}

Sabtu, 22 Maret 2008

Dunia “Idea” Dalam Perspektif Plato



Dunia “Idea” Dalam Perspektif Plato
Oleh : Herri Kiswanto Sitohang

I. Pengantar
Plato (427SM - 347SM) seorang filsuf Yunani yang termasyhur. Ia adalah murid Sokrates dan guru Aristoteles. Plato adalah seorang filsuf Barat yang paling populer dan dihormati di antara filsuf lainnya. Karya-karyanya menjadi rujukan awal bagi perkembangan filsafat dunia. Plato dilahirkan di Athena sekitar tahun 427 SM. Keluarganya paling terpandang di Athena. Pemikiran filsafatnya sangat dipengaruhi oleh gurunya, Socrates, yang telah mengajarinya selama 8 tahun. Hingga saat sang guru diadili dan dihukum, ia masih berusia 28 tahun. Setelah Socrates meninggal pada tahun 399 SM, karena terancam jiwanya akibat perang saudara kaum aristokrat dan kaum moderat serta diliputi kesedihan sepeninggal gurunya, Plato meninggalkan Athena bersama sahabat-sahabatnya. Mulai saat itulah ia melakukan perjalanan ‘filsufi’ ke berbagai kota. Hingga saat ia kembali ke Athena, ia membeli beberapa lahan di luar benteng kota Athena yang dikenal dengan nama Grove of Academus (Hutan Academus).[1] Di sinilah awal dari tumbuhnya sekolah yang terkenal yang dinamakan Akademi. Akademi ini merupakan cikal bakal universitas Abad Pertengahan dan Abad Modern yang selama 900 tahun menjadi sekolah yang mengagumkan di seluruh dunia.
Selama sisa hidupnya ia tidak menikah, waktunya selama 40 tahun banyak dihabiskan untuk mengajar dan menulis di Akademi. Walau setelah 20 tahun mengajar ia sempat ke Syracuse, untuk mendidik raja muda yakni Dionisius II. Dia menjadi seorang raja filsuf, yakni filsuf yang menjadi raja atau raja yang belajar filsafat. Ini berkaitan dengan misi hidupnya mencapai cita-cita bagi perkembangan filsafat sejati dan pendidikan bakal raja filsuf di Akademi. Baginya raja dengan pengetahuan yang baik akan mampu mengetahui kebenaran, keadilan sejati sehingga mampu menjalankan pemerintahan terbaik. Sebuah cita-cita yang di suatu masa di kemudian hari banyak memberi pengaruh terhadap raja-raja Eropa. Selepas itu ia kembali ke Akademi hingga meninggal dunia pada tahun 348 SM dalam usia 80 tahun.
Selama hidupnya, Plato rajin menulis. Banyak karya Plato dalam bentuk dialog.[2] Dalam dialog itu pada umumnya Plato memakai Sokrates untuk mengemukakan pandangan-pandangannya. Semua karya Plato, lebih dari 25 jumlahnya, masih ada. Yang paling terkenal adalah 10 buku (atau bab) Politeia ("Negara"), yang memuat ajaran Plato yang termasyur tentang negara. Tulisan-tulisan itu amat berpengaruh terhadap pemikiran Eropa selanjutnya. Pernyataan Alfred N. Whitehead bahwa seluruh filsafat pasca-Plato hanyalah sekadar catatan kaki terhadap karya Plato tidak jauh dari kebenaran.

II. Pertentangan Filsafat Pra-Sokratik
Pada zaman pra-sokratik, ada satu persoalan besar dalam filsafat, yaitu pertentangan antara Heraklitos dan Parmenides. Parmenides berpendapat bahwa yang ada ada, yang tidak ada tidak ada. Konsekuensi dari pernyataan ini adalah yang ada 1) satu dan tidak terbagi, 2) kekal, tidak mungkin ada perubahan, 3) sempurna, tidak bisa ditambah atau diambil darinya, 4) mengisi segala tempat, akibatnya tidak mungkin ada gerak sebagaimana klaim Heraklitos. Heraklitos menyatakan bahwa api sebagai dasar segala sesuatu. Api adalah lambang perubahan, karena api menyebabkan kayu atau bahan apa saja berubah menjadi abu sementara apinya sendiri tetap menjadi api. Herakleitos juga berpandangan bahwa di dalam dunia alamiah tidak sesuatupun yang tetap. Segala sesuatu yang ada sedang menjadi. Pernyataannya yang masyhur "Pantarhei kai uden menei" yang artinya semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal tetap.[3]
Filsafat Plato yang sampai kepada kita melalui karyanya itu bertitik pangkal pada adanya pertentangan antara Ada dan Menjadi, antara Satu dan Banyak, antara Tetap dan Berubah-ubah. Manakah dari kedua alternatif tersebut dapat dipilih sebagai titik pangkal filsafat yang memang sedang mencari satu asas utama? Manakah dari kedua alternatif itu dapat dianggap sebagai kenyataan (dan pengetahuan) yang sejati (Yunani: "ontos on", "benar-benar ada"), manakah yang semu (Yunani: "doza", "perkiraan" atau "maya")? Dalam dialog-dialognya, Plato menampilkan Sokrates beserta cara kerjanya supaya mereka yang menjadi kawan dialognya menemukan dalam diri mereka suatu kepastian pengetahuan. Pengetahuan itu berasal dari dalam jati dirinya yang bersifat bawaan (Inggris: Innate) sejak lahir. Pengetahuan itu mengalahkan segala keragu-raguan yang muncul berdasarkan segala penampilan dan pengalaman jasmani atau inderawi yang bermacam-macam (berganti-ganti, berubah-ubah). Oleh karena itu, terdapatlah pertentangan antara jati diri dengan penampilan yang dialami setiap manusia.

