang menjadi sebab penderitaan, jalan menghilangkan
penderitaan, dan bagaimana keadaan ketika penderitaan itu dapat diatasi. Kedua, pemikiran yang benar. Pemikiran yang benar artinya adalah
bahwa setelah memahami itu semua aspek yang dijelaskan dalam pengertian yang
benar di atas, maka manusia hendaknya mengarahkan kehendak dan akal budinya
untuk menghayati semuanya itu secara lebih mendalam. Ketiga, pembicaraan yang benar. Pembicaraan yang benar memaksudkan
agar manusia menjauhkan dirinya dari perkataan dusta, menipu, memfitnah, memaki
dan beromong kosong. Keempat,
tindakan yang benar. Tindakan yang benar memaksudkan agar manusia menjauhkan
diri dari perbuatan yang membuat hidup orang menderita, membunuh, mencuri dan
berbuat cabul maupun berzinah. Kelima, mata
pencaharian yang benar. Mata pencaharian yang benar ini menuntut agar manusia
mampu menghidupi dirinya dengan mencari pekerjaan yang tidak merugikan orang
lain. Keenam, usaha diri yang benar.
Usaha diri yang benar identik dengan ulah batin. Manusia hendaknya berusaha
menjauhkan pikiran dan maksud jahat dalam pikirannya. Manusia harusnya
memusatkan daya batinnya untuk memunculkan segala pikiran
baik dan memelihara pikiran tersebut. Ketujuh,
pemusatan pikiran yang benar. Pemusatan pikiran yang benar menuntut agar
manusia memusatkan daya batin pada badannya serta membuat badannya mengatasi
segala kecenderungan badani maupun kelesuan badani. Kedelapan, keheningan dalam konsentrasi yang benar. Jalan kebenaran
yang kedelapan ini memaksdukan agar manusia mampu berkonsentrasi penuh dalam
dirinya sehingga dia tidak terpengaruh oleh rangsangan nafsu dan pikiran jahat.
Manusia mampu melepaskan pengaruh segala beban pikirannya dan selanjutnya ia
masuk dalam kesadaran yang hening dan tenang. Pada akhirnya, manusia itupun
akan mengalami kebahagiaan abadi.
Delapan jalan mulia inilah sesungguhnya
yang dimaksudkan dengan religiusitas dalam tradisi Buddhisme. Religiusitas
pertama-tama menyentuh persoalan cara bagaimana penghayatan hidup manusia dalam
interaksinya dengan dirinya sendiri, lingkungan atau sesamanya dan dengan
Realitas Yang Mengatasi kemanusiaannya. Delapan jalan mulia menampilkan semua
dimensi tersebut. Ajaran Buddha ini secara implisit hendak menegaskan bahwa
pribadi manusia yang terbatas memiliki dimensi-dimensi transendental yang mampu
membuat hidup manusia menjadi lebih bernilai. Sebagaimana pengalaman Buddha
yang mengalami pencerahan lewat jalan yang sama, demikian juga manusia
sesungguhnya mampu mengalami pencerahan yang sama lewat delapan jalan mulia
tersebut. Oleh karena itu, delapan jalan mulia yang diajarkan oleh Buddha ini
mengarah pada tujuan yang luhur dan mulia yakni agar manusia memperoleh
penebusan dan pembebasan maupun keselamatan atas keterbatasan manusiawi yang
dimilikinya (redemptif).
Kesimpulan
Religiusitas dalam Charles Taylor dan
Madhayama Pratipad Buddhisme sama-sama mengurusi pergumulan mengenai bagaimana
manusia harus menjalani hidup kesehariaannya di dunia ini. Fakta bahwa manusia
dan dunia ini penuh dengan keterbatasan dengan segala dimensi yang menyertainya
tidak menjadi alasan untuk membuat manusia itu tidak dapat berbuat apa-apa
dalam mengatasi keterbatasannya. Manusia dilengkapi dengan akal budi dan
kehendak sebagai instrumen kodratif untuk mengatasi kedangkalan pemahaman yang
seringkali mengakibatkan persoalan dalam hidupnya. Namun penting bagi manusia
tersebut untuk mampu memadukan instrumen-instrumen tersebut tanpa melepaskan
salah satu diantaranya. Manusia diajak untuk mampu melihat realitas kehidupan
manusia yang terbatas dengan berbagai aspeknya ini secara transenden. Religiusitas
mengarahkan manusia untuk memahami realitas hidupnya dengan keterarahan pada
Realitas Yang Mengatasi hidup manusia itu sendiri.