III. Dunia Idea Dalam Perspektif Plato
Pemecahan atau pencairan pertentangan itu dirumuskan Plato lebih lanjut dengan memakai suatu istilah yang seakan-akan berasal dari dunia pengetahuan dalam arti amat luas. Istilah itu adalah idea. Kata Yunani itu mempunyai akar "Wid" dengan arti "melihat" dengan mata kepala (Latin: "Videra", Inggris: "Vision") maupun menatap dengan mata batin sampai "mengetahui" (Jerman: "Wissen"; Inggris: "Wisdom").[4] Menurut Plato, pada awalnya, jati diri atau jiwa manusia hidup di "dunia idea" atau surga, dan dunia itu jauh dari dunia fana ini. Sejak awal jiwa berada di dunia fana, maka secara bawaan ia menatap dengan batinnya idea-idea sempurna dan abadi. Umpamanya idea tentang kebaikan, kebenaran, keindahan, keadilan, tetapi juga idea manusia atau kuda. Entahlah karena peristiwa apa, jiwa manusia itu "jatuh" dari dunia idea-idea itu ke dalam dunia ini sampai ke dalam "penjara" yaitu tubuh manusia. Melalui indera tubuhnya (terutama mata) ia melihat dan menatap dunia fana yang terdiri atas bayang-bayang atau "bayangan" dari idea-idea yang "semula" pernah ditatapnya secara murni. Lalu manusia ingat akan idea-idea murni itu yang "dahulu kala" ditatapnya dan yang secara bawaan memang menemaninya secara terselubung.
Bagi Plato, dunia “idea” adalah dunia yang nyata. Dimana dia mengungkapkan bahwa ide-ide itu bukanlah merupakan hasil dari pemikiran manusia, melainkan berdiri sendiri.[5] Plato mau mengungkapkan pendapatnya mengenai realitas yang adalah merupakan sesuatu yang melampaui daya pemikiran manusiawi (transcenden). Pandangan Plato ini menunjukkan bahwa realitas yang sesungguhnya bukanlah realitas inderawi (yang dapat dirasa, diraba, dilihat,didengar dan dihirup oleh panca indera manusia), tetapi merupakam realitas yang bersifat rohani dan oleh Plato hal itu disebut Idea.[6] Idea tersebut bersifat abadi dan tak berubah. Bagi Plato idea bukanlah gagasan yang hanya terdapat dalan pikiran saja (yang bersifat subyektif), tapi juga bersifat obyektif yakni yang berdiri sendiri, lepas dari subyek yang berpikir, tidak tergantung pada pemikiran manusia; akan tetapi justru idealah yang memimpin pikiran manusia.[7] Contohnya adalah idea manusia, dimana tiap orang berbeda dengan orang lain, tidak ada dua orang yang persis sama, tetapi keduanya adalah sama-sama manusia. Hal ini disebakan karena tiap manusia mendapat bagian daripada idea manusia.[8]
Menurut paham Plato, idea tidak saja pengertian jenis, tapi juga bentuk dari keadaan yang sebenarnya. Idea bukanlah suatu pikiran, melainkan suatu realita. Dalam hal ini, Plato melahirkan dua macam dunia, yaitu dunia yang kelihatan dan bertubuh dan dunia yang tak kelihatan dan tak bertubuh.[9] Pendapat Plato tentang dunia yang tak bertubuh yakni dunia yang lahir, terdiri daripada barang-barang yang dapat kita lihat dan alami, yang berubah senantiasa menurut benda dan waktu merupakam pendapat Parmenides tentang adanya yang satu, kekal dan tidak berubah-ubah. Sedangkan dunia yang bertubuh adalah dunia yang dapat diketahui dengan pandangan dan pengalaman. Dalam dunia itu semuanya bergerak dan berubah senantiasa, tidak ada yang tetap dan kekal. Ajaran Herakleitos tentang semuanya mengalir, dimana tidak ada yang tetap dapat ditampung dalam dunia Plato yang bertubuh tersebut.[10]
Untuk lebih memahami pikiran Plato tentang idea, kita dapat memakai perumpamaan yang terdapat di buku ketujuh Politeia, yaitu "perumpamaan tentang gua". Bayangkan sebuah gua; di dalamnya ada sekelompok tahanan yang tidak dapat memutarkan badan, duduk, menghadap tembok belakang gua. Di belakang para tahanan itu, di antara mereka dan pintu masuk, ada api besar. Di antara api dan para tahanan (yang membelakangi mereka) ada budak-budak yang membawa berbagai benda, patung, dan lainnya. Yang dapat dilihat oleh para tahanan hanyalah bayang-bayang dari benda-benda itu. Karena itu, mereka berpendapat bahwa bayang-bayang itulah seluruh realitas. Namun, ada satu dari para tahanan dapat lepas. Ia berpaling dan melihat benda-benda yang dibawa para budak dan api itu. Sesudah ia susah payah keluar dari gua dan matanya membiasakan diri pada cahaya, ia melihat pohon, rumah, dan dunia nyata di luar gua. Paling akhir ia memandang ke atas dan melihat matahari yang menyinari semuanya. Akhirnya ia mengerti, bahwa apa yang dulunya dianggap realitas bukanlah realitas yang sebenarnya, melainkan hanya bayang-bayang dari benda-benda yang hanya tiruan dari realitas yang sebenarnya di luar gua.
Plato memakai perumpamaan itu dalam rangka usahanya untuk menerangkan apa yang terjadi pada saat manusia mengenal atau mengetahui sesuatu. Sesuatu yang bukan lagi realitas inderawi, yang hanya cerminan realitas yang sebenarnya dalam medium materi (patung-patung yang meniru apa yang nyata-nyata ada). Melainkan sesuatu realitas yang sebenarnya, yang bersifat rohani. Pengetahuan sebagai hasil mengingat (anamnesis) akan suatu lapisan kesadaran bawaan dalam jati diri manusia itu, dicirikan oleh filsuf-filsuf modern sebagai pengetahuan berdasarkan intuisi. Melalui kesan dan pengamatan intuitif, manusia merasa bahwa ia sudah tahu, tanpa merasa perlu melakukan suatu pengamatan, penelitian atau penalaran lebih lanjut. Dan apabila seorang manusia sudah lebih dalam terlatih dalam hal intuisi, ia akan sanggup menatap dan seakan-akan memiliki sejumlah idea, "melihat matahari", misalkan tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, tetapi juga tentang pemerintahan, negara, pendidikan, sampai idea-idea itu tampil di hadapannya secara berjenjang-jenjang atau hierarkis, yaitu: jenjang kebenaran, jenjang nilai-nilai, dan lain-lain. Berdasarkan nilai tertinggi kebenaran hingga nilai terendah maka dapat "ditarik" suatu kesimpulan deduktif, seperti yang terdapat dalam matematika. Manurut Plato, matematika adalah bentuk pengetahuan yang paling sempurna. Tak seorangpun ia ijinkan masuk ke dalam Akademianya kalau belum terlatih dalam matematika, terlatih dalam hal "menurunkan" kebenaran dan nilai partikular dari kebenaran dan nilai yang lebih umum.


IV. Dua Dunia[11]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menurut Plato realitas seluruhnya seakan-akan terdiri dari “dua dunia”. Satu “dunia indra”, yakni mencakup benda-benda jasmani yang disajikan kepada panca indra. Pada taraf ini harus diakui bahwa semuanya etap berada dalam perubahan. Bunga yang kini bagus keesokan harinya sudah layu. Lagi pula, dunia indra ditandai oleh pluralitas. Harus diakui pula bahwa di sini tidak ada sesuatupun yang sempurna. Disamping “dunia indra” terdapat juga suatu dunia lain, yajni “dunia ideal” atau dunia yang terdiri atas Ide-ide. Dalam dunia ideal ini sama sekali tidak ada perubahan. Semua ide bersifat abadi dan tak terubahkan. Dalam dunia ideal tidak ada banyak hal yang bagus, hanya satu “ide yang bagus”. Demikian halnya Ide-ide lain, setiap ide bersifat sempurna.
Bagaimana hubungan antara kedua ide tersebut? Yang jelas adalah bahwa Ide-ide tersebut sama sekali tidak dipengaruhi oleh benda-benda jasmani (dunia indra). Misalnya, lingkaran yang digambarkan di papan tulis lalu dihapus lagi, sama sekali tidak mempengaruhi ide “lingkaran”. Akan tetapi, Ide-ide mendasari dan menyebabkan benda-benda jasmani. Hubungan antara dua dunia tersebut dingkapkan oleh Plato dalam tiga (3) cara: pertama, ia mengatakan bahwa ide itu hadir dalam benda-benda konkret. Tetapi dengan itu, Ide itu sendiri tidak dikurangi sedikitpun. Kedua, dengan cara lain, ia mengatakan bahwa benda konkret mengambil bagian dalam Ide. Dengan demikian, Plato mengintroduksikan paham partisipasi (metexis) ke dalam filsafat. Ketiga, akhirnya, Plato mengatakan bahwa Ide merupakan model atau contoh (paradeigma) bagi benda-benda konkret. Benda-benda konkret itu merupakan gambaran tak sempurna yang menyerupai model tersebut.

V. Penutup
Dari uraian di atas, kita dapa melihat secara jelas dan merangkum mengenai pemikiran Plato tentang “dunia idea”. Menurut paham Plato, idea tidak saja pengertian jenis, tapi juga bentuk dari keadaan yang sebenarnya. Idea bukanlah suatu pikiran, melainkan suatu realita. Dalam hal ini, Plato melahirkan dua macam dunia, yaitu dunia yang kelihatan dan bertubuh (dunia indra) dan dunia yang tak kelihatan dan tak bertubuh (dunia ideal). Pendapat Plato tentang dunia yang tak bertubuh yakni dunia yang lahir, terdiri daripada barang-barang yang dapat kita lihat dan alami, yang berubah senantiasa menurut benda dan waktu merupakam pendapat Parmenides tentang adanya yang satu, kekal dan tidak berubah-ubah. Sedangkan dunia yang bertubuh adalah dunia yang dapat diketahui dengan pandangan dan pengalaman. Dalam dunia itu semuanya bergerak dan berubah senantiasa, tidak ada yang tetap dan kekal. Ajaran Herakleitos tentang semuanya mengalir, dimana tidak ada yang tetap, itu dapat ditampung dalam dunia Plato yang bertubuh tersebut.
Demikianlah Plato berhasil menjembatani pertentangan yang ada antara Heraklitos, yang menyangkal perhentian (segala sesuatu mengalir) dan Parmenides yang menyangkal tiap gerak dan perubahan. Yang tetap, yang tidak berubah, yang kekal itu oleh Plato disebut “idea”. Karena teorinya mengenai Ide-ide, Plato dapat memperdamaikan ajaran Heraklitos dengan ajaran Parmenides.






Daftar Pustaka

Bertens, K., Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1999.

Hadiwijono, Harun, DR., Sari sejarah filsafat barat, Yogyakarta: kanisius, 1980.

Hatta, Mohammad, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Tintamas, 1980.

Isdaryanto, Bosco, Johannes, Sejarah Filsafat Barat Kuno Yunani, Malang: STFT Widya Sasana, 2006.

Setya,Wignjapra, F., Pengantar Filsafat dalam Perspektif Kristen, Malang: STFT Widya Sasana, 1987.

Suseno, Magnis, Franz, 13 Tokoh Etika, Yogyakarta: kanisius, 1997.


http://www.erabaru.or.id/k_10_art_11.htm, (diakses tgl 22 April 2008).

http://www.geocities.com/monasjunior/filsuf.html, (diakses tgl 22 April 2008).

http://www.mrkadarsah.50megs.com/custom4.html, (diakses tgl 25 April 2008).
Catatan Kaki:
[1] http://www.erabaru.or.id/k_10_art_11.htm, (diakses tgl 22 April 2008).
[2] Johannes Bosco Isdaryanto, LIC., Sejarah Filsafat Barat Kuno Yunani, (Malang: STFT Widya Sasana, 2006), hlm. 46.
[3] http://www.mrkadarsah.50megs.com/custom4.html, (diakses tgl 25 April 2008).
[4] http://www.geocities.com/monasjunior/filsuf.html, (diakses tgl 22 April 2008).
[5] DR.F.Wignjapra setya, Pengantar Filsafat dalam Perspektif Kristen, (Malang: STFT Widya sasana, 1987), hlm.12 (diktat).
[6] Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika, (Yogyakarta: kanisius, 1997), hlm. 16.
[7] DR.Harun Hadiwijono, Sari sejarah filsafat barat, (Yogyakarta: kanisius, 1980), hlm. 40.
[8] DR.Harun Hadiwijono, loc.cit.
[9] Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: Tintamas, 1980), hlm.99.
[10] Ibid., hlm. 41.
[11] Prof. Dr. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, ( Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 131-132.

BERTUMBUH DALAM SIKAP-SIKAP YANG MENDASARI PROSES PENDEWASAAN DIRI





BERTUMBUH DALAM SIKAP-SIKAP YANG MENDASARI PROSES PENDEWASAAN DIRI
( Dalam Konteks Pembinaan Calon Religius )

Oleh : Herri Kiswanto Sitohang


BAB I
Pendahuluan


1.1 Latar belakang Pemilihan Tema
Kedewasaan kepribadian pada umumnya selalu dibicarakan dalam konteks psikologi, namun hal itu juga sering dibicarakan dalam konteks pembinaan; khususnya pembinaan calon religius. Menjadi pribadi yang dewasa merupakan kriteria yang penting dalam pembinaan hidup religius. Kedewasaan pribadi menjadi suatu syarat fundamental bagi seorang calon religius agar ia mampu untuk menghayati tuntutan panggilannya, khususnya sebagai dasar untuk penghayatan nasihat-nasihat Injili.
Proses pendewasaan diri dalam menanggapi panggilan Tuhan adalah semata-mata karya rahmat Allah dalam diri kita. Kita dipanggil oleh Tuhan untuk menanggapi karya rahmatNya tersebut. Allah juga menghendaki agar dalam pertumbuhan mencapai kedewaasaan itu, kita harus memanfaatkan segala sumber daya manusiawi yang kita miliki, yang semuanya itu akan tertuang dalam sikap-sikap hidup yang kita tampilkan sehari-hari. Maka, dengan menggunakan sumber daya yang kita miliki tersebut, kita akan dapat bertumbuh menjadi pribadi yang dewasa untuk menanggapi panggilan khusus yang telah diberikan oleh Tuhan kepada kita. Hal itu juga akan membantu kita untuk mampu menampilkan sikap-sikap kedewasaan kita sebagai calon Religius. Namun yang menjadi pertanyaan kita adalah : “ Apa dan bagaimana sikap-sikap yang mendasari proses pendewasaan diri tersebut ? ”, hal itulah yang akan kita lihat dalam uraian-uraian selanjutnya.

1.2 Pokok Permasalahan
Dalam konteks pembinaan calon Religius, terkadang para anak bina merasa kebingungan dalam menampilkan sikap-sikap kepribadiannya sebagai seorang yang dewasa. Oleh karena itu, para anak bina seringkali tidak mampu untuk menampilkan sikap kedewasaannya secara asli melainkan meniru sikap orang lain yang dianggapnya sudah dewasa sekalipun tidak selamanya sesuai dengan dirinya. Sehingga dalam hal ini terjadi proses “imitasi” kedewasaan. Maka untuk mengatasi hal itulah, penulis ingin mencoba membantu para anak bina yang merasa kebingungan tersebut, baik secara teoritis maupun lewat pergulatan penulis sebagai calon religius dalam mencapai dan menampilkan sikap-sikap yang mendasari proses kedewasaannya.


1.3 Tujuan Pembahasan
Tujuan utama dari penulisan paper ini adalah untuk menunjukkan kepada para anak bina yang merasa kebingungan, apa dan bagaimana sebenarnya sikap-sikap yang mendasari proses pendewasaan diri tesebut. Dengan demikian, anak bina akan mampu untuk menampilkan sikap-sikap kedewasaannya secara asli dan bukan lagi tiruan dari orang lain, atau dengan kata lain “ bertopeng dengan sikap kedewasaan orang lain ”. Maka lewat paper ini, Penulis akan mencoba menyajikan beberapa sikap yang mendasari proses kedewasaan tersebut.


BAB II

Bertumbuh Dalam Sikap-sikap Yang Mendasari Proses Pendewasaan Diri

2.1 Arti dan Sikap Kedewasaan menurut Model-model Kedewasaan
Dalam pengertian banyak orang, sering kali orang mengartikan kedewasaan itu sebagai suatu hal yang berkembang dalam diri manusia sesuai dengan umur atau usia seseorang. Namun berdasarkan model-model kedewasaan yang ada, ternyata kedewasaan seseorang tidak hanya dilihat dari segi umur atau usia tetapi juga dari aspek-asprk lain. Berikut ini kita akan melihat model-model kedewasaan tersebut.