Dalam dunia sekuler dewasa ini, Charles
Taylor maupun pemikiran tentang Madhayama Pratipad Buddhisme menawarkan bentuk
penghayatan hidup yang bersifat realistis sekaligus transenden
untuk menjawabi gaya dan pola hidup yang rasionalistis dan individualistis.
Tujuan dari dua pemikiran ini adalah untuk menciptakan dunia yang sangat
bernilai bagi manusia. Di dalam dua pemikiran ini, manusia dilihat sebagai
pribadi yang dinamis dalam dirinya sendiri untuk mengatasi keterbatasannya.
Manusia dituntut untuk selalu mengarahkan seluruh diri pada aspek-aspek
transendental dalam melihat dan memahami realitas hidup kesehariannya. Dalam
usaha melihat dan memahami realitas hidup keseharian manusia tersebut
dibutuhkan cara pandang manusiawi yang sekaligus ilahi.
Pergumuluan mengenai religiusitas di
dalam pemikiran Charles Taylor dan Madhayama Pratipad Buddhisme ini hendak
menegaskan bahwa manusia itu memiliki dimensi ilahi dalam dirinya. Dimensi
ilahi itulah yang memampukan manusia untuk memahami realitas hidupnya secara
lebih luhur dan mulia (secara transendental).Ini adalah suatu anugerah yang
diberikan Tuhan kepada manusia. Akan tetapi, anugerah tersebut menuntut usaha
dan tanggapan yang tiada henti dari manusia. Sebab apabila manusia tidak
mengusahakan dan menanggapi anugerah tersebut, maka manusia itu akan jatuh
dalam kedangkalan dan hanya menonjolkan sisi manusiawinya semata. Hal itulah
yang seringkali mengakibatkan manusia menjadi pribadi yang sombong dengan
rasionalitasnya dan juga menjadi individualistik. Hanya dengan usaha dan
tanggapan yang serius dari manusia, maka anugerah dimensi ilahi dalam diri
manusia itu akan menghasilkan anugerah penebusan, keselamatan dan pembebasan
atas keterbatasan manusia itu sendiri (redemptif).
Hanya dengan demikian, manusia pun akan mampu menjadi aktor dan aktris yang
membuat dunia ini menjadi sangat bernilai untuk dirinya dan sesamanya.
DAFTAR PUSTAKA
Endarmoko Eko.Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia,
2007.
Koller
M John. Filsafat Asia (terj. Donatus
Sermada). Maumere: Ledalero, 2010.
Reksosusilo
S. Sejarah Filsafat Timur. Malang:
Pusat Publikasi Filsafat Teologi Widya Sasana, 2008.
Riyanto
Armada E. Berfilsafat Politik. Yogyakarta:
Kanisius, 2011.
---------------------- Dialog
Interreligius.Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Taylor
Charles.A Secular Age. USA: The
Belknap Press of Harvard University Press, 2007.
[1] Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, Jakarta:
Gramedia, 2007, hlm. 519
[2]Charles Taylor, A Secular Age, USA: The Belknap Press
of Harvard University Press, 2007, hlm. 5
[5]Prof. Dr. E. Armada Riyanto, CM, Berfilsafat Politik, Yogyakarta:
Kanisius, 2011, hlm. 44
[9]Bdk. Prof. Dr. E. Armada Riyanto,
CM., Dialog Interreligius,
Yogyakarta: Kanisius, 2010, hlm. 265
[11]Dr. S. Reksosusilo, CM., Sejarah Filsafat Timur, Malang: Pusat
Publikasi Filsafat Teologi Widya Sasana, 2008,
hlm. 28
[12]Ibid.
[13]John M. Koller, Filsafat Asia (terj. Donatus Sermada), Maumere:
Ledalero, 2010, hlm. 322
Langganan:
Postingan (Atom)