2.1.1 Model Psikoanalitis
Dalam model ini, Sigmund Freud mendefinisikan kedewasaan adalah pribadi yang berhasil melewati tahap-tahap perkembangan yang ada tanpa berhenti pada satu tahap, yakni dengan mengubah kesenangan pribadi menjadi suatu kenyataan yang umum ( Narcisistik → Social realita ). Tahap-tahap perkembangan itu dibagi dalam dua konsep yaitu : Konsep dinamis dan Konsep konfliktual.
Sikap-sikap yang mendasari proses pendewasaan diri menurut model ini adalah :
■ Menyeimbangkan diri dihadapan setiap perubahan dalam diri (konsep dinamis)
■ Berani berhadapan dengan konflik (konsep konfliktual)

2.1.2 Model Epigenetis
Eric erikson sebagai tokoh dari model ini mendefinisikan kedewasaan adalah pribadi yang mampu menghadapi tiap krisis untuk mencapai suatu keseimbangan yang penuh dalam dirinya, kemudian menemukan integrasi melalui tahap-tahap konflik yang ada yaitu ; konflik dasar, konflik remaja dan konflik dewasa, sehingga pada akhirnya mampu menilai serta melakukan setiap hal yang bermakna bagi pribadinya.
Sikap-sikap yang mendasari proses pendewasaan diri menurut model ini adalah :
■ Mampu menemukan identitas pribadi melalui tahap-tahp konflik yang ada.
■ Mampu masuk dan berelasi dengan orang lain.
■ Mampu menemukan makna hidupnya.

2.1.3 Model Realisasi Diri
Kedewasaan menurut model ini adalah pribadi yang mampu mengungkapkan diri secara otentik. Sehingga dalam hal ini, Carls roger menekankan bahwa kedewasaan itu muncul melalui pribadi yang berfungsi serta berperan secara penuh (menjadi diri sendiri).
Sikap-sikap yang mendasari proses pendewasaan diri menurut model ini adalah :
■ Meninggalkan unsur0unsur yang tidak sama dengan diri sendiri
■ Menentukan sendiri/ tidak bergantung pada orang lain (bergerak bebas)
■ Bertumpu pada kekuatan sendiri demi mencapai suatu tujuan yang positif.

2.1.4 Model Konfrontasi Transendensi Diri
Model ini menegaskan bahwa kedewasaan adalah suatu kemampuan untuk dapat mentransendensi diri dalam bentuk keterbukaan ke arah keutamaan, mengarahkan diri pada kebaikan sejati dan memiliki pertumbuhan kodrati yang normalmenuju arah yang lebih tinggi.
Sikap-sikap yang mendasari proses pendewasaan diri menurut model ini yakni :
■ Mengarahkan diri pada nilai-nilai transenden (yanglebih tinggi)
■ Mengarah diri pada nilai Teosentris dan adikodrati
■ Menjadikan diri ideal dan diri aktual dalam horison nilai-nilai kodrati.

2.2 Sikap-sikap yang mendasri Proses Pendewasaan Diri
Untuk dapat membantu agar lebih siap dalam menanggapikarya rahmat Allah, maka seorang calon religius perlu memiliki sikap-sikap mendasar dalam proses menuju pendewasaan dirinya sendiri. Sikap-sikap itu adalah ; Sikap EMPATI, OTENTIK, RESPEK, KONFRONTASI dan PERWUJUDAN DIRI terhadap diri sendiri.

2.2.1 Sikap Empati
Sikap empati berarti kesanggupan seseorang untuk merasakan dan mengerti perasaan-perasaan orang lain, seolah-olah itu adalah perasaan diri sendiri. Maka sikap ini juga penting terhadap diri sendiri, artinya diri sendiri sanggup untuk merasakan dan mengerti dengan tepat apa yang dialami dan dirasakan sendiri serta dengan jelas mengungkapkan pengertian itu.
Sikap empati terhadap diri membantu orang untuk lebih obyektif atau realistis dalam mengenal diri. Sikap ini juaga akan membantu orang untuk mengembangkan kesadaran diri akan pengalaman serta perasaan pribadi.

2.2.2 Sikap Otentik
Sikap otentik berarti asli. Atau juga disebut dengan sikap jujur, polos, ataupun apa adanya. Sikap ini dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu ;
■ Tahap I, mengenal dan menyebutkan perasaan yang ada dalam diri apa adanya dan yang sebenarnya (entah baik maupun tidak baik), tanpa harus menutup-nutupinya.
■ Tahap II, menyadari perasaan sebagai bagian dari pengalaman hidup. Apabila seseorang tidak menyadari suatu perasaan baik atau buruk, maupun karena perasaan itu tidak terpuji, maka ia juga tidak otentik terhadap dirinya sendiri.



■ Tahap III, yakni tahap memutuskan.Hal itu berarti seseorang harus untuk membuang ataupun memperthankan perasaan yang ada tersebut. Perasaan yang baik dipertahankan, sedangkan perasaan yang meruasak dibuang, dan seseorang harus sungguh sadar akan keputusan tersebut.
Singkatnya, sikap otentik berarti dapat menyebut perasaan dengan tepat, mengakuinya sebagai bagian dari pengalaman hidup, serta sadar akan keputusan yang diambil untuk membuang atau mempertahankan perasaan itu.

2.2.3 Sikap Respek
Respek berarti menaruh hormat atau menghargai. Sikap respek terhadap diri sendiri berarti mau menerima diri apa adanya dengan penuh cinta karena sadar bahwa seperti apapun dirinya akan tetap bernilai dan berharga dihadapan Tuhan serta memiliki kemampuan untuk dapat berkmbang menjadi lebih baik.
Sikap ini membantu orang untuk tidak minder, tidak rendah diri, tetapi dengan apa adanya merasa cukup mampu untuk berkembang dengan orang lain dan melaksanakan tugas dengan penuh semangat.

2.2.4 Sikap Konfrontasi Diri
Sikap Konfrontasi diri berarti saling berhadapan atau bertatapan ; seseorang beruasaha untuk mencari kekurangan-kekurangan pribadi, kemudian ia membawa kekurangan tersebut kepermukaan kesadaran diri. Kesadaran itu akan menggerakkan seseorang untuk keluar dari kepuasaan diri dan membuat dirinya menjadi malu dan tidak senang dengan kekurangannya tersebut. Konfrontasi diri memaksa seseorang untuk menatap diri yang sesungguhnya dan menyadari kekurangan diri sendiri, kemudian membuat orang untuk melihat kebenarab tentang dirinya. Sikap konfrontasi diri ini akan menarik orang untuk mengikuti arah yang benar serta membuat orang lebih siap menanggapi rahmat Allah.

2.2.5 Perwujudan Diri
Yang dimaksud dengan perwujudan diri disini adalah sikap mau mengejar dengan penuh semangat perwujudan diri yang semakin sempurna. Seseorang dituntut untuk maju dan mencapai realisasi diri yang semakin penuh. Dalam konteks pembinaan calon religius, sikap ini memacu seseorang untuk menggunakan seluruh sumber manusiawi dan rohaninya untuk menjawab dengan sepenuh hati bimbingan Roh dalam hidupnya. Pribadi yang telah mewujudkan diri adalah pribadi yang berusaha keras untuk semakin memahami rencana Allah bagi dirinya dan menjawab dengan lembut terang yang diterima dari Roh Kudus.








BAB III
Refleksi

Bagi saya pribadi, kedewasaan pribadi manusia terletak pada kualitas diri manusia dalam menjalani dan menghadapi situasi-situasi hidupnya. Kualitas itu akan dapat dicapai apabila seseorang mampu untuk berusaha melihat dirinya secara jelas dan benar serta selalu merefleksikannya. Kualitas diri sebagai inti kedewasaan yang saya maksud teersebut akan terungkap melalui sikap-sikap mendasar yang ditampilkan sehari-hari dalam menjalani serta menghadapi situasi-situasi kehidupannya, sebagai pribadi yang selalu berproses dalam kedewasaan. Sikap-sikap mendasar itu adalah :
 Sikap bisa menerima Kenyataan
Dalam sikap ini, orang yang dewasa adalah orang yang realistis hidupnya. Jadi, ia tidak lagi hidup dalam suatu dunia bayangan yang penuh dengan impian yang indah-indah, tapi hidup dalam dunia nyata diman banyak hal berbeda dengan apa yang diharapkan. Singkatnya, sikap ini akan mampu membawa orang untuk bisa menerima kenyataan hidup dengan bahagia meski terkadang tidak sesuai dengan harapan.
Sikap inilah yang selalu saya perjuangkan untuk mencoba terus-menerus mencapai kualitas diri dalam proses pendewasaan diri untuk menjalani hidup saya sebagai calon religius. Karena hidup sebagai calon religius atau religius sekalipun pasti akan selalu berhadapan dengan banyak hal yang berbeda dengan apa yang diharapkan secara pribadi. Seperti yang saya alami selama dalam rumah formasi, yakni banyak perbedaan-perbedaan yang saya hadapi misalnya perbedaan watak, pandangan, pola pikir. Kebudayaan, mentalitas sampai pada perbedaan kecil sekalipun. Namun disitulah, saya dituntut untuk mampu menerima kenyataan yang ada dan beruasaha menikmati kenyataan tersebut.
 Sikap bebas dari kepentingan Diri
Sikap ini menuntut saya untuk tidak lagi terbelenggu dengan segala kebutuhan dan kepentingan saya sendiri. Saya dituntut untuk tidak lagi memusatkan perhatian pada diri saya sendiri tetapi pada kepentingan komunitas atau bersama. Sikap ini mengajak saya maupun siapa saja untuk sanggup memberikan diri seutuhnya demi kepentingan sesama. Dan bagi saya pribadi, hal itu bukan suatu hal mudah dan gampang untuk dilaksanakan, karena hal itu juga bukan suatu pengurbanan yang ringan. Tetapi toh, saya harus selalu berusaha untuk dapat melaksanakannya.
 Sikap pantang menyerah terhadap Tantangan
Banyak orang mengatakan bahwa hidup ini penuh dengan tantangan. Dalam menghadapi kenyataan itulah, saya ditempa untuk menjadi tabah dalam menghadapi berbagai macam tantangan dan kesulitan hidup saya, walaupun terkadang sya merasa kalah dan menyerah sehingga hanya dapat berharap pada Tuhan saja. Dalam banyak hal pula, saya ditantang untuk tidak mundur ataupun menyerah dalam memperjuangkan dan mewujudkan nilai-nilai yang saya yakini baik, meski harus berhadapan dengan banyak hambatan. Melalui sikap ini, saya disadarkan untuk mampu melihat suatu tantangan sebagai suatu kesempatan untuk bertumbuh,maju serta menempa dan mengembangkan diri saya.
 Sikap Mandiri dan Kerjasama
Kemandirian berarti menuntut suatu inisitif pribadi dan inisiatif pribadi akan muncul apabila ada rasa percaya diri sehingga pada akhirnya mampu untuk menerima diri.Orang yang mampu menerima diri tentunya tidak akan mengalami banyak kesulitan dalam bergaul dan bekerja sama dengan orang lain. Namun bagi saya pribadi, idealisme serta sikap ego pribadi yang terkadang muncul menjadi faktor penghambat untuk mewujudkan sikap tersebut. Tapi bukan berarti bahwa hal itu menjadi hal yang mustahil bagi saya, melainkan saya akan terus berproses untuk dapat melaksanakannya semaksimal mungkin dalam hidup panggilan saya.

 Sikap Bijaksana
Kebijaksanaan hanya mungkin diperoleh jika seseorang mau belajar dan terbuka terhadap pengalaman pribadi maupun orang lain. Sikap bijaksana juga menyangkut tentang kesopanan, mengetahui adat istiadat sesama dengan baik, tahu tempat dan waktu, bisa membuat prioritas serta mengetahui kepentingan pribadi maupun orang lain. Hidup dalam suatu komunitas formasi, sikap ini tentunya akan sangat berperan, khususnya sikap ini akan sangat dibutuhkan pada awal suatu perjumpaan dengan sesama komunitas maupu dalam perjalan hidup selanjutnya bersama orang lain. Orang yang bijaksana akan bisa memahami setiap situasi yang dihadapinya dan bisa mengambil suatu keputusan secara tepat. Dalam bertindak, ia tidak akan sembarangan dan dalam banyak keputusannya, ia akan memutuskannya berdasrakan pertimbangan yang matang yakni dengan memperhatikan berbagai aspek dan konsekwensinya.



BAB IV
Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian diatas, secara jelas telah diungkapkan bahwa untuk mewujudkan sikap-sikap yang mendasari proses pendewasaan diri bukanlah suatu hal yang mudah dan gampang untuk dilaksanakan, apalagi kedewasaan yang dituntut secara khusus bagi para calon religius. Namun walaupun demikian, bukan berarti bahwa para calon religius harus mundur atau menyerah, melainkan harus berani untuk selalu berusaha mencapai dan melaksanakannya semaksimal mugkin. Melalui paper ini, saya ingin mengajak teman-teman sekalian yakni sebagai calon religius, kita harus berani mencoba untuk melaksanakan apa yang telah saya uraikan secara teori maupun pergulatan pribadi saya yang saya ungkapkan melalui refleksi saya dalam paper ini.
Semoga keberadaan paper ini mampu membantu siapa saja yang membacanya, khususnya bagi teman-teman calon religius yang sedang bergulat dengan sikap-sikap yang mendasari proses pendewasaan dirinya dalam menanggapi rahmat panggilan yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita masing-masing.




DAFTAR PUSTAKA



Buku Ilmiah :

Abata, M. Russel, Berani-Jadilah Dirim!, Kanisius, Yogyakarta, 1996


Fuster.J.M, SJ, Teknik Mendewasakan Diri, Kanisius, Yogyakarta, 1985


Prasetyo Mardi.F, SJ, Tugas Pembinaan Demi Mutu Hidup Bakti, Kanisius,
Yogyakarta, 2001


Referensi :


Dokumen KV II, (terj. DR.J. Riberu), Obor, Jakarta, 1983


Majalah :


Suyanto Joko. Ig, SJ, Kaum Religius Menyambut Jamannya, Rohani, Yogyakarta, 1994

Kejahatan Terhadap Kaum Perempuan


“Kejahatan” Terhadap Kaum Perempuan
Oleh Herri Kiswanto Sitohang

Setiap tanggal 8 Maret, seluruh dunia memperingati hari perempuan Internasional, sebuah peringatan untuk memberikan penghargaan terhadap perjuangan perempuan dalam menghilangkan berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi yang dialami oleh seluruh rakyat, khususnya kelompok rentan yang selama ini tertindas oleh sistem patriarki dan sistem kapitalisme yang menempatkan perempuan sebagai kelas kedua. Di Indonesia, peringatan hari perempuan internasional tersebut hendaknya dirayakan sebagai peringatan untuk mengingatkan betapa besarnya perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya, meskipun kekerasan terus dilakukan baik fisik maupun psikis.
Salah satu perjuangan HAM yang paling menonjol hingga dewasa ini adalah ketidaksetaraan peranan dan status sosial anatara laki-laki dan perempuan. Sehingga tak jarang kondisi ini memberi peluang bagi tindakan kekerasan bagi kaum perempuan dalam banyak bentuk seperti: pemerkosaan dan kekerasan seksual, pelecehan seksual anak-anak di bawah umur, dan bahkan penganiayaan atau kekerasan suami terhadap istri (KDRT) serta kejahatan-kejahatan lain yang seringkali ditujukan kepada kaum perempuan.
Fakta yang dapat kita lihat adalah bahwa ada sejumlah budaya Indonesia tidak membenarkan kaum perempuan mendapat hak milik dari warisan orangtuanya atau juga memilih teman hidup. Adat istiadat cenderung menertawakan setiap perempuan yang berinisiatif mencari calon suami karena inisiatif itu adalah pilihan orangtua atau keluarga. Hal itu merupakan fakta yang dapat kita temukan di beberapa tempat di Nusantara ini. Antropolog feminis, Henrietta Moore, dalam penelitiannya (Feminisme & Antropologi: 1998) membenarkan anggapan budaya ini yakni bahwa perempuan sering dianggap sebagai subordinat laki-laki di kebanyakan kultur masyarakat Asia Pasifik. Fakta lain yang juga dapat menjadi bahan keprihatinan kita adalah mengenai adanya anggapan dalam masyarakat tradisional bahwa istri yang baik dan setia harus siap melayani suami kapanpun dan di dalam keadaan apa pun. Bahkan hal ini ditanggapi sebagai tanda seorang istri yang tahu berbakti kepada suami. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan kalau tindakan kekerasan seksual, yang notabene dapat disebut sebagai kejahatan, selalu ditolerir oleh kaum ibu (perempuan) trdisional.
Perjuangan HAM di Indonesia dari perspektif sosio-budaya justru sering kali mendapat tantangan hingga saat ini. Kita dapat menyaksikan bahwa disatu pihak terdapat segelintir aktivis perempuan yang gigih memperjuangkan bahwa perempuan telah banyak mengalami ketidakadilan berdasarkan jenis kelamin sebagai fakta yang universal, tetapi di pihak lain terdapat anggapan-anggapan kaum perempuan tradisional yang justru memberi peluang bagi tindakan-tindakan ketidakadilan gender tersebut. Kekerasan terhadap perempuan adalah suatu manifestasi dari adanya perbedaan kekuasaan dalam hubungan lelaki - perempuan di sepanjang sejarah. Hal ini mengakibatkan adanya penguasaan dan diskriminasi terhadap perempuan yang dilakukan oleh lelaki. Kekerasan yang dialami oleh perempuan di sepanjang hidupnya pada hakekatnya berasal dari pola-pola kebudayaan, secara khusus merupakan dampak dari praktik-praktik tradisional budaya tertentu ataupun kebiasaan-kebiasaan yang merugikan serta semua perbuatan ekstrimisme yang berkaitan dengan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama, yang mempertahankan pemberian kedudukan yang lebih rendah bagi perempuan di dalam keluarga, di tempat kerja, dan masyarakat.
Keyakinan bahwa kodrat perempuan itu lemah, posisinya di bawah laki-laki, “bertugas” melayani dan mudah ditindas menjadikan kaum perempuan dianggap sebagai “hak milik” laki-laki dan dapat diperlakukan semena-mena, termasuk dengan cara kekerasan. Hak istimewa yang dimiliki laki-laki akibat konstruksi gender menempatkan laki-laki untuk memiliki kekuasaan lebih tinggi daripada perempuan. Pola hubungan seperti itulah yang merupakan manifestasi patriarki. Ideologi ini berkembang secara luas mulai dari keluarga hingga sampai pada kebijakan pemerintah sekalipun. Merasuk dalam kebudayaan dan tertanam dalam semua sistem kehidupan. Hal ini pada gilirannya merupakan benteng yang sangat kuat dalam menutupi realita bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran hak asasi manusia. Sangat disayangkan bahwa kaum perempuan sendiri pun masih banyak yang belum menyadarinya. Hal itu terjadi karena budaya, tradisi maupun penafsiran ajaran agama yang seolah memberikan pembenaran bahwa mereka wajib menerima tindak kekerasan sebagai takdir.

Menyikapi “Kejahatan” Terhadap kaum Perempuan
Sebagai sesama manusia maupun sebagai bagian dari masyarakat ataupun keluarga, kita tidak boleh menutup mata terhadap realitas tersebut. Kekerasan (baca: kejahatan) terhadap kaum perempuan tidak bisa dipandang hanya sebagai tindak kriminal yang dilakukan oleh sekelompok penjahat atau orang yang sakit mental. Mengenai perkosaan, misalnya, sejumlah penelitian di tanah air menunjukkan bahwa tindak kejahatan ini justru dilakukan oleh orang-orang normal yang dikenal baik oleh korban: ayah, suami, teman, sanak keluarga, rekan kerja, kenalan. Kejahatan yang begitu banyak dan luas ini tentu memiliki akar struktural dan ideologi patriarki yang menempatkan kaum perempuan di bawah dominasi laki-laki. Oleh struktur dominasi itulah maka patriarki menjadi “tuan”, dimana laki-laki menjadi yang dipertuan dan perempuan diperhamba.
Perjuangan menentang kejahatan terhadap kaum perempuan ataupun perjuangan ke arah pembebasan, harus dilaksanakan dalam banyak bidang sekaligus. Artinya adalah bahwa tidak hanya terbatas pada satu bidang saja, misalnya, mengenai perkosaan ataupun kejahatan seksual. Akan tetapi juga harus mencakup bidang-bidang kejahatan lainnya yang ditujukan terhadap kaum perempuan (kejahatan terhadap kesusilaan), yang sering kali di ekspose lewat media massa maupun yang belum “terjangkau” oleh media massa.
Pada kenyataannya dalam berbagai hal, kita dapat melihat bahwa perempuan masih terus mengalami tindak kekerasan dan diskriminasi. Hal ini juga terjadi karena Negara masih saja abai dalam pemenuhan hak-hak warganya. Sebagai akibatnya perempuan kerap kali tidak memiliki kebebasan untuk menikmati hak asasinya sebagai manusia dan menjadi sangat rentan untuk tidak mengalami kekerasan, yang notabene merupakan praktik kejahatan terhadap kaum perempuan. Dalam menyikapi hal ini, satu hal yang penting diketahui adalah bahwa hak asasi manusia perempuan maupun anak perempuan adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hak asasi manusia secara menyeluruh.
Oleh karena itu setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin (gender-based violence) yang berakibat kesengsaraan atau penderitan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis yakni berupa ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi harus sungguh-sungguh mendapat perhatian yang ekstra serius baik dari kalangan masyarakat maupun pemerintah sendiri. Demi suatu pencapaian penghargaan akan harkat dan martabat kaum perempuan, sebab sesungguhnya kejahatan yang berbasis gender dalam segala bentuknya itu tidak sesuai dengan harkat dan martabat maupun harga diri manusia. Adalah suatu kewajiban setiap negara di dunia ini untuk melindungi kaum perempuan dari berbagai tindak kekerasan, sebagaiman hal itu juga diserukan dalam konferensi PBB di Wina pada tahun 1993 ( Declaration on the Elimination of Violence Against Women).
Kita sebagai masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan tidak boleh tinggal diam melihat hal ini. Melindungi dan memajukan hak-hak dan kebebasan, upaya penghapusan tindak kekerasan terhadap kaum perempuan kini harus menjadi sebuah kepedulian global. Secara khusus untuk kaum perempuan, perubahan sikap adalah langkah awal yang sangat penting bagi upaya pencegahan dan penanggulangan persoalan ini. Adanya suara anda dan solidaritas maupun empati dari semua pihak akan membuat masyarakat memandang masalah ini secara berbeda. Pada gilirannya, suara anda tersebut akan mengubah dunia agar lebih demokratis dan damai.
Upaya untuk mencapai perubahan ini harus juga dibarengi dengan upaya dari para penegak hukum agar lebih responsif dan sensitif terhadap kepentingan kaum perempuan dalam segala bentuk problemanya. Memasukkan masalah gender dan hak-hak kaum perempuan dalam kurikulum pendidikan, khususnya bagi para penegak hukum, adalah sesuatu yang niscaya harus dilakukan.

Preferential Option For The Poor


Preferential Option for the Poor
By. Herri Kiswanto Sitohang*

Poverty is a part of human life. It has become a complex reality problem in the world, including in our beloved country, Indonesia. Absolutely, poverty means a reality of social life or a part of social life in which the members only can or barely can fulfill the primary needs of life such as food, housing, clothing.
There are many reasons which cause poverty, for example the lack of physical and mental abilities, gender, social status, age, political issues, and low education. Considering that reality of life, it is high time that the government paid close and maximum attention to the poor. Further more, the government must be able to show and express their preferential option for them (the poor) through all of the policies, laws, and the other decisions. Actually, the government has the duties obligations to maintain the unity and justice in the nation, and also to cope with egoism and abuse of power which often become the sources of poverty in our country.
In dealing with those situations, the government should strive to achieve a deeper understanding, namely, the struggle of the government is not just to fight against hunger, unknown, injustice, and human right violation, but the most important is to fight against depravity in the hearts of people which are actually the real sources and roots of much of the structure and system of oppression that cause poverty. All of them can be carried out through developing the structure where the poor are not just as passive observers but also active actors in the society and the government as well.
The government should also be responsive when, together with social institutions, struggle to empower the poor, so that the poor can grow to reach a decent prosperity and a full human dignity. By doing so, the government can clearly show to the Indonesian people their preferential option for the poor. And it also means that their efforts are not theoretical, but that government really do something about it.

The Government Efforts Dealing with the Preferential Option for the Poor
Preferential option for the poor fight orientation of the government and society tasks. Preferential option for the poor is the government’s and society’s choice to show their empathy to the poor. Preferential option for the poor means giving them attention, carrying out necessary actions,
showing solidarity, appreciating their existence as fellow human beings and loving them. Loving them is a way to struggle against injustice and to open the door to economic improvement and humanity. Charity for the poor must not be accompanied by any vested-interest. Giving donations for the poor also is a part of the main charity too. Preferential option for the poor means taking sides to build fraternity through hard struggle.
Actually, the government and the society have the duties and obligations to cope with poverty. As a part of the society, all of us of course feel apprehensive about the poverty reality in our country and especially with that around us. In this case, we need to give attention and to engage ourselves in improving the unity and justice among us as our solidarity attitude towards them. On the other hand, we can see that poverty also causes a decrease of reasoning and an increase of emotion in finding the solutions to the social problems. It means that if someone is prosperous, he can treat others well. For example, he can be patient in his relations with others. On the political side, the better prosperity will make the government grow and society the more mature and independent. This is influential for the political stability.
Dealing with the efforts of the government for preferential option for the poor in order to make them able to achieve a descent prosperity and full human dignity, there are some opinions. First, the government should enhance solidarity attitude towards the poor and strive to work together with them in defending their rights in the social life. Second, the government should struggle so that the poor’s dignity and human values are acknowledged and appreciated. That is so because it is the most important for them, it is more valuable than the other help in the form of materials. Third, the government should try to fight against depravity in the hearts of all people, because that is the main source and root of many structures and oppression system which cause poverty. Fourth, the government should help the poor by giving them material help and support them, so that they can create something valuable in their lives with all of their own abilities


Relevancies of the Preferential Option for the Poor
As a real relevance attitude for the poor, the government and also we as society members need to show a different way of life to others, especially the poor. Trying to have a prosperous life can be done through the readiness to say enough for money or others things (not greedy).Trying to get rid of an attitude which make inclined to want to have more and more can be done by using all of facilities wisely, and not trying to take away those of others, because that often happens in the government body in our country.
The point of view of Pancasila, especially the fifth “order” (in Indonesian: “sila”): “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” expresses the meaning of preferential option for the poor, that is, we must approach them (the poor) sincerely and straight forward in brotherly and always ready to help them. We must always exacerbate our awareness of our solidarity obligation towards the poor. That solidarity means that their problems and struggles must become ours too.
Solidarity for the poor can be expressed by criticizing injustice, trying to change poverty situation, by working together with the government to evenly distribute the country income. When we draw near to the poor in order to accompany them and serve them, we are doing what Pancasila wants us to do when it becomes our ideology. Hence service to the poor is a privilege.
In this case, preferential option for the poor must become a real sign of our daily life. Dialogue of life must become a basic sign of our real action. Dialogue of life means sharing our daily life experiences with others. In the dialogue, we have time to express our personal ideas; admitting the rights and need of others. With the dialogue of life, we will be able to solve many problems together in our daily life, including poverty. Dialogue of life also must become a Transformative movement that can change poverty into a better situation. Poverty will be changed if the suffer of the poor is eliminated or at least decreased, if peace is struggled, if the land for living together is more humane. There is a wise quotation about an attitude of preferential option for the poor, namely: “If we give the poor something which they really need, actually we do not give it to them voluntarily as our personal gift but we return to them what has become their right.” By doing something for them, actually we do more to fulfill our obligations as human towards them.
Because the poor are a part of our life, so the government with us as society members should show our preferential option for them as well as we can, not just a half, but totally. As a step of success in order that we can give our attention and preferential for the poor is firstly we should not consider them as a burden that has to be eliminated, but we must consider them as the wealth of our country. Wealth of country means something or someone that must be protected and improved, so that they can naturally grow as human beings.


*The writer is a student of theology philosophy college
(STFT Widya Sasana-Malang)
At Jln. Terusan Rajabasa 6
Malang-East Java

Remaja dan Perilaku Konsumtif




Remaja dan Perilaku Konsumtif
Oleh: Herri Kiswanto Sitohang

Seiring dengan terjadinya perubahan perekonomian dan globalisasi, terjadi pula perubahan dalam perilaku membeli pada masyarakat. Terkadang seseorang membeli sesuatu bukan didasari pada kebutuhan yang sebenarnya. Perilaku membeli yang tidak sesuai kebutuhan dilakukan semata-mata demi kesenangan, sehingga menyebabkan seseorang menjadi boros. Perilaku ini dikenal dengan istilah perilaku konsumtif. Perilaku ini dapat terjadi pada setiap orang termasuk kaum remaja. Kata “konsumtif” (sebagai kata sifat; lihat akhiran –if) sering diartikan sama dengan kata “konsumerisme”. Padahal kata yang terakhir ini mengacu pada segala sesuatu yang berhubungan dengan konsumen. Sedangkan konsumtif lebih khusus menjelaskan keinginan untuk mengkonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan yang maksimal. Memang belum ada definisi yang memuaskan tentang kata konsumtif ini. Namun konsumtif biasanya digunakan untuk menunjuk pada perilaku konsumen yang memanfaatkan nilai uang lebih besar dari nilai produksinya untuk barang dan jasa yang bukan menjadi kebutuhan pokok. Misalnya sebagai ilustrasi, seorang remaja memiliki 200 ribu rupiah. Kemudian ia membelanjakan 100 ribu rupiah dalam waktu tertentu untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sisa 100 ribu ia belanjakan untuk sepasang sepatu karena sepatu yang dimilikinya untuk ke sekolah sudah rusak. Dalam hal ini orang tadi belum disebut berperilaku konsumtif. Tapi apabila ia belanjakan untuk sepatu yang sebenarnya tidak ia butuhkan (apalagi ia membeli sepatu seharga Rp.200.000), maka ia dapat disebut berperilaku konsumtif.

Perilaku konsumtif kaum remaja
Perilaku konsumtif dewasa ini menjadi bagian kehidupan masyarakat, khususnya dalam dunia kaum remaja. Pusat perbelanjaan atau mal-mal yang tumbuh pesat menawarkan berbagai fasilitas lengkap, nyaman, dan serba praktis memanjakan masyarakat, termasuk para remaja.
Menjumpai kaum remaja di mal-mal atau tempat perbelanjaan lainnya sekarang ini bukanlah masalah sulit. Mal kini bukan sekadar tujuan orang berbelanja, namun sarat dengan arena fasilitas hiburan, bahkan menjadi sarana alternatif pengisi waktu luang di kalangan remaja untuk sekadar "cuci mata", nongkrong dan ngerumpi. Suguhan yang ditawarkan di mal berupa mode fashion, aneka kuliner, aksesori, dan berbagai hiburan cukup menggoda hati setiap pengunjung , khususnya kaum remaja.
Di kalangan remaja yang memiliki orang tua dengan kelas ekonomi yang cukup berada, terutama di kota-kota besar, mall sudah menjadi rumah kedua. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka juga dapat mengikuti mode yang sedang beredar. Padahal mode itu sendiri selalu berubah sehingga para remaja tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Alhasil, muncullah perilaku yang konsumtif.
Situasi dan kondisi tersebut membawa pengaruh konsumtif bagi kaum remaja selaku pengunjung. Kaum remaja cenderung digiring menghabiskan uang sakunya untuk melampiaskan keinginannya. Rasa gengsi dan demi penampilan di hadapan rekan-rekannya, membuat mereka terbiasa saling mentraktir, mengadakan pesta ulang tahun atau hura-hura di mal atau kafe. Agar tampak lebih gaul, gaya hidup kaum remaja pun banyak mengadopsi model-model iklan atau pemain sinetron yang sedang tren, seperti model fashion, aksesori, telefon seluler, tato, tindik, dsb.
Perilaku konsumtif seperti itu sangat rentan bagi kaum remaja untuk terlibat dalam hal-hal negatif. Secara logika, perilaku konsumtif tanpa didukung dana memadai (uang saku) membuat remaja berusaha berbagai cara untuk memenuhi hasratnya. Kaum remaja tak segan masuk terlibat perbuatan kriminal seperti memalak, menipu dan mencuri. Sementara beberapa remaja putri, rela menyerahkan diri berbuat asusila demi materi untuk keperluan konsumtif dirinya. Gaya hidup seperti itu cukup dekat mengantarkan kaum remaja kepada geng pecandu narkoba dan geng-geng lainnya.
Perilaku konsumtif ini dapat terus mengakar di dalam gaya hidup kaum remaja. Dalam perkembangannya, mereka akan menjadi orang-orang dewasa dengan gaya hidup konsumtif. Gaya hidup konsumtif ini harus didukung oleh kekuatan finansial yang memadai. Masalah lebih besar akan terjadi apabila pencapaian tingkat finansial itu dilakukan dengan segala macam cara yang tidak sehat. Mulai dari pola bekerja yang berlebihan sampai menggunakan cara instan seperti korupsi. Pada akhirnya perilaku konsumtif bukan saja memiliki dampak ekonomi, tapi juga dampak psikologis, sosial dan bahkan etika.
Refleksi
Perilaku konsumtif kaum remaja dewasa ini merupakan suatu keprihatinan yang perlu kita atasi bersama. Baik secara pribadi maupun kelompok. Dalam kaitannya dengan gereja, kaum remaja adalah bunga-bunga gereja yang masih butuh perhatian dan “perawatan” yang intensif agar mereka dapat bertumbuh dengan baik dan subur. Kaum remaja adalah masa depan gereja di masa yang akan datang. Kalau situasi remaja kita sudah tercemar dengan perilaku konsumtif, bagaimana dengan situasi gereja, masyarakat maupun bangsa kita di masa yang akan datang? Perlu perhatian dan penanganan yang serius!
Orang tua merupakan orang kunci yang sangat memiliki peran penting dalam memberi perhatian, perawatan dan pertumbuhan bagi kaum remaja. Disamping adanya instansi-instansi terkait yang juga memiliki andil yang sama, misalnya sekolah, gereja, dan lingkungan sekitar. Dalam hal ini, orang tua dituntut untuk sungguh-sungguh meningkatkan “sense of belonging” terhadap putra/putrinya yang beranjak remaja. Artinya adalah bahwa sebagai orang tua, orang tua harus menyediakan waktu yang intens untuk mereka, tanpa harus membatasi ruang lingkup mereka. Melihat, memantau dan memperhatikan ruang gerak mereka. Sejauh mana mereka sudah berkembang! Kaum remaja perlu dibatasi dalam bertindak. Remaja perlu dididik secara displin. Ego mereka jangan dibiarkan bertindak tanpa batasan eksternal, sebelum mengenal sepenuhnya visi hidup. Pada umumnya, remaja berada pada tahap perkembangan mental dan interlektual yang belum sempurna. Mereka biasanya belum memiliki orientasi hidup karena mereka masih mencari jati diri. Mereka perlu belajar untuk dapat berfungsi dengan baik dalam masyarakat, melalui figur, proses learning melalui reward-punishmant. Dengan memberikan sebuah kebebasan sepenuhnya maka remaja akan bergerak tanpa arah.
Di sisi-sisi lain, hal penting yang juga perlu untuk diperhatikan adalah sejauh mana orang tua bekerja sama dengan anak remajanya dalam membuat program khusus untuk pertumbuhan dan perkembangan anak-anak remajanya tersebut. Hal yang sama juga sebenarnya menjadi tugas dan tanggungjawab sekolah, lingkungan, termasuk juga gereja. Dalam usaha untuk mengatasi persoalan ini, beberapa “aksi” berikut ini mungkin akan cukup membantu. Pertama, membiasakan budaya menabung. Sejak usia dini, anak harus dibiasakan rajin menabung dari sisa uang jajannya. Dalam hal ini bukan orang tua yang sengaja menabung atas nama anaknya. Tujuannya adalah agar anak sejak usia dini dapat menghargai betapa susahnya berjuang mengumpulkan uang sedikit demi sedikit sehingga ia berpikir ulang ketika akan menggunakan uang tersebut. Kedua, menanamkan kemandirian sebagai upaya membentuk perilaku produktif. Hal tersebut bisa ditempuh dengan mengembangkan potensi aktual diri, minat, bakat, dan kreativitas. Keterampilan ini dapat menggugah anak remaja berpikir konstruktif dan produktif minimal berguna bagi dirinya sendiri. Ketiga, mengisi waktu luang dengan kegiatan positif, seperti mengikuti kegiatan ekstrakurikuler,seperti pramuka, olah raga, kursus dan kegiatan sosial. Biasakan anak aktif membaca, dan kursus, sehingga anak remajatak banyak bergaul dengan hal-hal negatif. Keempat, memberi pemahaman agar anak remaja bersifat selektif, sehingga bisa membedakan mana kebutuhan urgen atau biasa, barang bermanfaat atau mubazir, memilih teman baik-jelek, dsb. Kelima, adanya tata tertib yang tegas dan kontrol dari orang tua dan guru, sehingga anak remaja tidak sesuka hati dalam bertindak (tetap dalam norma). Kerja keras orang produktif akan menghasilkanlkan potensi diri yang tahan uji, ulet, mampu berkreasi dan inovasi, serta mampu mencipta sesuatu untuk orang lain sehingga dapat tercipta generasi tangguh dan mandiri. Sebaliknya anak remaja yang berperilaku konsumtif akan menghasilkan generasi yang mempunyai tabiat selalu menuntut dan meminta, bermental ketergantungan, royal, malas bekerja, dan mudah mengeluh.
Dalam hal ini, kita semua turut ambil bagian dalam hidup kaum remaja. Maka, sebagai suatu “gerakan” yang mengarah kepada misi (baik intern maupun ekstern) yang perlu kita laksanakan adalah option for the youth (berpihak/mengutamakan kaum muda). Berpihak dan mengutamakan kaum muda, khususnya remaja, adalah suatu tugas atau misi baru yang sangat kompleks dewasa ini. Bukan suatu tugas atau misi yang mudah. Semoga kita mampu berjuang untuk itu.***